Tuesday, June 2, 2015

Gugurnya Kebo Iwa, Nusantara Bersatu






               Pada jaman pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten atau dikenal dengan nama Raja Gajah Waktra atau Gajah Wahana berkedudukan di Bata Anyar (Bedahulu), raja sangat sakti dan bijaksana, sehingga disegani oleh rakyat, lebih-lebih didukung oleh para patih yang sangat berpengaruh dan tangguh seperti Ki Tunjung Biru, Ki Tunjung Tutur, Ki Kopang, Ki Walung Singkal, Ki Gudug Basur, Ki Tambyak, Ki Ularan, Ki Kala Gemet, Ki Buahan, Ki Karang Buncing, Ki Kebo Iwa, dan Ki Pasung Grigis sebagai Patih Agung.
               Ki Pasung Grigis sebagai patih agung kerajaan Bedahulu adalah putra dari Sri Mpu Indra Cakru yang berpasraman di Puncak Bukit Gamongan (Lempuyang). Sri Indra Cakru juga dikenal dengan nama Sri Hyang Sidhimantra Dewa, seorang yang tekun memuja Hyang Widhi dan bertapa. Pertapaan beliau ada di gunung Semeru di Jawa dan di puncak Gunung Lempuyang (puncak Bukit Gamongan), sehingga beliau meninggalkan kerajaan dan digantikan oleh adiknya, yakni Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lancana. Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lancana diibaratkan sebagai Sang Hyang Guru menjelma ke dunia, karena kerajaan dan rakyat hidup aman sejahtera berkat kebijaksanaan beliau sang raja.
               Pada masa pemerintahan Sri Hyang Ning Adi Dewa Lancana, terjadi serangan dari kerajaan Singasari ke Bali, kemudian pemerintahan sementara dipegang oleh Kryan Demung Sasabungalan dari Singasari. Kemudian digantikan oleh putranya, yakni Kebo Parud. Setelah pemerintrahan Kebo Parud, pemerintahan kembali dipegang oleh keturunan dari raja-raja Bali pada masa sebelumnya.
               Raja Sri Gajah Waktra yang berkuasa di Bedahulu adalah keturunan dari raja Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lancana. Demikian, Mahapatih Ki Pasung Grigis masih satu garis keturunan dengan Maharaja Gajah Waktra. 
            Selain Mahapatih Ki Pasung Grigis, pada masa itu terdapat pula salah seorang patih yang memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Orang tersebut bernama Kriyan Kebo Iwa. Kriyan Kebo Iwa adalah juga seorang patih kerajaan yang amat terkenal. Beliau disebut juga Kriyan Kebo Taruna, karena belum menikah. Badannya sangat tinggi besar, jauh lebih besar dari ukuran orang normal. Kebo Iwa sangat mahir dalam hal bangunan, sakti, pemberani. Beliau tinggal di Blahbatuh. Kriyan Kebo Iwa adalah putra dari Sri Jayakatong (Sri Jaya Karang Buncing), sedangkan Sri Jaya Karang Buncing adalah kakak dari Ki Pasung Grigis.

               Sri Jaya Karang Buncing mempunyai putra tiga, yakni Sirarya Karang Buncing, Kebo Iwa, dan Sirarya Karang. Ketiganya ditinggal pergi beryoga ke bukit Gamongan (Lempuyang) oleh ayahnya, mengikuti kakaknya Sri Indra Cakru. Sirarya Karang Buncing mempunyai keturunan bernama Sirarya Karang Buncing, sama dengan nama ayahnya. Ki Kebo Iwa sendiri tidak berketurunan, karena belum kawin, dan Sirarya Karang berketurunan bernama Karang. Demikianlah diceritakan riwayat keluarganya.
               Kembali diceritakan di Bedahulu, karena kekuatan kerajaan Bedahulu, menyebabkan Raja Majapahit, Sri Maharaja Dewi (Tri Buwana Tungga Dewi) menjadi kawatir, sehingga memerintahkan kepada Mahaptih Gajahmada mencari jalan keluar untuk menundukkan Bali. Atas perintah dari Sri Maharaja Dewi itulah kemudian muncul “Sumpah Pala”, yang diucapkan oleh Gajah Mada di hadapan raja Majapahit.
