Monday, June 8, 2015

Celuluk Kasmaran




Kembali cerita datang dari tanah Nusa Penida. Kisah ini dialami oleh Tut Badeng Senged yang sehari-harinya sebagai seorang petani rumput laut di desanya. Pada suatu hari terik matahari menyengat menyianri tanah Nusa Penida. Saat itu adalah saat yang baik untuk turun ke laut menanam rumput laut. Tut Badeng Sengged ngeblok permukaan bibir pantai sekitar lima puluh are ditanami rumput laut bersama istrinya Ni Luh Made Pemulu Nyandat Gading. Tut Badeng S bersama dengan istri sejak pagi sudah berada di laut, sampai siang dan bahkan sampai malam. Ia pun membawa bekal makanan ke pantai. Begitulah pekerjaannya setiap hari. Pulang pada malam hari. Ketika sampai di rumah anaknya sudah tidur, dan ketika mereka berangkat kerja, anaknya masih tidur Jadi jarang mereka bercengkrama dengan anaknya.
Suatu hari I Ketut Badeng Senged berada di laut besama istrinya sampai malam hari, karena bulan purnama. Setelah selesai bekerja dan merasa lelah, ia bergegas untuk pulang sambil membawa beberapa rumput laut. Sebelumnya ia mengambil sepeda motornya yang ditaruhnya sekitar dua ratus meter dari tempat ia bekerja di bibir pantai. Saat itu memang ia sendiri yang masih di laut, yang lainnya sudah mendahului pulang.
Sepeda motor Yamaha Yupiter berwarna biru kesayangannya diparkir di bawah pohon waru. Motor distarter …. dan hidup.. greng..greng…greng. Gas ditarik, lalu berjalan. Namun setelah beberapa meter roda berputar di atas tanah yan berpasir, Ketut merasakan motornya agak seret jalannya, dan terasa berat. Ia mencoba untuk ngeget motornya. Jalannyapun masih lebih kencang, namun ia punya perasaan kok lari kendaraan masih berat. Ada apa. Ia pun terus saja mengendarai motornya di jalan yang agak remang-remang. Dan setelah beberapa saat itu kekawatirannya itu terjadi. Tak disangka ada sesuatu yang melingkar memegang pingangnya. Seperti ada yang memeluk dirinya. Ia melihat ke bagian pinggangnya, tak ada apa-apa. Namun seperinya ia sedang membonceng seseorang. Perasaannya mengatakan bahwa istrinya masih di pantai dan sekarang akan ke sana untuk menjemput. Ada apa ini? Demikian perasaannya.
Sambil pelan-pelan ia mencoba untuk menoleh ke belakang yang sepi, tak ada apa-apa. Ia kembali mengendarai sepeda motornya. Mungkin ini hanya perasaan saya saja, demikian kata hatinya. Setelah sekitar dua puluh meter dari tempat semula ia kembali merasakan hal serupa, Kendaraannya berat dan seret. Pinggannya kembali seperi ada yang memeluk. Sampai akhirnya ia mencoba untuk melihat ke pingangnya, terlihat olehnya jari-jari manis putih memeluk pinggangnya. Ia terkejut, kok ada waita cantik yang boncengan. Ia ingin tahu wajahnya dengan wasa-was. Ia menoleh ke belakang. Tak dinyana dan tak diduga, Ketut Badeng terkejut setengah mati, melihat sosok cantik putih berambut panjang. Namun kepalanya botak setengah dengan mulut lebar nyonyok lambih. Rupanya ia sedari tadi diganggu oleh celuluk tersebut. Tut Badeng jatuh tersungkur bersama dengan celuluk yang diboncengnya, bahkan celuluk itu menindih badan Ketut Bdeng dalam posisi berciuman.
Cepat-cepat kemudian Tut Badeng melepaskan diri dari cengkrama celuluk yang menikmati ciuman tersebut. Walaupun bau badan celuluk itu miik alias harum, namun bon kah alias bau mulutnya sangat busuk. Hampir-hampir I Ketut Badeng muntah dibuatnya. Ia merasakan bahwa ini ciuman yang paling tidak indah yang pernah ia rasakan. Berciuman dengan celuluk mulut busuk.
Melihat Si Ketut sudah kalap, celuluk tersebut kemudian tesenyum manis sambil berkelebat menghilang di balik pohon kelapa. Ketut berusaha untuk menemukan celukuk kurang ajar tersebut, namun tak ketemu. Ia menghujat celuluk tersebut dengan kata-kata “celuluk bangkan-bangkan totonan….”
Iapun kemudian segera mengamil motornya yang tersungkur di semak-semak berpasir, lalu menghidukannya. Sesampai di pinggir pantai ia disapa oleh istrinya yang sudah lama menunggu. Tut Badengan hanya bisa mengatakan bahwa tadi motornya mogok. Tut Badeng yang hatinya kesal lalu membonceng istri cantiknya ke rumah, sambil membayangkan kejadian tadi.
Tak berselang lama, sampailah mereka di rumah. Lalu beristirahat tidur. Keesokan harinya, mereka kembali ke pantai untuk menanam rumput laut. Ketika istrinya sedang di tengah pantai menanam rum put laut, I Ketut Badeng sedang menyiapkan bibit rumput laut di pinggir pantai. Sedang asiknya ia bekerja, tiba-tiba datang seorang perempuan menghampirinya dan tersenyum manis pada I Ketut Badeng. Perempuan manis itu berkata “kenken bli, nyak luwung sirepe ibi sanja. Tiang ngipi megelut tur mediman ajak bbli ibi sanja. Sangkanang tiang sing nyidang sirep kanti semeng. To awanan tiang mai, apang maan ketemu ajak beli” Artinya: Bagaimana Bli, nyenyak tidurnya tadi malam? Saya mimpi beperlukan dan berciuman dengan beli. Itu sebabnya saya tak bisa tidur sampai pagi. Itu pula sebabnya saya menghampiri beli ke sini”.
Lagi-lagi perempuan bertubuh blentek (pendek gemuk) tersebut berkata “saya senang sekali dengan mimpi saya yang atadi malam itu. Bagaimana dengan beli, apa yang beli rasakan”. Mendengar semua itu, I Ketut menjadi kaget dan berpikir, bisa jadi orang ini yang menjadi celuluk kemarin malam yang mengganggu dirinya.
Ketut berkata “eh lesung (panggilan untuk orang yang pendek gemuk)… rupanya kamu yang kemarin malam menjadi celuluk dan menggangu aku. Tak tahu malu, masih saja engkau mengejar aku sejak dulu. Awas sekali lagi kamu menggangguku akan aku ikat engkau semalaman di pohon pandan”.
Mendengar omongan Ketut yan mulai kesal, Ni Wayan Ani Yudayani alias Lesung segera pergi sambil tesenyum genit cengengesan. I Ketut Badeng Senged pun tak bisa bebuat apa, sebab Ni Wayan Ani Yudanyani dulu pernah menjadi kekasihnya. (*)      

No comments:

Post a Comment