Monday, June 8, 2015

SIWANATARAJA




 BERKESENIAN DALAM RANGKA PEMUJAAN
 Setiap Tahun di Bali kita disuguhkan dengan suatu perhelatan akbar berupa pesta kesenian Bali. Dan tak asing lagi bahwa di dalamnya akan ada suatu simbul dari pesta kesenian Bali yakni Siwa Nataraja, selalu terpampang di atas candi bentar raksasa di Arda Candra, Taman Budaya Denpasar. Rupanya banyak diantara kita belum mengetahui apa itu Siwa Nataraja yang menjadi simbul tersebut.

Siwanataraja dalam fisolofi India dikatakan sebagai perwujudan dari Dewa Siwa sebagai penari kosmis. Tarian tersebut mengandung banyak makna, simbolisasi, filosofi, dan kreatifitas berkesenian, khususnya kesenian di Bali. Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari religius masyarakat Hindu Bali. Upacara yadnya yang diselenggarakan di pura-pura juga tidak lepas dari kesenian seperti seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa, dan sastra. Candi-candi, pura-pura dan dan lain-lainnya dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika, dan sikap religius dari para umat penganut Hindu di Bali.

Pregina atau penari dalam semangat ngayah mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti kehadapan Hyang Siwa yang pada hakekatnya adalah Ida Sanghyang Widhi Wasa. Di dalamnya ada rasa bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Para seniman ingin sekali menjadi satu dengan seni itu karena sesungguhnya tiap-tiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Dalam artian adalah Siwa Nata Raja bersemayam dalam setiap insan di dunia ini.

Dalam mitologinya, tarian-tarian diciptakan oleh Dewa Brahma, dan sebagai dewa tarian adalah Dewa Siwa dikenal dengan sebutan Siwa Nata Raja. Beliau memutar dunia ini dengan suatu gerakan-gerakan mistis yang disebut dengan mudra, yang memiliki kekuatan gaib.  Dimana setiap gerakan tangan dan gerakan tubuhnya memiliki kekuatan, sehingga tarian ini tidak semata-mata mementingkan keindahan rupa. Namun didasari atas gerakan mudra tersebut, sehingga tarian tersebut memiliki kekuatan sekala niskala. Namun hanya beberapa saja dari gerakan mudra itu yang dapat dijumpai dalam tarian Bali. Namun demikian ciri khas tarian Bali dan nilai artistic magisnya yang bersifat sekala niskala tetap kita jumpai, walaupun tidak sepenuhnya dalam bentuk mudra.  

Seniman Bali lebih banyak seniman karya, dan sedikit yang menjadi seniman filsafat. Sebagai seniman karya, seniman Bali mampu menghasilkan sebuah karya seni yang bagus, dan bahkan monumental. Namun tidak banyak yang dapat mengapresiasikan karyanya. Lain halnya dengan seniman filsafat, dimana seorang seniman lebih berorientasi pada pengartian dari karyanya. Walaupun seringkali karya tersebut kurang diminati oleh penikmatnya.

Tetapi demikianlah seniman Bali sebagai seniman karya. Mereka akan merasa bangga apabila hasil karyanya dapat menghibur hati orang lain. Mereka tidak banyak mengejar filosofi dari karya seninya tersebut. Mungkin pula karena ketidakmengertian para pencipta tari Bali akan jenis dan arti dari gerakan mudra yang berasal dari tarian kosmis Dewa Siwa tersebut. Di samping itu yang namanya mudra di Bali sangatlah sakral, hanya boleh digunakan oleh para sulinggih. 

Bagi masyarakat Hindu Bali, konsep dan filosofi Siwa Nataraja tidak saja perlu diketahui dan dipahami, tetapi juga dipakai sebagai landasan filsafat di dalam berkesenian. Hindu Bali yang Siwaistis, menempatkan Siwa sebagai Dewa tertinggi, Maha Kuasa, pencipta seni, dan sekaligus sebagai tujuan dari kreatifitas seni. Visualisasi popular dari Siwa adalah Lingga-Yoni. Bentuk antromorfik dari Siwa dapat digambarkan menjadi dua yakni Ugra atau Ghora yakni menyeramkan. Aspek saumya atau santa atau damai. Lingga-Yoni melahirkan aspek Siwa dan Sakti.

Dari Siwa, segala bentuk seni di dunia ini berkembang. Oleh karena itu Siwa dipuja oleh para seniman. Dewa Siwa yang pertamakali melahirkan seni tersebut. Sebagai pencipta tarian, Siwa berwujud Nrtyamurti. Siwa juga mengajarkan kesenian kepada Dewa-Dewa dan umat manusia. Siwa juga disebut Adi Guru atau guru pertama kesenian. Siwa juga sebagai guru yoga, musik, dan jnana (ilmu pengetahuan).