               Tak diceritakan, segeralah berangkat rombongan yang dipimpin Gajah Mada menuju Bali menggunakan perahu dan mendarat di Pantai Gumicik. Kemudian menuju ke utara menuju daerah yang sekarang disebut Sukawati. Sampai di sana rombongan Gajah Mada dicegat oleh pasukan Ki Pasung Grigis. Melihat kedatangan Ki Pasung Grigis, Patih Gajah Mada mulai mengatur siasat dengan berpura-pura berlaku sopan dan menunjukkan rasa takut, seraya menghaturkan sembah dan penghormatan.
               Pasung Grigis turun dari kudanya dan bertanya “Wahai yang mulia tuan bagaikan Wisnu. Maafkan hamba bertanya, karena belum kenal. Siapakah gerangan tuan sudi datang ke desa dusun. Dari mana asal tuan dan ke mana tujuan tuan. Apakah yang tuan perlukan datang kemari. Silahkan ceritakan kepada saya secara sungguh-sungguh, agar saya maklum.”    
               Patih Gajah Mada menjawab sopan: “Ampun Tuan hamba ibaratkan Hyang Rudra Murti. Maafkanlah saya si bodoh dan nista ini. Saya ini tidak lain adalah Si Mada. Saya berasal dari Majapahit. Saya utusan dari Sri Maha Dewi, Ratu Majapahit, hendak menghadap duli paduka Sri Maharaja pelindung rakyat dan nusa Bali. Kedatangan hamba adalah membawa surat untuk disampaikan kepada Sri Maharaja Bali yang Agung. Mohon kiranya Gusti Patih menerima kami sebagai utusan guna menyampaikan surat penting ini”       
               Ki Pasung Grigis: “Wahai adinda Mahapatih, mengertilah saya dengan maksud kedatangan adinda ke Bali. Adinda yang mulia, untuk kepentingan ini kami akan antarkan adinda menghadap Sri Baginda Maharaja. Namun sebelumnya saya akan melapor kehadapan Baginda Raja, selanjutnya kita tunggu perintah Beliau. Saya harap agar adinda Gajah Mada sabar menunggu. Dan ada baiknya adinda menunggu di Blahbatuh, di rumah Sri Jaya Karang Buncing.”
               “Baiklah dan terima kasih atas kebaikan Paduka Patih”, demikianlah sahut Patih Gajah Mada.
               Kemudian rombongan Gajah Mada dan Ki Pasung Grigis berangkat bersama menuju Blahbatuh. Kedatangannya di sana disambut oleh Sri Jaya Karang Buncing. Demikian pula Gajah Mada diperkenalkan dengan Rakriyan Kebo Iwa. Pertemuan dengan Kebo Iwa adalah bagaikan pepatah, pucuk dicita, ulam tiba. Karena yang menjadi tujuan utama dan sasaran utamanya, adalah bertemu dengan Kebo Iwa. Dan di lain pihak, Ki Pasung Grigis segera berangkat menuju istana Bedahulu untuk melapor.
               Diceritakan di rumah Ki Karang Buncing, rombongan Gajah Mada dijamu dengan sangat baik dan ditemani bersenda gurau oleh Ki Kebo Iwa. Ketika itu, Gajah Mada mulai menebarkan jaring-jaring perangkapnya. Gajah Mada menuturkan maksud kedatangannya ke Bali adalah untuk meningkatkan persaudaraan antara Majapahit dengan kerajaan Bali. Untuk maksud tersebut, di samping Sri Ratu Majapahit menghadiahkan barang-barang kepada Raja Bali, Sri Ratu juga menghaturkan seorang putri kepada Ki Kebo Taruna untuk dijadikan istri.
