Pura Sunialoka terletak di Dusun
Tangjung Rejo, Desa Kebon Dalem, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi.
Pura ini letaknya di atas bukit bebatuan yang disebut Gunung Sari, dan di
sebelah Gunung Sari terdapat sebuah bukit yang lebih tinggi yang disebut Gunung
Srawet yang dikelilingi hutan jati dengan aura terasa angker.
Pura ini bisa dijangkau melalui Desa
Kebon Dalem, Dusun Tanjung Rejo. Di desa ini terdapat kumpulan umat Hindu Jawa
asli yang jumlahnya sekitar tiga puluh kepala keluarga. Kelompok masyarakat
Hindu Jawa Gunung Srawet ini mengempon sebuah pura desa / pura banjar yang
diberi nama Pura Puja Dharma yang terdiri dari sebuah padmasana sebagai
pelinggih utama. Dilengkapi dengan bangunan penunjang sejenis pendopo yang
berfungsi seperti bale banjar di Bali. Bale ini juga digunakan untuk pasraman
bagi anak-anak Hindu Gunung Srawet. Dari pura ini, umat yang akan tangkil ke
Pura Sunialoka mesti naik kendaraan roda empat dengan ukuran yang lebih kecil
dari bus. Sebab jalan menuju ke lokasi pura agak sempit. Jarak antara bale
banjar dengan pura kurang lebih satu kilometer.
Mengenai sejarah berdirinya pura
Sunialoka Gunung Srawet diceritakan oleh Romo Mangku Sukarno sebagai berikut. Berawal
adanya kejadian aneh di luar nalar yakni pada awal tahun 2000 - an sekitar jam
satu siang, cuaca cerah, di atas bukit
Srawet tampak kereta kencana yang ditarik enam ekor kuda melayang-layang di
atas Bukit Srawet. Banyak masyarakat menyaksikan hal tersebut. Masyarakat
menduga pesawat helikopter, setelah diamati dengan seksama ternyata kereta
kencana. Kejadian tersebut terlihat sangat jelas di siang hari dan dalam waktu
lama yakni sekitar satu setengah jam.
Atas kejadian terrsebut, para pemuka
masyarakat dan para spiritualis melakukan semedi di atas Bukit Srawet. Dari
semedi tersebut ada salah seorang diantaranya disabdakan bahwa agar di tempat
tersebut dibangun sebuah tempat pemujaan Hyang Maha Kuasa. Dalam hal ini
diterjemahkan dengan membangun Pura.
Singkat cerita, proses pembangunan pura
di wilayah mayoritas umat non Hindu tidaklah mudah. Karena masa sebelumnya, umat
untuk bersembahyang ke pura harus sembunyi-sembunyi. Untuk membuat penjor di
hari raya saja kadangkala penjornya ditebas oleh orang tak dikenal. Atas
tantangan tersebut, para pemuka Hindu di sana sangat hati-hati agar tak
menimbulkan gesekan sosial.
Diceritakan kemudian seorang kepala Desa
Bangorejo mengalami sakit keras. Sudah dibawa ke dokter dan bolak balik keluar
masuk rumah sakit, tak sembuh-sembuh. Sudah sekian banyak dukun yang mengobati
juga tak sembuh-sembuh. Maka pada suatu hari, Bapak Kepala Desa bertemu dengan
seseorang asal Bali. Orang ini kemudian mengantarkan bapak kepala desa untuk
berobat. Dan apa yang terjadi?. Bapak kepala desa yang sudah bertahun-tahun sakit,
tiba-tiba berangsur sembuh.
Bapak Kepala Desa saat teringat bahwa warganya
yang pemeluk Hindu berniat membangun tempat pemujaan di Bukit Srawet. Namun
rencana tersebut belum terealisas akibat ijin penggunaan lahan Puncak Gunung
Srawet. Sebagai ucapan terimakasih dari bapak kepala desa kepada orang yang
telah mengantarkan ia berobat dan sembuh, maka tanah di kawasan Gunung Srawet
diijinkan untuk dibangun tempat pemujaan. Kawasan tersebut sejatinya adalah
tanah milik desa, namun agar tak terjadi ketersinggungan dengan umat lain, atau
kepala desa dianggap tak adil, maka kepala desa mengundang Parisada Kecamatan
Bangorejo Banyuwangi untuk membicarakan hal tersebut. Dan untuk resminya, Parisada
kecamatan bersama dengan masyarakat desa
di sana diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah dalam hal ini
pemerintah Desa. Permohonan inilah dijadikan dasar oleh bapak kepala desa untuk
memberikan ijin kepada umat Hindu untuk membangun pura di Bukit Srawet.
