kanduksupatra.blogspot.com. “Orang Jawa
meyakini bahwa Bali artinya Balik atau Kembali. Maksudnya adalah ketika jaman Kali
Sanghara menimpa tanah Jawa, maka ajaran leluhur untuk sementara dititipkan di
tanah sebelah timur pulau Jawa. Pada waktunya nanti, dari sana ajaran leluhur
akan kembali dibawa ke tanah Jawa untuk diajarkan kembali kepada para anak
cucu, kumpi, buyut pewaris tanah Jawa. Itulah sebabnya tanah itu disebut dengan
Bali”. Ini adalah sepenggal kalimat yang dilontarkan oleh seorang tokoh Hindu
di Jawa, untuk mengawali cerita ini.
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur,
belakangan ini menjadi kawasan wisata spiritual alternatif setelah Bali. Setiap
tahun, Banyuwangi mendapat limpahan wisatawan yang bertirtayatra dari Bali.
Boleh dikata hampir setiap hari “rombongan putih” baik dalam sekala besar
maupun kecil menyeberangi Selat Bali untuk bersembahyang ke tanah Jawa khususnya
Banyuwangi.
Di tanah Banyuwangi, sampai saat ini
sudah ratusan pura yang telah dibangun, seiring dengan dengan bangkitnya umat
Hindu di tanah Blambangan yang telah tidur panjang selama lima ratus tahun,
semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit. Kini umat Hindu di tanah Jawa tampil ke permukaan
dengan identitas kehinduannya.
Salah satu pura yang ada di Banyuwangi
yakni Pura Natar Sari. Terletak di Dusun Kali Wadung, Desa Kali Gondo,
Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi. Pura ini dapat dicapai sekitar satu
jam perjalanan dari Pura Agung Blambangan ke arah barat laut menuju lereng Gunung
Raung. Pura ini dibangun sekitar tahun 1967 oleh sekelompok masyarakat setempat
yang masih kuat memegang keyakinan leluhur. Walaupun pada saat itu mereka
mengalami intimidasi yang kuat oleh golongan tertentu. Namun di tengah tekanan
dan intimidasi, mereka masih memiliki keyakinan akan keagungan agama leluhur.
Menurut penuturan dari Mas Didik, salah
satu umat Hindu di Kali Wadung menceritakan bahwa dahulu Dusun Kaliwadung masyarakatnya
sembilan puluh persen adalah pemeluk Hindu Jawa. Pada awal tahun 1960-an, karena
situasi sosial politik, serta tekanan dan intimidasi dari kelompok lain, maka
banyak yang beralih dari Hindu Jawa ikut keyakinan lain. Setelah peristiwa
kelam tahun 1965, sekitar tahun 1967, para penganut Hindu Jawa yang masih
tersisa secara tak sengaja bertemu dengan seseorang dari Bali yang bernama
Bapak Made Sidra. Dari beliau ini mengarahkan untuk tetap menjaga warisan dan
keyakinan leluhur. Sehingga mereka kemudian dengan kekuatan tersisia mereka
membangun Pura di Dusun tersebut yang diberi nama Pura Natar Sari. Pemberian
nama Pura Natar Sari ini diberikan oleh seorang sulinggih dari Tabanan Bali
kala itu.
Pura Natar Sari, sesuai namanya adalah
dimaksudkan sebagai pusat pemujaan atau pusat kegiatan rohani bagi masyarakat
di sana untuk memohon intisari kehidupan dalam mencapai kesejahteraan di dunia
(jagadhita) serta memohon intisari
spiritual berupa pencerahan untuk mencapai kebebasan abadi yang disebut dengan
(moksa). Sehingga dengan demikian
Pura Natar Sari berfungsi sebagai pusat kegiatan spiritual untuk mencapai
kesejahteraan lahir batin sesuai dengan tujuan dari agama Hindu yakni moksartam jagahita ya ca iti dharma.
Pura Natar Sari di Kali Wadung dibangun
di tengah pemukiman Hindu, dengan areal yang cukup luas. Pura Natar Sari terbagi
dalam tiga bagian (tri mandala) yakni
mandala utama (jeroan), madya mandala
(jaba tengah) dan nista mandala (jaba sisi). Pada bagian mandala utama terdapat
pelinggih utma yakni Padmasana yang menjulang tinggi. Pada bagian kiri dan
kanan padmasana terdapat pelinggih
pengapit (semacam tajuk pepelik). Terdapat pula tugu penglurah. Selain bangunan pelinggih, di mandala utama juga dilengklapi
bale pawedan, bale pesandekan.
