Be siap nak
mule jaen (daging ayam memang enak),
itulah yang menyebabkan banyak orang mengidamkan daging ayam sebagai menu
istimewa. Kelezatan daging ayam melahirkan berbagai macam bentuk olahan ayam.
Terkait dengan keistimewaan dan kelezatan daging ayam, di bilangan Denpasar Timur,
daging ayam membuat kisah tersendiri yang bisa dibilang lucu, menarik, atau
mungkin memilukan. Kisahnya begini.
Suatu pagi Luh Sengkek membeli sayur kesukaan suaminya
Made Likas yakni sayur kangkung di warung di perempatan dekat rumahnya. Pagi
itu masih lengang karena kebetulan hari minggu, jadi tak banyak orang
menggunakan lalu lintas di jalan, walau jalan tersebut adalah jalan raya dengan
jalur yang cukup padat. Sekembalinya dari warung, Luh Sengkek berjalan di
pinggir jalan sebelah barat menuju ke selatan. Ketika itu dari arah utara
datang sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi menuju ke selatan. Tepat di
depan Luh Sengkek, sepeda motor tersebut tiba-tiba menabrak seekor ayam berbulu
hitam. Ayam tersebut ngeseksek
(kejang-kejang) langsung mati di hadapan Luh Sengkek. Si pengemudi tak tahu
kalau menabrak ayam dan terus berlari kencang entah kemana.
Karena dilihat oleh Luh Sengkek ayam itu segar bugar,
cukup gemuk besar untuk ukuran ayam kampung, serta tak ada yang melihat
kejadian tersebut, maka Luh Sengkek berniat untuk membawa pulang ayam tersebut
untuk dimasak. Dalam perajalannya pulang Luh Sengkek berbakat dalam hati
“lumayan dapat satu ekor ayam gemuk, bisa masak enak hari ini”. Tetapi Luh
Sengkek bingung, mau diapakan ayam ini. Kalau dipakai lawar agak repot dan
lama, dipakai ayam goreng nanti jadinya sedikit dan cepat habis, pingin buat
kare ayam tapi tak tahu bumbunya. Demikian dalam benaknya. Ia kemudian memutuskan
untuk mengolahnya menjadi grangasem
(bakso ala Bali) selain bisa diolah sampai ke tulangnya. Jika dagingnya sudah
habis, kuahnya saja juga enak. Demikian percakapan hatinya menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah, ia segera menghampiri Made Likas
untuk memberitahukan bahwa ia memunggut ayam yang baru ditabrak sepeda motor.
Ia menanyakan apakah ayam tersebut bisa dimakan. Suaminya yang tertarik dengan
kesegaran daging ayam tersebut mengijinkan Luh Sengkek untuk memasaknya.
Luh Sengkek pun memasak ayam tersebut dengan senang
hati. Dibuatkan basa Rajang (bumbu
lengkap dan halus), dagingnya dihancurkan sampai halus, diolah menjadi grangasem siap selem tomplok montor
(bakso ayam hitam ditabrak motor). Made Likas pun berpikir, nanti pasti ia akan
makan banyak, akan makan nasi hangat dengan sayur kanggkung tumis, ditambah be siap grangasem. Ia menunggu di bale delod sambil sesekali mencium aroma
masakan ayam tersebut yang membuat pos
ngetel (ngiler) dan seduk (seduk)
Begitulah ceritanya awalnya, sampai akhirnya be gerangasem tersebut masak walaupun memerlukan
waktu yang cukup lama. Luh Sengkek menghidangkan masakannya lalu menikmati bersama
Made Likas. Baunya memang enak, namun ketika disantap, ternyata daging ayam
tersebut masih terasa agak katos dan sedikit berlendir alias belig. Made Likas tak begitu menghiraukan
dan mencoba untuk menikmati lebih banyak lagi, namun lidahnya tak begitu menikmati,
seakan-akan lidahnya menolak masakan daging ayam itu. Ia pun menyudahinya, ia hanya
menikmati jukut kangkung kesukaannya.
Dalam beberapa saat kemudian, anak dari Made Likas dan
Luh Sengkek yakni I Wayan Lojor dan I Ketut Mrenying baru bangun tidur. Mencium aroma masakan ayam tersebut, tiba-tiba
perut mereka menjadi lapar dan langsung makan ayam tersebut tanpa bertanya
mengapa ibunya masak spesial hari ini, dimana dapat ayam dan darimana dapat uang
untuk membeli ayam. I Wayan Lojor dan I Ketut Mrenying menyantap secukupnya,
karena ternyata ia sama dengan ayahnya bahwa daging ayam tersebut kurang begitu
enak rasanya dan dagingnya tidak begitu kenyal.
Kini diceritakan mereka semua telah selesai makan.
Namun ada suatu yang terasa dalam diri mereka. I Wayan Lojor, I Ketut Mrenying
beserta ibunya Luh Sengkek dan Made Likas merasakan perutnya terasa tidak enak.
Perutnya terasa bengka (kembung bercampur
mules) namun ketika ke belakang, tak keluar apa-apa. Kemudian dari kulit mereka
berangsur-angsur keluar bintik-bintik merah yang menyebar ke seluruh tubuh dan
semakin lama semakin terasa gatal. Tubuh mereka terasa gatal, kemerahan,
ditambah dengan perutnya serba tak enak, tak tahu sebabnya. Mereka tak tahu apa
yang harus dilakukan, berobat ke mana.