Pura mulai dibangun tahun 2003 dan
selesai tahun 2009, didanai dari punia umat baik di daerah sekitar Srawet,
Banyuwangi, dan dari Bali. Pelinggih yang dibangun adalah Pelinggih Tugu tempat semayam dari Mbah Jenggot, sosok
niskala penjaga Gunung Srawet. Pelinggih Penglurah dan Tugu Pengapit, Gedong
Candi Batu Tumpang Pitu sebagai tempat pemujaan kehadapan Mpu Bradah dan Raja
Airlangga sebagai tokoh utama pada jaman kerajaan Kediri di Jawa Timur, yang
diyakini sebagai titisan Wisnu. Pelinggih Padmasana sebagai tempat pemujaan Ida
Sanghyang Widhi Wasa.
Pura
Kahyangan Jagat Sunia Loka disungsung sedikitnya 4.500 umat Hindu di Kecamatan
Bangorejo dan sekitarnya. Rangkaian pemelaspas dimulai dengan upacara Mepepada
di Batu Gajah lereng Srawet, dilanjutkan Tawur Manca Kelud, Pemakuhan dan
Pemelaspasan, Jumat (25/12/2009). Karya pemelaspas dipuput sulinggih yakni Ida
Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba, Ida Pedanda Gede Putra Sigaran, Ida Bhagawan
Dharmika Tanaya dan Ida Pandita Empu Nabe Jaya Dangka Suta Reka.
Di kawasan ini diyakini sebagai petilasan
dari Mpu Bradah, seorang brahmana pada jaman kerajaan Kediri dengan rajanya
Raja Airlangga. Di sini adalah tempat beliau beryoga semadi apabila beliau
beranjangsana ke daerah timur Jawa atau tanah Blambangan, serta ketika beliau
berkehendak pergi ke tanah Bali. Selain itu tempat ini juga sebagai tempat
anjangsana dari Ratu Sesuhunan Kidul / Ratu Pantai Selatan, sehingga pada hari
selasa kliwon / anggarkasih selalu dilakukan ritual tertentu di pura ini.
Odalan di pura ini dilaksanakan pada
hari Purnama Kelima. Banten yang digunakan saat odalan adalah kolaborasi antara
Banten Bali dan banten Jawa. Namun didominasi oleh banten jawa. Banten Bali
yang dipakai dalam odalan hanyalah pejati, beakaon, prasita, dan durmanggala.
Yang lainnya adalah ayaban atau sodan dalam bentuk banten jawa.
Menurut dari pemedek yang pernah tangkil
ke Gunung Srawet, bagi mereka yang memiliki indra keenam atau kemampuan kontak
dengan dunia niskala, maka ketika memasuki kawasan suci Pura Sunialoka Srawet
pastilah akan disapa oleh sosok gaib tua berjenggot dan agak bungkuk. Itulah
sosok niskala penunggu Gunung Srawet yang disebut Mbah Jenggot. Dan menurut
beberapa pemedek mengatakan bahwa aura di Gunung Srawet masih sangat alami,
sangat kental aura kesucian dan aura magisnya. Sehingga tempat ini sangat cocok
untuk melakukan tapa brata yoga semadi, memuja kebesaran dan kemuliaan Hyang
Maha Kuasa. Selain aura pura Gunung Srawet yang sangat angker, tempat ini juga
menyuguhkan pemandangan yang indah. Dari atas bukit Srawet para pemedek dapat
melihat pemandangan daerah sekitarnya, serta melihat pemandangan laut selatan
seperti Pulau Merah dan Alas Purwo yang tampak di kejauhan.
Demikian dapat diceritakan. Semoga tanah
Blambangan, Tanah Jawa, Tanah Pasundan, dan Nusantara pada umumnya dalam asuhan
para Leluhur, para Danghyang Nusantara, para penguasa segara giri (laut dan
gunung), dan selalu diberkati Bhatara Guru. Dari Sirno Hilang Kerthaning Bhumi menjadi Kerthaning Bhumi Nusantara. Rayahu…. rahayu…. rahayu…. (Ki Buyut
Dalu / Baca juga artikel lainnya di kanduksupatra.blogspot.com). #OriginalArtikelByKanduk
No comments:
Post a Comment