Saat hari Purnama kemarin dulu, pagi -
pagi ceklek Bali TV. Pas ada tayangan rutin pembacaan sloka Bagawad Gita oleh
Rasa Acarya Prabu Darmayasa. Ketika itu dibacakan Bab I sloka 43 Bagawad Gita.
(isinya tak diselipkan di sini).
Sloka dalam bahasa Sanskerta, lalu diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia. Lanjut Rasa Acarya Prabu Darmayasa mengulasnya, begini:
“Apabila generasi penerus saat ini tidak mau menjalankan tradisi leluhur, menggugat
apalagi meniadakan tradisi keyakinan leluhur, maka hal ini hanyalah menunggu
kebinasaan”. Demikian penekanannya.
Lebih lanjut Rasa Acarya Darmayasa
menguraikan kurang lebih sebagai berikut: “atas dasar kegelapan dan ketidaktahuan
(atas dasar ego dan merasa tahu segalanya), kita tak mampu memahami kebenaran
yang tersembunyi di balik tradisi beragama para leluhur. Bahkan dengan
bangganya kita meniadakan tradisi leluhur. Maka hal ini sebagai pertanda awal
dari kebinasaan atau kehancuran sejati”. Demikian ulasan Sang Acarya.
Mohon maaf… tumben saya tertarik dengan
ulasan beliau. Kenapa..? Karena fenomena ini sedang berlangsung saat ini, dimana
banyak dari kita merasa diri “ririh”, merasa bisa. Lalu dengan bangga
mengatakan bahwa tradisi beragama dan beryadnya para leluhur sudah tak relevan,
cara leluhur adalah salah, tak sesuai dengan Weda. Dengan pongah pula kita menyebutnya
sebagai pemborosan, menyusahkan, ribet, dll. Lalu dengan emosional kita “menggugatnya”.
Ego dan Ririh rupanya telah menutup kecerdasan kita untuk memahami kebenaran di
balik tata cara beryadnya dan beragama para leluhur. Karena “gagal paham”,
akhirnya dengan congkak kita memberi penilaian “itu salah - ini salah”. Ampura.
kanduksupatra.blogspot.com
Logika sederhana….., seandainya saja
tradisi beragama dan beryadnya yang dijalankan leluhur sejak dahulu adalah
salah, mungkin kehancuran dunia sudah terjadi sejak dahulu. Tetapi buktinya,
para leluhur dengan tradisi beragamanya telah melahirkan orang - orang suci, orang
– orang bermartabat, orang - orang “meraga putus”, para cendekia, orang – orang
bijaksana, dll. Dengan tradisinya, para leluhur telah mencapai puncak - puncak
peradaban, puncak - puncak spiritual, dll. Terus bagaimana dengan kita yang
menganggap diri pintar, apa yang sudah kita capai…? Apa yang sudah kita
sumbangkan kepada peradaban ini…? Kecuali hujatan, gugatan, lalu menyalahkan…. Ampura.
Artinya… bahwa tradisi beragama para
leluhur sejatinya adalah wujud dari Sanatana Dharma, kebenaran abadi. Menjalankan
tradisi beragama para leluhur adalah “paramadharma” - kewajiban yang utama. Memahami
dan menjalankan tradisi leluhur mungkin lebih baik daripada menggugat, apalagi
meniadakannya.
Sebagai penutup ulasannya, Rasa Acarya
Prabu Darmayasa mengatakan “ketika kita sudah mulai menggugat, menyalahkan,
apalagi meniadakan tradisi beragama para leluhur, maka hati hatilah… bahwa “awal
kebinasaan sejati” akan terjadi.
Ampura. Dumogi rahayu sareng sami.
Rahajeng ngemargiang pula pali rerahinan Tumpek Kuningan.
#TradisiLeluhur
#Paramodharmah #SanatanaDharma kanduksupatra.blogspot.com
No comments:
Post a Comment