Antara mandala utama dan madya mandala dibatasi
oleh pemedalan agung berupa candi kurung yang tinggi dilengkapi yang di kanan
kirinya terdapat pelinggih apit lawang.
Di Jaba tengah terdapat bale yang menjadi tempat kegiatan menabuh, menari,
mekidung, pasraman, dll. Pada bagian ini dilengkapi pula dengan perpustakaan
dan pewaregan (dapur). Sedangkan pada
bagian nista mandala, berbatasan langsung dengan jalan desa, dibatasi dengan
adanya penyengker dan candi bentar. Pada bagian ini dilengkapi dengan kamar
kecil.
Dengan adanya fasilitas ini, cukup
representatif bagi para pemedek bila hendak mekemit di Pura Natar Sari. Yang
sudah pasti, ketika umat bersembahyang di Pura Natar Sari, maka akan disambut
hangat oleh pengurus pura dan umat Hindu di sana yang jumlahnya saat ini sekitar
58 kepala keluarga. Umat di Kali Wadung akan menjamu ramah para pemedek,
lengkap dengan identitas dan busana Hindu Jawa.
Odalan di Pura Natar Sari
diselenggarakan pada Purnama Sasih Kapat. Dalam menjalankan odalan dan ritual
keagamaan Hindu di Pura Natar Sari, dipimpin oleh Pemangku yakni Romo Mangku
Jamal yang bertindak sebagai Jero Mangku Gede. Jero Mangku Jamal sudah ngayah
menjadi mangku di Pura Natar Sari sejak tahun 1972. Karena sudah lingsir, kini
beliau dibantu oleh generasi penerus yakni Jero Mangku Alit. Sedangkan urusan upakara, masyarakat di Kaligondo sudah
mahir dalam membuat banten ala Bali. Mereka sudah bisa menyiapkan banten untuk
sehari-hari, untuk banten odalan, untuk rerahinan Galungan, Kuningan,
Saraswati, Pagerwesi, dan bahkan sudah seringkali melaksanakan upacara Ngenteg
Linggih.
Untuk menguatkan srada (keyakinan) umat, maka masyarakat menggelar pesraman-pesraman
bagi generasi muda Hindu di sana. Bahan pengajaran agama Hindu di Dusun Kali
Wadung mengacu pada kitab UPADESA yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma
Indonesia. Dan untuk lebih menguatkan lagi pendidikan umat Hindu di Dusun Kali
Wadung, masyarakat Hindu mendirikan sebuah sekolah Taman Kanak - kanak yang
diberi nama TK Saraswati.
Diceritakan pula oleh Mas Didik, bahwa Desa
Kali Gondo, kira-kira lima kilometer dari Pura Natar Sari terdapat sebuah situs
pemujaan kuno yang diyakini sebagai tempat pemujaan jaman Maha Resi Markandeya yang
berbentuk lingga yoni. Situs ini
ditemukan beberapa waktu yang lalu oleh masyarakat di sana. Namun situs ini sudah
menjadi bagian dari pengawasan Dinas Purbakala. Situs pemujaan ini terletak di
lereng Gunung Raung, di tengah hutan dan hanya bisa dijangkau dengan sepeda
motor. Situs ini dikenal dengan Situs Gumuk Payung.
Umat Hindu Kali Wadung sangat mendambakan
kunjungan dari umat sedarma darimanapun berada. Selain untuk bersembahyang,
juga untuk mengenal keberadaan umat Hindu di tanah Jawa sekaligus untuk
menjalin persaudaraan. Peradaban lereng Gunung Raung yang kini telah bangkit
seperti Petilasan Maharesi Markandeya di Gumuk Kancil, Pura Sugih Waras Bumi
Harjo, Pura Sandya Dharma, Pura Beji Anantaboga, Pura Banyubening, Situs Rowo
Bayu dengan petilasan Prabu Tawangalun dan Pura Candi Puncak Agung Macan Putih,
Situs Gumuk Payung, dll. Semoga berkenan. Ampura. (Ki Buyut Dalu /
kanduksupatra.blogspot.com)
#OriginalArtikelByKanduk
#OriginalArtikelByKanduk
No comments:
Post a Comment