Monday, July 6, 2015

Trisandya pakai “pengalo” (pengeras suara), Pantaskah?





Suatu hari berjalan di sore hari, terdengar alunan suara tri sandya yang begitu keras dari sebuah corong yang terpasang di sebuah bale kukul bale banjar di Denpasar. Di beberapa daerah di luar Denpasar juga kerapkali terdengar hal yang sama. Penulis pun pernah mendapat kiriman SMS agar mengumandangkan tri sandya di banjar dengan pengeras suara. Juga penulis banyak mendapat ajakan untuk memasang pengeras suara untuk mengumandangkan puja tri sandya dengan berbagai alaasan. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah
1.      Untuk mensosialisasikan atau membiasakan umat untuk melakukan puja trisandya.
2.      Alasan berikutnya dikemukan bahwa umat lain berkoar-koar mengumandangkan seruan tertentu dengan menggunakan pengeras suara pagi sang, sore dan malam, kenapa kita tidak? Mereka itu tak pernah mengerti dengan situasi dan kondisi masyarakaat sehingga suasana menjadi berisik, bising, dan cukup mengganggu. Yah biar sama-sama, mari kita pasang “pengalo” (corong pengeras suara).
3.      Ini dilakukan demi menjaga ekssistensi Hindu di tanah Bali dari kepungan kaum ….. Demikian katanya.  
4.      Dan beberapa alasan lainnya.

Dari sekian banyak realitas yang ditemukan penulis di lapangan, dikaitkan dengan berbagai alasan yang dikemukan, kita mencoba untuk melakukan penelahaan dan perenungan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Nah dari sini kemudian muncul tulian ini.