               Patih Gajah Mada sangat lihai dalam bertutur kata, sehingga Sri Jaya Karang Buncing dan Ki Kebo Iwa menjadi terpengaruh, dan semakin tumbuh simpatinya kepada Maha Patih Gajah Mada. Sama sekali, kedua tokoh Bali tersebut tidak menyangka akan adanya maksud yang sangat berbahaya dari semua itu. Dan kedua patih tabeng dada kerajaan Bedahulu tersebut telah berada dalam perangkap Sang Maha Patih Gajah Mada.
               Diceritakan bahwa Ki Pasung Grigis sudah tiba di Bedahulu segara masuk ke istana dan langsung mempermaklumkan kepada Sri Maharaja Arta Sura Ratna Bumi Banten. Ki Pasung Grigis berdatang sembah dan berkata : “Ampun paduka Sri Maharaja, kini ada utusan dari Majapahit, yakni Si Patih Gajah Mada hendak menghadap duli tuanku Maharaja. Kini, utusan tersebut ada di rumah hamba di Blahbatuh. Rombongan utusan tersebut telah hamba periksa dan juga perahunya. Tidak ada ditemukan membawa peralatan perang. Bagaimana rencana tuan hamba? Hamba menunggu perintah Sri Maharaja.”
               Ketika itu, Maharaja bersabda. “Wahai kamu Pasung Grigis, daku perkenankan utusan itu menghadap. Utusan tidak boleh ditolak, supaya jelas diketahui maksud dan tujuannya, ” demikian sabda sang raja Asta Sura Ratna Bumi Banten kepada Patih Agung Ki Pasung Grigis..
               Ki Pasung Grigis segera berangkat menjemput utusan Majapahit ke Blahbatuh.         Selanjutnya, semuanya segera berangkat ke Bedahulu. Di belakangnya diiringi oleh Ki Kebo Iwa. Rombongan utusan pejabat dari Majapahit dan Bali beriringan berangkat ke Bedahulu. Sesampai di pintu istana, semua rombongan berjalan membungkuk merunduk sebagai rasa hormat kehadapan Sang Raja. Tidak terkecuali Mahapatih Gajah Mada. Begitulah tata tertib menghadap Sri Maharaja Bedahulu.
               Menyaksikan perilaku sopan dan hormat dari Gajah Mada dan rombongan, Sri Maharaja menjadi berkenan.   Raja Gajah Waktra bersabda : “Wahai kamu Gajah Mada serta pejabat tinggi semua. Silahkan duduk kemari dan jangan menjauh. Apa maksud dan tujuan kamu datang kemari? Ceritakan yang sesungguhnya kepadaku. Berita apa yang kamu bawa dari ratumu untukku?”
               Ki Patih Gajah Mada menghaturkan sembah kepada Maharaja. “Ya, ampunilah hamba, hamba Si Mada yang bodoh dan nista, durhaka berani menghadap duli paduka Maharaja. Hamba menghadap Sri Maharaja untuk mempersembahkan surat dari Raja Putri junjungan kami di Majapahit. Mohon paduka menerimanya.”
               Patih Gajah Mada juga menjelaskan bahwa baginda Raja Sri Mahadewi atau Tri Bhuwana Tungga Dewi di Majapahit sangatlah resah dan khawatir. Takut dengan kesaktian Sri Paduka Maharaja Bali. Baginda Raja Majapahit memohon agar Sri Maharaja Bali tidak menyerang Majapahit. Baginda Ratu menghendaki persahabatan sejati.
               “Apabila Sri Maharaja Bali berkenan bersahabat dengan Sri Baginda Ratu Mahadewi, Baginda memohon agar Kyayi Kebo Iwa diperkenankan pergi ke tanah Jawa untuk segera dinikahkan dengan seorang putri dari Lemah Tulis. Putri tersebut amatlah cantik. Pandai, baik hati, dan juga sosok tubuhnya yang sangat harmonis kalau disandingkan dengan Krian Kebo Iwa. Sebab sayang Kryan Kebo Iwa yang gagah perkasa, sampai lewat usianya belum ada jodohnya. Itulah salah satu sebagai tanda persahabatan sejati “.
               Demikianlah hatur sembah utusan Ki Patih Gajah Mada yang membuat Sri Maharaja Bedahulu menjadi berkenan. Beliau meluluskan semua permintaan dari Ratu Tribhuwana Tungga Dewi dari Majapahit. Permintaan tersebut dikabulkan tanpa ragu-ragu.
              
Isi surat dari Majapahit memuat empat hal:
1)  Memohon agar kerajaan Bali tidak menyerang Majapahit.
2) Memohon agar hubungan kerajaan ditingkatkan menjadi persaudaraan.
3) Sebagai tanda persaudaraan, Sri Ratu berkenan menyerahkan seorang putri untuk dinikahkan dengan Kebo Iwa.
4) Memohon agar Kebo Iwa diperkenankan menjemput calon istrinya ke tanah Jawa.
               Dengan telah dipenuhinya kesepakatan antara Gajah Mada yang mewakili kerajaan Majapahit dengan Maharaja  Bedahulu, Sri Gajah Waktra membuat gembira hati dari para utusan tersebut. Karena jaring-jaring perangkap yang mereka tebar telah mengena. Dengan demikian, hanya tinggal selangkah lagi pasukan Majapahit akan menundukkan dan menguasai Bali Aga. Karena saking gembira hatinya, rombongan Majapahit tersebut menganggap Bali Aga dengan segala isinya sudah dalam gemgaman mereka.

                                 KEBO  IWA  “ KAREBUT “

               Tidak diceritakan berapa lama Patih Gajah Mada di Bedahulu. Datanglah saatnya untuk kembali ke Majapahit. Semua rombongan mohon pamit kehadapan Sri Maharaja Gajah Wahana. Tidak ketinggalan Ki Kebo Iwa yang akan berangkat ke tanah Jawa. Ketika itu Sri Maharaja menasehati Ki Kebo Iwa agar berperilaku baik-baik, sopan dan tidak membuat malu di Majapahit. Kebo Iwa menghaturkan sembah untuk selalu mengingat nasihat dan pesan Sri Maharaja Gajah Waktra. Sekalian Kebo Iwa mohon pamit untuk pergi ke Majapahit bersama dengan rombongan Mahapatih Gajah Mada.
               Mendengar segala percakapan dan permohonan Gajah Mada sebagai utusan Majapahit, yang kemudian dikabulkan oleh Sri Maharaja Gajah Wahana, maka Ki Kebo Iwa sangat gembira hatinya. Mukanya bersinar-sinar dan cerah. Terbayang hatinya akan segera mendapatkan jodoh yang cantik dan baik hati di tanah Jawa, seperti apa yang dijanjikan atau diiming-imingi oleh Gajah Mada. Sama sekali tidak terbayang bahwa semua itu adalah sebuah tipu daya untuk menghabisi dirinya. Ia pun tidak menyadari bahwa ia sudah  masuk perangkap. Bahaya di tanah Jawa telah menunggunya. Diliputi oleh suasana hati yang berbunga-bunga, Kebo Iwa pun tidak menyadari apa yang akan terjadi pada dirinya.
               Dikisahkan kemudian perjalanan rombongan Gajah Mada berlayar bersama Kebo Iwa menuju Majapahit. Kebo Iwa menggunakan perahu layar tersendiri. Ketika berada di tengah laut dalam, rombongan Gajah Mada mulai untuk upaya pertamanya yakni secara diam-diam mencoba untuk menenggelamkan perahu Kebo Iwa. Dengan upaya tersebut menyebabkan perahu layar Ki Kebo Iwa tenggelan dan ditinggalkan oleh perahu Gajah Mada.
               Melihat perahunya terbalik dan Kebo Iwa tidak kelihatan karena ditelan gelombang laut yang ganas, pasukan Gajah Mada menjadi senang hatinya. Mereka bersorak sorai telah berhasil menenggelamkan Kebo Iwa yang sakti itu. Mereka merasa sangat lega karena tugas untuk menyingkirkan Kebo Iwa yang sakti dapat dilakukan dengan cara yang mudah. Mereka pun mengira bahwa Kebo Iwa telah tewas. Namun, karena kesaktian dan kemahirannya, Kebo Iwa tidaklah tenggelam dan ia masih hidup. Kebo Iwa muncul dari dalam air dan berenang mendekati perahu rombongan Gajah Mada. Bahkan, Kebo Iwa dapat berenang dan menyelam lebih cepat dari perahu Gajah Mada. Kebo Iwa kemudian mendekati perahu Gajah Mada dan berkata: 
               “Jangan Tuan Mahapatih takut atau khawatir, sebab samudera ini adalah tempat permandian hamba sejak kecil ”, demikianlah kata-kata Kebo Iwo kepada Gajah Mada, yang membuat hati Gajah Mada menjadi gusar. Sebab Kebo Iwa memang lihai, mahir dan sakti. Kesal hatinya ketika gagal membunuh atau menenggelamkan Kebo Iwa di tengah laut.
               Kebo Iwa yang tidak menyadari dirinya akan dihabisi di tengah laut, dengan hati tanpa beban dan bersenang-senang berenang dan menyelam di laut. Meluncur dengan cepat melampaui perahu yang ditumpangi Gajah Mada. Bahkan, Kebo Iwo lebih dahulu sampai di pantai tanah Jawa. Menyaksikan semua ini, semakin heran dan semakin khawatir rombongan Majapahit akan keberhasilannya untuk membunuh Kebo Iwa.
               Tidak diceritakan panjang perjalanan rombongan dan Kebo Iwa di tanah Jawa. Akhirnya, mereka sampai di bumi Wilwatikta atau Majapahit. Patih Gajah Mada segera melapor kepada Ratu Mahadewi bahwasannya Kebo Iwa telah berhasil dibawa ke tanah Jawa. Dan diceritakan pula mengenai kesaktian Patih Kebo Iwa.
               Mendengar penjelasan dari Gajah Mada, maka Ratu Mahadewi menitahkan untuk menjalankan rencana selanjutnya, yakni dipertemukan dengan wanita cantik calon istrinya. Namun, ketika itu wanita cantik tersebut telah diberitahukan sebelumnya mengenai siasat yang akan dijalankan untuk menghabisi Kebo Iwa.
               Ketika itu, Patih Kebo Iwa disambut dan dijamu layaknya seorang menteri. Kemudian wanita cantik calon istrinya dipertemukan dan diberi kesempatan bercumbu rayu. “Aduhai kakanda pemberani dan tersohor di dunia. Kanda memiliki tubuh yang sangat kuat dan sempurna, sakti, serta mahir dalam ilmu bangunan. Kini, adinda bermaksud untuk membuat sumur untuk digunakan ketika menikah nanti.” Ketika itu tersenyum Kebo Iwa, tertikam oleh panah asmara Sang Hyang Semara.  Kebo Iwa pun menyahut “Jangan khawatir adinda, sekarang pun kanda akan membuat sumur untuk dinda, tinggal dinda tunjukkan di mana tempatnya.”
                  Tepat pada tempat yang ditunjukkan oleh wanita tersebut, Kebo Iwa memulai membuat sumur. Kebo Iwa kemudian membuat sumur tersebut dengan tanpa menggunakan alat pembuat sumur. Digunakan tangan dan kakinya yang kuat untuk menggali tanah dan batu-batu. Kebo Iwa tidak mengetahui kalau di sekitar tempat tersebut telah disediakan banyak sekali batu-batu besar untuk menimbun Kebo Iwa nantinya kalau sumur yang dibuatnya sudah dalam. Setelah dalam sumur yang dibuat, Kebo Iwa juga tidak menyadari akan bahaya. Di sekeliling tempat itu telah banyak pasukan yang akan menimbun Kebo Iwa dengan senjata, batu dan tanah.
               Diceritakan kemudian sumur yang dimintai oleh calon istrinya tersebut sudah selesai dan berukuran dalam, maka pasukan yang telah siap di sekeliling sumur tersebut segera diperintahkan untuk menjalankan tugasnya. Ketika dikomando, semua prajurit Majapahit melemparkan batu-batu besar tersebut, dan juga senjata kepada Kebo Iwa yang ada di dalam sumur.