Siwa dalam wujud Siwa Nataraja adalah Siwa dalam postur menari. Gerakannya sangat indah, ritmis dan eksotis mistik yang menggetarkan siapa saja yang menyaksikannya. Gerakannya yang ritmis tersebut sangat harmonis dan melahirkan keindahan. Gerakan dalam Siwa Nataraja adalah juga merupakan simbolisasi dari Panca Aksara. Panca Aksara membentuk tubuh Siwa. Tangan yang memegang api adalah Na, kaki yang menindih raksasa adalah Ma, tangan yang memegang kendang adalah Si, tangan kanan dan kiri yang bergerak adalah Wa, tangan yang memperlihatkan abhaya mudra adalah Ya. Panca Aksara adalah kekuatan yang dapat menghapus noda dan dosa. Si Wa Ya Na Ma, adalah mantra. Si mencerminkan Tuhan, Wa adalah anugrah, Ya adalah jiwa, Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan, Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa.

Tarian siwa melambangkan pergerakan dunia spirit. Dalam tarian tersebut, semua kekuatan jahat dan kegelapan menjadi sirna.  Tujuan Siwa menari adalah untuk kesejahteraan dan kerahayuan alam semesta, membebaskan roh dari belenggu  (mala), membebaskan dari tiga ikatan yakni anawa, karma, dan maya.  Siwa bukanlah sebagai penghancur, tetapi sebagai regenarator (proses regenerasi). Siwa adalah sebagai manggala data atau pemberi kesucian, dan ananda data yakni sebagai pemberi kebahagiaan. Siwa menciptakan alam semesta dengan cara menari.

Secara konseptual Siwa Nataraja sebagai wujud nyata diterapkan dalam aktifitas keagamaan di Bali yang selanjutkan mengalir menjadi bentuk-bentuk kesenian. Gerakan tangan (mudra) tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan anggota badan. Pada upacara yadnya  terdengar weda mantra sang sulinggih, suara genta, kidung, kekawin, gamelan, tarian, banten yang ditata indah adalah pada dasarnya perwujudan rasa seni yang dipersembahkan kepada Tuhan.

Wayang sapuh leger misalnya, adalah suatu paduan yang harmonis antara seni pertunjukkan dengan filsafat ketuhanan. Dalam hal ini adalah permohonan perlindungan keselamatan kehadapan Dewa Siwa. Ketika itu Sang Dalang memohon tirtha sapuh leger dengan mencelupkan wayang Acintya, Sanghyang Tunggal, Sanghyang Licin ke dalam sangku, selanjutnya tirtha tersebut digunakan untuk menghilangkan mala secara niskala. Acintya dengan suku tunggal tersebut pada dasarnya adalah Siwa Nataraja itu sendiri dalam tradisi Bali.

Seperti pula misalnya dengan tarian telek, dimana Dewa Siwa menguji kesetiaan Dewi Giri Putri. Siwa kemudian berpura-pura sakit dan hanya dapat disembuhkan dengan empehan lembu (air susu lembu). Yangmana dari cerita tersebut kemudian muncul berbagai macam kesenian tari dengan wujud masing-masing seperti baris, barong, rangda, rarung, dan lain-lain.

Siwa Nataraja adalah upaya pencarian kebenaran, kesucian, keharmonisan, melalui berkesenian (satyam, siwam, sundaram). Berkesenian di dalam kaitannya dengan Hindu di Bali adalah sebuah langkah pemujaan untuk menyatu dengan pencipta seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Berkesenian adalah sebuah upaya mencari kepuasan bhatin, mencari kesenangan, mencari keseimbangan, mencari pembebasan dalam penyatuan dengan sang pencipta, yakni sumber dari seni itu sendiri yakni Sang Hyang Siwa.


 Dengan memahami konsep Siwanata Raja dalam berkesenian, sudah sepantasnya para seniman Bali yang didasari atas ajaran Hindu, menggali lebih banyak mengenai tarian kosmis Dewa Siwa. Karena dalam mitologi Siwa Nataraja, ada sekitar seratus delapan gerakan yang memiliki makna yang sangat mendasar. Namun dalam prakteknya di Bali, tidak semua dikenal. Hanya beberapa hal yang merupakan dasar-dasar tari Bali seperti tandang, tangkep, seledet, tanjek, agem, piles dan lain-lain. Nantinya seniman Bali selain sebagai seniman karya, juga diimbangi dengan kemampuan sebagai seniman filsafat. 

No comments:

Post a Comment