Monday, July 20, 2015

Nonton Wayang Hanya Karena Lucu ?






            Di sebuah selebaran tertempel di tiang listrik tersurat tulisan “saksikan pagelaran wayang ceng blonk di art centre”. Kemudian di tempat lain di lain waktu juga terpampang selebaran bertuliskan “pembukaan acara ini itu, dimeriahkan oleh Wayang Joblar”.
            Melihat dari selebaran tersebut, rupanya kedua dalang yang memiliki gaya yang sama ini sangat digandrungi para penggemar wayang di Bali. Kedua dalang ini mampu memberikan warna baru dan darah segar bagi iklim pewayangan di Bali yang sejak beberapa tahun kemarin mengalami sediki kemerosotan terutama di perkotaan. Kecuali wayang tersebut digelar ketika hari odalan atau karya tertentu.
            Dengan gemerlapanya pertunjukan wayang, glamor dan energiknya pertunjukan wayang tersebut membuat penonton menjadi semakin semangat, dengan menuangkan ide baru dengan menampilakn laser, pakem yang sedikit dimodifikasi, serta mengedepankan tokoh Nang Klenceng (ceng) dan Nang Eblong (blong) mampu menghidupkann suasana. Bagi masyarakat yang baru memahami pewayangan mungkin mengira bahwa tokoh ini diciptakan oleh dalang ini. Padahal tidak demikian halnya. Kedua tokoh wayang ini sudah ada sejak jaman dahulu, namun si dalang inilah yang mampu menghidupkan kembali tokoh tersebut sehingga dikenal dengan wayang ceng blong.
            Setiap pertunjukan kedua dalang ini, untuk saat ini hampir tak pernah sepi dari penonton. Penonton berjubel untuk dapat menikmati permainan wayang kolaborasi dengan lampu-lampu laser yang warna-warni, serta pola gerakan wayang yang semakin energik sebagai tanda adanya sebuah pembaharuan dalam dunia pewayangan Bali. Selama pertunjukkan, para penonton dihibur dengan lelucon yang mengocok perut, dengan kritikan-kritikan tajam dan aktual mengenai kehidupan sosial budaya Bali saat ini. Selingan lagu-lagu berbaur dengan suara gerong (sinden) menjadikan pertunjukan menjadi semakin kolosal. Apalagi salah satu dalang ini kemudian menggunakan kolaborasi pedalangan, gambelan dan musik dangdut untuk menghibur penonton. Hal itu sah-sah saja dalam pasar penonton.
            Kalau Joblar masih berkutat pada hal sosial yang kadangkala dibumbui dengan hal yang berbau cabul (bukan porno), sedangkan ceng blongk lebih intelek, lebih tajam, dan lebih kritis menyorot pola kehidupan sosial masayarakat terutama tingkah laku para pejabat saat ini. Sehingga keduanya memiliki daya sedot penonton yang cukup tinggi.
            Atas ketenaran kedua dalang ini, mereka juga menebar pertunjukkan ke rumah-rumah, ke kamar-kamar penggemarnya melalui CD atau DVD yang dapat di beli di kaki lima yang secara kasat mata banyak dibajak oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.
            Nah kembali ke masalah pewayangan yang sedang tumbuh berkembang dan mekar di Bali, yang mengembirakan bahwa ketertarikan generasi muda Bali akan wayang kulit. Syukur, cerik-cerik Bali mau tertarik dengan pewayangan. Kalau masalah wayang, ditanya, maka mereka akan menyebut nama Ceng Blong atau Joblar. Tak pernah mereka menyebut yanglain. Karena itulah yang mereka tahu untuk saat ini.
            Penulis mencoba menggali informasi dan menanyakan mengenai wayang. Pertanyaannya adalah sekitar siapa tokoh-tokoh wayang yang diketahui. Jawaban yang didapat cukup mencengangkan, ternyata si penggemar wayang Ceng Blong dan Joblar tersebut tak menyebut nama tokoh wayang, apalagi kalau misalnya dibedakan tokoh Ramayana, dan tokoh Mahabarata. Mereka menjadi sedikit klingang-klingeng kebingungan. Yang ia tahu adalah Ceng dan Blong. Mereka memang menonton wayang bukanlah mendengar alur ceritanya, tetapi mendengar lawakan yang dikeluarkan oleh dalang ketika memainkan tokoh Nang Klenceng dan Nang Eblong atau mendengar kritik tajam dari para dalang. Mereka tertarik dengan pola pertempuran (siat) yang rame dalam wayang. Tapi mereka tak mengetahui cerita apa yang sedang dimainkan, mereka tak tahu dan mereka acuh tak acuh entah menggunakan cerita apa, yang penting lawakannya.