Sejatinya di atas muka bumi ini sedang terjadi pergulatan keyakinan yang begitu dasyat yang hampir mencapai titik puncak. Dimana-mana terjadi perdebatan tak henti-hentinya mengenai keyakinan atau agama yang dianut, dimana mereka dengan sengaja membuka keterbatasan, kekurangan, kesalahan, atau membuka sejarah kelam masa lalu, yang membangkitkan rasa ego, dendam, benci, dan permusuhan di kalangan para pendebat agama di seluruh dunia. Termasuk di Indonesai. Lebih-lebih di media sosial, perdebatan dan penghujatan antara agama setiap detik berlangsung dengan mengedepankan kebaikan sepihak serta memunculkan kejelekan di pihak lain. Dengan ungkapan rasa, bahasa, serta gambar-gambar yang menurut kami sangat seronok, propokatif, yang mesti dikontrol dan bila perlu dihentikan. Semua ingin di depan, semua ingin di atas, semua ingin mengungguli. Sungguh mengerikan jika hal ini meledak menjadi perang terbuka, karena semuanya sudah terbakar emosi, terbakar ego, serta terprovokasi oleh pihak provokator. Maka hancurlah  peradaban ini…. Ini adalah situasi global yang terjadi.
Lalu kembali ke masalah pengeras suara yang dikumandangkan dari setiap tempat ibadah dengan volume yang penuh setiap hari, sejatinya adalah suatu hal yang membisingkan, suatu hal yang memang mengganggu. Panggilan itu dilontarkan setiap hari, seolah olah setiap saat umat di ingatkan serta dipanggil untuk bersembahyang. Padahal sejatinya umat mesti dengan sukarela serta dengan ketulusan hati untuk melakukan ibadah, tanpa di suruh-suruh, dibujuk-bujuk atau dipanggil-panggil. Di sisi lain muncul penilaian dari masyarakat umum mengatakan bahwa hal ini adalah sebuah egoisme spiritual, tidak mengindahkan norma kewilayahan dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Bahkan dari kalangan umat seiman pun banyak yang mulai mengkritik penggunaan pengeras suara di tempat dibadah yang menurut mereke seenddiri sudah perlu dikontrol karena bising. Dunia sudah bising dibikin bising lagi, demikian kata mereka. Apalagi misalnya tempat ibadah tersebut beerada di lingkungan yang majemuk.
Terus, mengenai ajakan untuk mengumandangkan puja Tri Sandya lewat pengeras suara, sepertinya perlu dipertimbangkan hal sebagai berikut:
1.                  Jika hal ini dilakukan secara tulus untuk menghimbau umat untuk melaksanakan tri sandya, hal itu sangat positif. Ajakan tersebut mesti disampaikan dengan menggunakan bahasa sendiri. Ajakan atau himbauan tersebut misalnya berbunyi “om suastyastu, karena sudah pukul …., mari melakukan puja tri sandya, untuk kedamaian dunia. Om santi santi santi”. Atau mungkin dalam bahasa Bali “ngiring sareng sami ngerastiti bakti ring Ida Sanghyang Widhi Wasa mejalaran antuk nguncarang puja Trisandya”, atau bahasa yang lainnya. Bukan dengan menyetel kaset puja trisandya dengan volume penuh. Sebab mantram puja trisandya adalah mantra suci dan sacral. Tidak disetel begitu saja, lalu ditinggal. Mantra puja trisandya itu mesti diucapkan dengan pikiran bersih, hati suci, serta dengan tulus iklas, serta dengan sikap yang sudah digariskan dalam ajaran agama Hindu. Agar jangan malah dengan cara ini, kita justru menempatkan mantra puja tri sandya tidak pada tempatnya.
2.                  Perlu diketahui pula bahwa alunan kumandang di tempat ibadah umat non Hindu tersebut bukanlah alunan doa, tetapi seruan untuk melakukan ibadah. Sedangkan doa mereka ucapkan ketika mereka melakukan ibadah. Artinya jangan salah kaprah dan jangan terkecoh, serta ikut ikut tak menentu, apalagi didasari atas niat persaingan, maka hal ini akan menambah ego masing masing, serta semakin mambuat bising dunia ini.
3.                  Anehnya lagi, kalau memang kumandang dari tempat ibadah umat tertentu dianggap suatu hal yang berisik, bising dan kurang baik, kenapa justru iku-ikutan meniru sesuatu yang menurut kita kurang baik. Kan tambah runyam! Yang perlu dilakukan di dalam hal ini adalah komunikasi antar umat, sehingga penggunaan pengeras suara yang berisik tersebut dapat dikurangi, diminimalisir, atau bila perlu ditiadakan. Artinya penggunaan pengeras suara tersebut sebatas intern tempat ibadah itu, tidak diarahkan keluar.
4.                  Oleh karena itu, coba kita renungkan kembali apakah harus kita meniru sesuatu yang kita anggap kurang pas? Dan sekali lagi ketahuilah bahwa puja tri sandya adalah mantram suci, sehingga tak perlu diobral seperti itu. Puja Tri Sandya merupakan gabungan mantram yang disusun oleh para sulinggih Bali di masa lalu. Rangkaian puja ini tak dikenal di India. Para sulinggih di masa lalu menggabungkan enam bait mantram suci menjadi satu rangkaian. Bait pertama mengagungkan ibu dari segala mantra yakni Gayatri Mantra yang bersumber dari Rg.Weda III.62.10. Bait kedua diambil dari Narayana Upanisad. Mantram ini ada dalam rangkaian Catur Weda Sirah, empat mantra yang diambil dari Rg Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Atharwa Weda. Dimana bagian terakhir dari Yajur Weda ini dipakai sebagai bait kedua Puja Tri Sandhya. Bait ketiga ketiga berasal dari satu sloka Siwa Stawa. Sedangkan bait keempat, kelima dan keenam berasal dari Ksama Mahadewastuti yang terdapat dalam kitab Weda Parikrama. Demikian mantram Puja Tri Sandya disusun sebagai mantram suci dan sakral.
5.                  Bisa dibayangkan, kalu misalnya semua pura, semua merajan, atau semua banjar mengumandangkan puja Tri Sandya, alangkah bisingnya. Ramai di kuping, semarak dimata, namun tak menyentuh nurani, justru memunculkan ego, maka hal itu hanyalah sia-sia. “air beriak tanda tak dalam” Ketahuilah pula bahwa jalan dharma adalah jalan kedamaian, jalan ketenangan, jalan ketulusan. Heneng, Hening, Henung. Tenang, sunyi, konsentrasi. Satyam, siwam, sundaram.  Menurut saya demikian.
  

1 comment: