“Aneh….
Memang aneh. Sepertinya mereka tak menghormati agamanya sendiri. Sepertinya
mereka bukan orang Bali Hindu” Demikian ocehan dari De Nok (nama lengkapnya I
Made Nokia Antara) pada suatu siang di depan bale banjar, seminggu setelah ngembak
geni. Ketika itu di sampingnya ada Yan Bebe (nama lengkapnya I Wayan Gede
Agus Black Bery). Yan Bebe lalu menanyakan kepada De Nok, kenken ne jeg
mekapal Rusia pedidi? (ngemigmig / ngomel).
De
Nok menyahut. “Sungguh… sungguh… sungguh… terlalu, dan sungguh tak terima aku”.
Coba bayangkan masa tetanggaku itu baru datang dari Jawa. Ia berangkat dua hari
sebelum Nyepi. Pasalnya anaknya konon tak bisa dengan suasana sepi, tak tahan
dengan gelapnya saat Nyepi, dan takut ketika Nyepi. Itu alasannya, sehingga ia
harus pergi ke Jawa ke rumah saudaranya untuk Nyepi di Jawa”.
“Memangnya
di Jawa Nyepi?” Yah… itukan bahasanya dia. Nyepi di Jawa kan bisa kemana-mana,
tak seperti di sini”. Demikian kata si De Nok mengawali perbincangannya dengan
Yan Bebe.
Yan
Bebe menyahut. “Yah aku baru mengerti. Memang sih akhir-akhir ini banyak
rekan-rekan kita yang menghindari hari raya nyepi dengan berbagai alasan. Coba
lihat di pelabuhan Gilimanuk atau Padangbai, menjelang nyepi pasti arus ke luar
bali padat, dan ketika habis nyepi arus balik membludak. Kalau mereka non Bali
dan non Hindu okelah, tak masalah, mungkin kesempatan libur Nyepi digunakan
untuk berlibur menengok keluarga di Jawa. Tak masalah dan sama-sama jalan”
“Tapi
yang mengherankan adalah kalau saudara kita orang Bali yang beragama Hindu
meninggalkan Bali karena seperti alasan di atas. Kalau demikian halnya, perlu
memang kita tingkatkan kembali pemahaman mengenai hakekat hari Nyepi kepada
seluruh umat”.
Bagi
mereka yang pemahamannya dangkal pastilah Nyepi dikatakan sebagai rutinitas
setelah rangkaian upacara yang cukup panjang sejak melis, ngerupuk.
Mungkin mereka sebatas itu saja. Mungkin mereka tak bisa dalam keterkekangan
selama dua puluh empat jam. Tak boleh kemana mana, tak boleh bermain, tak boleh
ribut, tak boleh menyalakan lampu dan segala pantangan lainnya yang merupakan
implementasi dari catur berata penyepian”.
“Setelah
mengatakan demikian lalu datangTut Sam (nama lengkapnya adalah I Ketut Putra
Samsung Perkasa). Ia berkata “yah… memang agak aneh kedengarannya. Malah ada
tetanggaku yang namanya I Gusti Made Neksian (dipanggil Gus Ineks) pada hari pengerupukan siang
berangkat menuju hotel yang berada di seputaran objek wisata untuk nyepi di
sana. Mungkin mereka menganggap di hotel tidak nyepi. Padahal hotel di bali
semuanya nyepi, atau dengan aktifitas terbatas di dalam hotel saja. Mungkin
dengan demikian mereka merasa lega dibandingkan tinggal di rumah yang gelap
gulita”.
“Yah begitulah perkembangan
jaman sekarang De, sahut Mamot (nama lengkapnya I Nyoman Motorola) dari sudut
tembok bale banjar. Rupanya sedari tadi ia mendengarkan pembicaraan
teman-temannya sambil kencing di tembok banjar. Mamot melanjutkan komentarnya,
“perilaku seperti itu rupanya semakin menjadi trend dan banyak yang meniru.
Kita tak perlu meniru yang begitu. Yang membuat nyepi itu adalah kitaa sendiri,
maka yang harus menghargai adalah kita sendiri. Nyepi sudah dilakukan oleh
leluhur sejak jaman dahulu sampai sekarang. Menjalankan nyepi berarti
menjalankan tiutah leluhur. Artinya pula leluhur akan merassa senang dan bahagia
di alam sana ketika semua keturunannya menjalan catur berata penyepian.
Menyenangkan leluhur adalah salah satu paramo dharmah atau kewajiban utama.
Salah satunya adalah dengan menjalankan apa yang sudah menjadi warisannya.
Selalin leluhur, para dewa dan bhatara juga akaan menjadi berkenan atas
pengekangan dan pengendalian diri dari para umat manusai di dunia. Sehingga
yang akan diterima adalah berkah kebaikan. Jadi tak perlu merasa pusing atau
merasa marah dengan mereka yang menghindari hari nyepi. Menghidari nyepi tak
bedanya dengan menghindari berkah Dewa dan berkah leluhur”. Ampura. (Ki Buyut /kanduk).
No comments:
Post a Comment