            Dari sana kemudian penulis sedikit terkejut dengan apa yang disampaikan beberapa responden tersebut, dan memang benar bahwa yang dicari dan dikejar adalah lawakannya. Bahkan ketika mereka menyetel video di rumah, mereka hanya mencari bagian dari Ceng dan Blong alias bagian yang lucu saja, sedangkan yang lainnya lewat begitu saja.
            Dari sini kita mencoba untuk melihat apakah memang benar masyarakat Bali terutama generasi muda benar-benar menggemari wayang, atau sekedar mencari alternatif hiburan lawakan. Dan apakah sang dalang bisa dikatakan berhasil dalam menjalan dharma pawayangan ?
            Padahal dalam pertunjukan wayang terdapat dua cerita pokok yakni Mahabarata dan Ramayana yang merupakan epos, bagian dari Weda. Di dalamnya mengandung unsur fisafat kehidupan, filsafat ketuhanan, upacara, budi pekerti, yang menjadi kewajiban dari para dalang untuk mengadakan transfer nilai kepada masyarakat penonton.
            Anehnya lagi bahwa para penonton yang kesana-kesini mengejar pertunjukan Wayang Ceng Blong, ternyata sama sekali tak mengenal cerita pewayangan. Aneh sekali, pertunjukan yang begitu glamor akan terlewati begitu saja tanpa makna, orang mengejar karena lucu saja. Kalau saja ceng blong dan joblar menginabobokan penonton dengan suguhan lelucon saja, maka sayang sekali upaya yang sudah sukses menggaet penonton, namun gagal dalam mentransfer inti pokok dari nilai wayang yakni menyebarluaskan cerita Ramayana dan Mahabarata yang nota bene adalah ajaran Weda.
            Sesuai dengan prinsip wayang adalah lawat atau bayangan atau cermin dari kehiduan. Dari wayang manusia diharapkan bercermin mengenai kebaikan dan keburukan yang ditampilkan dalam setiap tokoh yang dimainkan dan di sana terdapat banyak ajaran kehidupan.
            Jadi harapan dari para tetua penggemar wayang adalah bagaimana agar wayang tetap menjadi tontonan yang menarik, bagaimana dalam bisa mengarahkan pikiran penonton untuk mengikuti alur cerita sehingga bisa mengetahui cerita dan memahami maknanya yang terkandung di dalamnya. Yang penting lagi adalah kreatifitas dan inovasi sang dalang tentunya tak menjauhkan penonton dengan cerita pokok dari wayang tersebut. Sayang sekali misalnya nanti terjadi bahwa perunjukan wayang yang meriah namun kering akan makna.
            Berbeda dengan penonton wayang Jawa. Kalau Wayang Jawa menampilkan cerita secara utuh, guyonan yang proporsional, sehingga penonton benar-benar mengetahui atau memahami cerita wayang dengan falsafah kehidupan yang termuat di dalamnya. Dengan demikian, secara filsafat bahwa orang Jawa lebih memahami cerita Ramayana dan Mahabarata. Sangat berbeda dengan di Bali, bahwa cerita yang diangkat hanya sekelumit atau sebagian kecil kejadian yang terjadi dalam cerita yang sangat panjang tersebut. Menyebabkan orang Bali mengetahui cerita Ramayana atau Mahabarata terpotong-potong alias tidak utuh. Apalagi dalam cerita yang singkat tersebut sebagian waktu dipakai untuk menghibur penonton dengan lelucon-lelucon, kritik-kritik sosial.        Alangkah baiknya kalau pertunjukan wayang yang penuh dengan kreasi dan inovasi tersebut yang mampu menyedot banyak penonton, kemudian diimbangi dengan keutuhan cerita, memberikan pemahaman, serta menggiring penonton untuk mengetahui lebih utuh cerita pewayangan. Harapannya adalah agar masyarakat Bali menjadi masyarakat yang utuh, yakni masyarakat yang mengetahui akar budaya, mengetahui filsafat agamanya, kemudian menjalankan adatnya sesuai dengan perkembangan jaman, serta berbhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, serta menjalankan proses hidup sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. (inguh).
















No comments:

Post a Comment