Tak
asing lagi bagi orang Hindu Bali. Benang warna tiga ini menjadi trend dalam
lima tahun belakangan ini. Bahkan kini berkembang menjadi sebuah aksesoris
bernuansa etnis. Sekarang tidak saja orang Hindu Bali yang memakai benang warna
tiga yang disebut tridatu ini. Para
wisatawan banyak yang membeli benang tridatu ketika berkunjung ke Bali, bahkan
para artis dan para selebritis sekarang banyak memakai benang tridatu ini.
Jadilah benang tiga warna ini menjadi aksesoris bernuansa etnis.
Namun
apa sejatinya benang tridatu ini?. Menurut cerita dari para tetua Bali yang
masih hidup sampai sekarang. Benang tridatu pada jaman dahulu tak sembarangan
dipakai. Benang tridatu dipakai bila ada kejadian luar biasa di dunia atau
dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan musibah seperti bencana alam,
wabah penyakit, atau gangguan lainnya. Pada situasi yang tak menentu tersebut
kemudian para pemuka adat, para pemuka agama dalam hal ini para jerio mangku
dan Petapakan Ida Betara memohon baos kehadapan Ida Betara sesuhunan baik itu
di kayangan tiga, kayangan jagat atau kayangan lainnya. Memohon petunjuk agar
dijauhkan dari segala lara roga (penderitaan
dan penyakit) dan bencana.
Dari
pemujaan dan permohonan tersebut kemudian turun petunjuk dari Hyang Maha Suci
Ida Betara Sesuwunan untuk mengadakan sebuah upacara tertentu. Petunjuk itu
disebut dengan pemuwus atau sabda
suci dari niskala untuk melakukan ritual tertentu. Dari pemuwus tersebut
kemudian umat atau masyarakat Hindu Bali melakukan yadnya yang sering disebut
dengan peneduh jagat atau pemahayu jagat. Dengan harapan memohon kehadapan Sanghyang Mahakala (penguasa
segala kekuatan) agar dunia dan masyarakat dijauhkan dari kekuatan negatif seperti
wabah, bencana alam atau kekuatan negatif lainnya. Ritual tersebut biasanya
dilangsungkan di pura / kayangan, lebuh atau perempatan, dan di masing - masing
rumah juga menghaturkan sesaji. Dalam upacara tersebut masyarakat nunas tirtha
dan memohon perlindungan dari marabahaya yakni berupa benang berwarna tiga
(merah putih hitam) serta dilengkapi dengan pis
bolong. Benang warna tiga adalah simbol dari kekuatan trisakti yakni Brahma Wisnu Siwa, sedangkan pis bolong (uang kepeng) disebut juga dengan pancadatu juga simbol dari kekuatan sang Panca Dewata. Karena
benang tersebut berwarna tiga dan berisi pis
bolong (simbol panca datu), maka sarana tersebut dinamakan benang Tridatu
(tiga benang yang dilengkapi dengan pancadatu). Dengan benang tridatu tersebut,
manusia Hindu Bali memohon perlindungan kehadapan Sanghyang Tiga Wisesa / Sang
Hyang Tri Sakti / Sanghyang Tri Murti agar dijauhkan dari segala bahaya,
penyakit, dan bencana alam. Demikian juga memohon kekuatan dari Sanghyang Panca
Dewata (Brahma, Mahadewa, Wisnu, Iswara, Siwa). Atas perlindungan para Dewa,
maka diharapkan manusia dapat menjalankan kehidupan di dunia dengan tentram dan
damai. Tak sembarangan umat menggunakan benang tridatu. Ketika masyarakat mengenakan
benang tridatu maka, dapat diperkirakan bahwa sebuah daerah tersebut mengalami
sebuah musibah atau bencana atau wabah. Demikian diceritakan terdahulu.
Namun
berbeda dengan saat ini. Dalam perkembangan beragama di Bali dalam satu dekada
belakangan ini. Benang tridatu menjadi sebuah simbol, menjadi identitas Hindu
Bali, dan bahkan menjadi aksesoris. Ketika pergelangan tangan seseorang
terlilit benang tridatu, maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka adalah
penganut Hindu Bali. Sehingga benang tridatu menjadi sebuah simbol identitas
Hindu Bali.
Berkenanan
dengan keberadaannya, kini banyak pemangku pura terutama pura yang berstatus
Kayangan Jagat atau Dang Kayangan memberikan benang tridatu kepada para pemedek
ketika selesai sembahyang. Pemberian benang tersebut sebagai simbol anugrah
dari Ida Betara yang berstana di pura bersangkutan. Kurang lengkap kiranya kalau
bersembahyang tak mendapatkan benang tridatu. Demikian kejadiannya saat ini.
Seriring
dengan perjalanan waktu, benang tridatu semakin popular. Kehadirannya semakin jauh dari pakem sejarah yang
melatarbelakangi munculnya benang tridatu. Tak ada latar belakang kejadian atau
tak ada latar belakang musibah atau wabah. Benang tridatu dibagikan secara
terus menerus sebagai simbol anugrah Dewa Dewa dan mohon perlindungan. Tak
sampai di sana, entah apa yang melatarbelakangi? Pura – pura yang lain malah
mengeluarkan benang dengan lima warna yang mereka sebut dengan pancadatu, lalu ada yang mengeluarkan
tujuh warna yang disebutnya saptadatu.
Belakangan adalah pengeluaran benang berwarna sembilan di Pura Pentaran Agung Besakih
yang disebut dengan Sangadatu. Entah
apa apa yang melatarbelakangi. Mungkin nanti akan ada benang dengan sebelas
warna yang bisa saja disebut dengan ekadasadatu.
Dan seterusnya…. Yang jelas semua ini adalah imbas dari trend umat mengenakan
benang tridatu, tanpa mengetahui secara jelas maksud dan tujuan, makna sejarah,
filosofi, serta nilai magis dari benang tridatu.
Benang
tridatu kini jadi bahan dagangan. Banyak krama Hindu yang menjajakan benang
tridatu dengan berbagai keunikan dan dirangkai begitu indah. Fungsi benang tersebut
sudah semakin bergeser menjadi sebuah karya seni aksesoris. Mohon maaf, kasak
kusuk diantara umat mengatakan bahwa untuk memperoleh benang tertentu mesti medana punia dulu. Sebuah “kecerdasan” memanfaatkan peluang di dalam trend
masyarakat menggunakan gelang benang. Lebih-lebih benang tersebut didapat
setelah bersembahyang di pura terbesar di Bali. Sudah tentu memiliki nilai
tersendiri di kalangan pemakainya.
Artinya,
benang tridatu dan turunannya kini telah menjadi benda yang bernilai seni,
bernilai magis, sekaligus bernilai ekonomis. Demikian manusia Bali dengan Hindu
Balinya melakoni keyakinannya. Semuanya menjadi inspirasi.
(Ki Buyut Dalu 2016). Gama
Bali / Hindu Bali / Gama Tirtha. Dumogi Rahayu sareng sami.#OriginalArtikelByKanduk
No comments:
Post a Comment