               Mendapat serangan dari atas, ketika itu baru Kebo Iwa menyadari bahwa dirinya akan segera dihabisi. Kebo Iwa menjadi kesal hatinya dan marah mengetahui maksud licik dari tawaran wanita cantik kepada dirinya tersebut. Dalam hatinya menjadi panas dan murka, karena telah diperdaya oleh orang-orang Majapahit. Pada saat diserang atau dihujani dengan senjata-senjata dan batu-batu besar dari atas, tidak membuat Kebo Iwa terluka. Karena ia memang orang yang sakti dan kebal terhadap senjata.
               Kemudian dalam keadaan demikian, dilemparnya kembali senjata-senjata, batu-batu dan tanah tersebut ke atas, dan mengenai prajurit-prajurit yang menimbun itu.  Hal ini membuat prajurit Majapahit tersebut menjadi kocar-kacir dan mengalami banyak korban. Karena Kebo Iwa memang orang yang sakti mandraguna.
               Dengan hati yang marah, Kebo Iwa naik dari sumur dan berkata. “Hai engkau Patih Gajah Mada. Terlalu curang hatimu. Ini bukanlah sasana dari seorang ksatria. Ini adalah perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, angkara murka perbuatanmu karena mengingkari persahabatan”, demikian Patih Kebo Iwa mengingatkan Mahapatih Gajah Mada. Namun, Patih Kebo Iwa ketika itu menyadari bahwa semua ini adalah kehendak Hyang Maha Kuasa. Ia sendiri menyadari telah masuk dalam perangkap musuh yang sangat kuat dan besar. Walaupun memiliki kesaktian dan kekuatan, tampaknya tak mungkin akan dapat keluar dari perangkap ini. Rupanya kali ini adalah menjelang dari akhir hidupnya di dunia, dan ini adalah semua sebagai akibat karma yang harus ia terima. Ini adalah saatnya ia kembali ke alam Wisnu.
               Ketika itu, Kebo Iwa memberitahukan kepada Gajah Mada bahwa ia tidak mati oleh senjata. “Kalau ingin membunuhku timbunlah aku dengan kapur.” Demikian Patih Kebo Iwa memberitahukan kepada Mahapatih Gajah Mada yang berkeinginan  besar untuk menghabisinya. Hal ini membuat takjub dari para patih Majapahit akan kesaktian dan kejujuran dari Patih Kebo Iwa. Mereka pun mejadi sedikit lega dalam hatinya, karena musuh besar yang ditakutinya telah masuk perangkap dan telah mengatakan rahasia kesaktiannya.
               Ketika itu pula,  Kebo Iwa dengan penuh kesadaran, ketulusan, hati yang suci, memusatkan pikiran kepada Hyang Maha Pelebur, dan turun ke dalam sumur. Dan segera para pasukan beserta para patih Majapahit menimbun sumur tersebut dengan kapur. Setelah ditimbun dengan kapur, maka melayanglah jiwatman Sang Kebo Iwa disertai bau harum semerbak, ditiup angin sepoi-sepoi menuju Wisnuloka. Daerah atau tempat dibunuh atau ditimbunnya Kebo Iwa dalam sumur tersebut kemudian dinamakan dengan Telagourung (sumur yang belum jadi).

               Sorak-sorai gegap gempita suasana di Majapahit. Sebab yang ditakuti atau yang dikhawatirkan penguasa Majapahit adalah Kebo Iwa yang telah dapat dihabisi melalui tipu muslihat. Dengan telah berhasil disingkirkannya Patih Sakti Kebo Iwa, seolah-olah kemenangan sudah di depan mata. Kini tinggal mempersiapkan para patih dan pasukan untuk menyerang kerajaan Bali (sumber:Lontar Usana Bali Pulina/inks).


















































1 comment:

  1. Intrik politik versus ketulusan persahabatan, sifat kesatria, dan kepasrahan kepada Yang Maha Penguasa.

    ReplyDelete