Waktu itu sudah sore hari, tiba-tiba ada seorang
keponakannya yang bernama I Nyoman Sangkap datang iseng berkunjung. Ia
mendapati mereka sedang menderita gatal dan tak enak perut. Entah apa yang
terjadi, tiba-tiba I Nyoman Sangkap kerauhan di natah rumah Made Likas. Sontak
saja tetangga pada keluar semuanya. Dalam kerauhan tersebut dikatakan bahwa Ida
Betara Hyang Guru dari Made Likas tedun untuk memberitahukan kepada mereka
bahwa penyakit yang ia derita tersebut adalah penyakit yang disebabkan oleh
ayam yang ia dapatkan di jalan tadi pagi. Sebab ayam tersebut bukanlah ayam biasa
tetapi ayam tersebut telah dipakai untuk mengobati seseorang yang kena penyakit,
dipakai untuk melepas wisya (penyakit
mejik).
Untuk menyembuhkan penyakit itu, agar segera ditunasi tirtha di merajan. Demikian baos saudaranya yang kerauhan tersebut. Atas
bantuan dari saudara-saudaranya, ia pun ditunasi
tirta dan setelah itu dalam sekejap rasa tidak enak di perutnya segera hilang
dan kemerahan pada kulit serta rasa gatalnya berangsur hilang. Mereka sekeluarga
menyesali dirinya yang telah makan ayam gratis ditabrak motor. Pantesan rasa
ayam tersebut tak seenak rasa daging ayam biasanya. Demikian dalam pikiran
mereka.
Keesokan harinya setelah sembuh dari petaka wisya itu, Made Likas datang ke seorang
yang mengerti dengan hal niskala yakni Guru Made Lemuh Magoleran. Made Likas
menceritakan peristiwa yang dialaminya. Kemudian Guru Made Lemuh Magoleran
berkata “memang kita harus berhati-hati dengan segala sesuatu yang terjadi di
luar pekarangan rumah atau di marga agung
apalagi di perempatan agung. Kita harus
berhati-hati memunggut barang yang bukan milik kita, walaupun tak ada yang
mengaku memilikinya. Seperti kasus ini. Bisa saja ayam tersebut adalah ayam
yang kemarinnya digunakan untuk pengobatan penyakit tertentu yang berbau mejik.
Artinya sang balian menggunakan ayam tersebut sebagai sarana untuk melepaskan wisya (penyakit mejik) untuk dinetralisir
atau dikembalikan ke alam raya, dengan cara ayam tersebut dilepas di marga
agung atau di perempatam agung. Ayam tersebut mungkin digunakan untuk memindahkan
penyakit seseorang ketika kajeng kliwon
yang baru lewat dua hari yang lalu. Selain ayam sering juga kita dengar
menggunakan sarana seperti telur atau binatang lain selain ayam.
Memang secara kasat mata kita tak dapat membedakan
mana ayam yang telah dipakai sarana dan mana yang tidak. Karena semuanya sama
dan tak ada perubahan secara fisik dari binatang tersebut. Namun untuk tidak
terkena kasus seperti apa yang terjadi pada diri Made Likas sekeluarga, sebaiknya
kita tak memunggut atau tak mengambil barang yang bukan milik kita atau tak
memunggut barang yang tak kita ketahui asal usulnya” Demikian Guru Made Lemuh
Magoleran memberikan penjelasan mengenai kasus yang menimpa Made Likas
sekeluarga.
Jadi maksud hati mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan,
justru mendapatkan penyakit atau kesusahan. Inilah yang disebut dengan Merta Matemahan Wisya.
Keesokan harinya, Tut Gendot, teman karib dari I Made
Likas datang ke rumahnya utnuk menjenguk Made Likas yang kena terkena wisya secara tak sengaja. Setelah
bersenda gurau, Tut Gendot berkata “to be
upah sing ngejot-ngejot”. Maksudnya adalah dapat rejeki tak dibagi-bagi.
Namun selain itu Tut Gendot juga mengingatkan bahwa ia
pernah mendengar dari orang-orang bahwa untuk memunggut sesuatu di jalan yang
tak ada pemiliknya, sebaiknya ngejot
sedikit dulu apabila itu itu berupa makanan. Seperti ayam ini, semestinya
ketika baru lebeng (matang) ngejot sedikit ke lebuh atau di tempat terbuka yang tujuannya untuk mengembalikan
hal-hal yang buruk pada benda itu ke marga
agung (alam raya), sekaligus mohon ampun dan permakluman bahwa sudah
memunggut barang yang bukan miliknya untuk dimakan, agar tak terkena wisya atau kekuatan buruk dari barang
yang dipunggut tersebut. Sama halnya ketika seseorang mendapatkan sebuah cincin
emas di jalan, sebaiknya ditempat munggut cincin emas tersebut ditaruh beberapa
rupiah uang, sebagai simbolis membayar emas tersebut. Disamping itu juga
sebagai penyupatan, siapa tahu barang
tersebut mengandung wisya atau
kekuatan negatif yang dapat membahayakan orang yang memunggut barang tersebut.
Kisah ini diceritakan oleh I Made Ardi Denpasar Utara,
dengan menyamarkan nama pelakunya dengan nama-nama cekian.
No comments:
Post a Comment