Monday, June 29, 2015

Mana Lebih Mulia, Vegetarian atau Sarwa Baksa?





Menurut Lontar Bubuksah

 Diceritakan dua bersaudara kakak beradik bernama Kebo Milir dan Kebo Ngraweg. Keduanya belum mengenal etika, budhi pekerti, sehingga mereka selalu membuat onar, sekaligus mereka kurang disukai oleh saudara dan keluarga. Pada suatu hari mereka meninggalkan wilayah Kediri menuju pertapaan Mandhalangu atas petunjuk dari seorang siswa pertapaan tersebut yang bernama Hulukembang. Di sana mereka berdua akhirnya diterima untuk menjadi murid, lalu diganti namanya: Kebo Mili menjadi Gagaking, sedangkan Kebo Ngraweg menjadi Bubuksah.
Mereka menemui seorang pertapa suci, dari sanalah mereka lalu belajar tentang ajaran yang sangat rahasia, yakni ajaran keabadian. Banyak hal yang diperoleh di pertapaan Mandalangu. Mereka juga belajar kepada Sang Jugulwatu, salah seorang dari putra sang mahamuni yang telah berhasil dalam tahap ujian pantangan-pantangan, dikatakan berbadan gaib meski usianya masih muda, ia tidak ragu-ragu jika akan menemui ajalnya. Diceritakan bahwa suatu hari, lebih sepekan badan beliau seperti mati tidak ada yang mengetahui kerahasiaan beliau, tubuhnya menebar keharuman “pati nira keh wong gawok dening anilih tan katon”. Wafat beliau sangat gaib oleh karena badan beliau tidak terlihat.
Setelah mendengarkan petuah-petuah dari sang mahamuni, mereka berdua ingin melakukan tapa brata di pegunungan, pada bulan Purnama Kapat. Dalam perjalanan mereka beristirahat di sebuah balai, di balai tersebut terdapat lukisan wayang yang menceritrakan Sudamala. Lalu mereka tiba di sebuah alas angker, hutan yang menakutkan, banyak binatang buas. Sang Gagaking memutuskan untuk mengajak adiknya membuat pertapaan di tempat itu. Sang Gagaking mengambil tempat di sebelah barat sedangkan Sang Bubuksah di sebelah timur. Sebelum membuat tempat pertapaan, mereka menuju ke sebuah pancuran air, dilihatlah sebuah patung yang menceritakan lakon Arjuna Tapa, saat Arjuna melaksanakan tapa yang hebat, Sang Arjuna meskipun digoda oleh bidadari cantik Supraba, Gamarmayang, dan Tilotama namun tidak mengurungkan tapa semadinya.
Dikisahkan Gagaking dan Bubuksah melakukan tapa berata dengan cara yang berbeda. Gagaking menjalankan tapa dengan tidak memakan daging dan segala yang berasal dari hewani, hanya tumbuhan yang dianggap makanan suci. Sedangkan Bubuksah sebaliknya, dia melakukan tapa bratanya dengan tekun namun aneh, segala jenis makanan akan dimakannya, sesuai dengan janjinya, apapun yang terkena jebag / jebakan yang dipasangnya akan dimakan habis, tidak saja kancil, tikus, dan binatang lainnya juga dimakannya. Diolah menjadi makanan sambil menyanyikan kidung-kidung suci, mimum air nira (tuak). Bubuksah sangat ketat dalam menjalankan tapa bratanya. Bubuksah tidak kalah mengagumkan dalam menjalankan tapa bratanya, siang dan malam selalu ingat dengan makanannya, karena masakan yang dibuat harus habis, tidak tersisa sedikitpun. Ini disebut berawa.
Dalam pertapaannya, pada suatu hari mereka terlibat dalam diskusi yang hangat. Gagaking memberi tahu kepada adiknya “adinda, apakah yang adinda lalukan itu adalah suci? kenapa kita tidak menjalankan tapa brata yang sama saja dengan memakan makanan yang suci?”.
Bubuksah rupanya tetap teguh dengan pendirian tapa bratanya, meski sang kakak menyatakan ajarannya keliru dan tidak akan dapat mencapai kesempurnaan batin. Bubuksah tetap menjalankan tapa bratanya dengan tekun.
Dikisahkan pada suatu hari Betara Guru (Dewa Siwa) mendapatkan laporan dari dewa Indra bahwa ada dua orang manusia yang melakukan tapa untuk mendapatkan surga. Atas laporan tersebut kemudian Dewa Siwa berkehendak menguji kesetiaan dan keteguhan keduanya dalam menjalankan tapa brata. Maka diutuslah Sang Kala Wijaya untuk menguji keteguhan hati kedua pertapa tersebut, serta menguji siapa yang telah mencapai tyaga pati yakni kepasrahan  atau kesiapan dalam menyambut kematian. Sang Kala Wijaya kemudian mengambil wujud sebagai seekor harimau putih menuju ke tempat pertapaan mereka. Harimau tersebut pertama kali menuju ke tempat Gagaking untuk memangsanya. Namun Gagaking menyarankan agar harimau menghampiri adiknya yang badannya gemuk, berbeda dengan dirinya yang berbadan kurus yang tak akan membuatnya kenyang. Gagaking tidak rela jika dirinya yang memakan makanan suci dimakan oleh binatang yang tidak suci.
Mendengar perkataan dari Gagaking, harimau tersebut lalu menghampiri Bubuksah untuk memangsanya. Melihat kehadiran dari harimau tersebut menghampirinya untuk memangsanya, Bubuksah yang pemberani dan siap meskipun ajal menjemputnya. Dia meminta menunggu sebentar, selesai dia menyucikan tubuhnya dan melaksanakan japa, mempersilahkan kepada harimau putih itu untuk memakannya.
Mendengar perkataan Bubuksah, sang harimau kemudian mengurungkan niatnya untuk memangsa Bubuksah, lalu mengatakan bahwa dirinya diutus oleh Betara Guru untuk menguji tapa mereka. Sang harimau lalu mengajak mereka berdua untuk terbang ke suargaloka menghadap Betara Guru. Bubuksah menunggangi harimau putih itu, sedangkan Gagaking diterbangkan menggelantung di ekornya. Keduanya dapat mencapai kesempurnaan, keduanya mendapatkan sorganya masing-masing. Kemudian Gagaking mendapatkan sorga tingkat kelima sedangkan Bubuksah mendapatkan sorga tingkat ke tujuh (sorga tertinggi). Demikian ceritanya singkatnya.

Lontar Bubuksah di tulis pada Wadoprana Aburih, wuku Kurantil, pada hari kesembilan bulan terang, menjelang bulan (sasih) Jyesta (bulan sebelas) tahun saka 1619. Kemudian di gubah pada Menail Umanis, bulan Kartika, hari ke dua belas bulan gelap tahun saka 1811.

Kutipan Lontar Bubuksah ini sengaja penulis kutip sebagai bahan renungan bagi kita bersama, karena hakekat dari pencapaian kebebasan abadi adalah ketulusan, kepasrahan, dan ketidakterikatan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Pada jaman sekarang, laku spiritual yang dijalankan kerapkali atas motif untuk kemasyuran, kemuliaan di masyarakat, kerapkali terselubung kegiatan dagang, dan sejenisnya. Artinya dalam tindakan tersebut masih ada ego serta keterikatan untuk pencapaian yang sifatnya duniawi.
Tulisan ini juga menginspirasi di dalam menengahi kaum vegetarian dan sarwa baksa / mimamsa, untuk tidak memperdebatkan cara masing masing. (Buyut).

No comments:

Post a Comment