Friday, February 20, 2015

Ayam Mewisya




Be siap nak mule jaen (daging ayam memang enak), itulah yang menyebabkan banyak orang mengidamkan daging ayam sebagai menu istimewa. Kelezatan daging ayam melahirkan berbagai macam bentuk olahan ayam. Terkait dengan keistimewaan dan kelezatan daging ayam, di bilangan Denpasar Timur, daging ayam membuat kisah tersendiri yang bisa dibilang lucu, menarik, atau mungkin memilukan. Kisahnya begini.

Suatu pagi Luh Sengkek membeli sayur kesukaan suaminya Made Likas yakni sayur kangkung di warung di perempatan dekat rumahnya. Pagi itu masih lengang karena kebetulan hari minggu, jadi tak banyak orang menggunakan lalu lintas di jalan, walau jalan tersebut adalah jalan raya dengan jalur yang cukup padat. Sekembalinya dari warung, Luh Sengkek berjalan di pinggir jalan sebelah barat menuju ke selatan. Ketika itu dari arah utara datang sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi menuju ke selatan. Tepat di depan Luh Sengkek, sepeda motor tersebut tiba-tiba menabrak seekor ayam berbulu hitam. Ayam tersebut ngeseksek (kejang-kejang) langsung mati di hadapan Luh Sengkek. Si pengemudi tak tahu kalau menabrak ayam dan terus berlari kencang entah kemana.

Karena dilihat oleh Luh Sengkek ayam itu segar bugar, cukup gemuk besar untuk ukuran ayam kampung, serta tak ada yang melihat kejadian tersebut, maka Luh Sengkek berniat untuk membawa pulang ayam tersebut untuk dimasak. Dalam perajalannya pulang Luh Sengkek berbakat dalam hati “lumayan dapat satu ekor ayam gemuk, bisa masak enak hari ini”. Tetapi Luh Sengkek bingung, mau diapakan ayam ini. Kalau dipakai lawar agak repot dan lama, dipakai ayam goreng nanti jadinya sedikit dan cepat habis, pingin buat kare ayam tapi tak tahu bumbunya. Demikian dalam benaknya. Ia kemudian memutuskan untuk mengolahnya menjadi grangasem (bakso ala Bali) selain bisa diolah sampai ke tulangnya. Jika dagingnya sudah habis, kuahnya saja juga enak. Demikian percakapan hatinya menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, ia segera menghampiri Made Likas untuk memberitahukan bahwa ia memunggut ayam yang baru ditabrak sepeda motor. Ia menanyakan apakah ayam tersebut bisa dimakan. Suaminya yang tertarik dengan kesegaran daging ayam tersebut mengijinkan Luh Sengkek untuk memasaknya.

Luh Sengkek pun memasak ayam tersebut dengan senang hati. Dibuatkan basa Rajang (bumbu lengkap dan halus), dagingnya dihancurkan sampai halus, diolah menjadi grangasem siap selem tomplok montor (bakso ayam hitam ditabrak motor). Made Likas pun berpikir, nanti pasti ia akan makan banyak, akan makan nasi hangat dengan sayur kanggkung tumis, ditambah be siap grangasem. Ia menunggu di bale delod sambil sesekali mencium aroma masakan ayam tersebut yang membuat pos ngetel (ngiler) dan seduk (seduk)

Begitulah ceritanya awalnya, sampai akhirnya be gerangasem tersebut masak walaupun memerlukan waktu yang cukup lama. Luh Sengkek menghidangkan masakannya lalu menikmati bersama Made Likas. Baunya memang enak, namun ketika disantap, ternyata daging ayam tersebut masih terasa agak katos dan sedikit berlendir alias belig. Made Likas tak begitu menghiraukan dan mencoba untuk menikmati lebih banyak lagi, namun lidahnya tak begitu menikmati, seakan-akan lidahnya menolak masakan daging ayam itu. Ia pun menyudahinya, ia hanya menikmati jukut kangkung  kesukaannya.

Dalam beberapa saat kemudian, anak dari Made Likas dan Luh Sengkek yakni I Wayan Lojor dan I Ketut Mrenying baru bangun tidur.  Mencium aroma masakan ayam tersebut, tiba-tiba perut mereka menjadi lapar dan langsung makan ayam tersebut tanpa bertanya mengapa ibunya masak spesial hari ini, dimana dapat ayam dan darimana dapat uang untuk membeli ayam. I Wayan Lojor dan I Ketut Mrenying menyantap secukupnya, karena ternyata ia sama dengan ayahnya bahwa daging ayam tersebut kurang begitu enak rasanya dan dagingnya tidak begitu kenyal.

Kini diceritakan mereka semua telah selesai makan. Namun ada suatu yang terasa dalam diri mereka. I Wayan Lojor, I Ketut Mrenying beserta ibunya Luh Sengkek dan Made Likas merasakan perutnya terasa tidak enak. Perutnya terasa bengka (kembung bercampur mules) namun ketika ke belakang, tak keluar apa-apa. Kemudian dari kulit mereka berangsur-angsur keluar bintik-bintik merah yang menyebar ke seluruh tubuh dan semakin lama semakin terasa gatal. Tubuh mereka terasa gatal, kemerahan, ditambah dengan perutnya serba tak enak, tak tahu sebabnya. Mereka tak tahu apa yang harus dilakukan, berobat ke mana.

Waktu itu sudah sore hari, tiba-tiba ada seorang keponakannya yang bernama I Nyoman Sangkap datang iseng berkunjung. Ia mendapati mereka sedang menderita gatal dan tak enak perut. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba I Nyoman Sangkap kerauhan di natah rumah Made Likas. Sontak saja tetangga pada keluar semuanya. Dalam kerauhan tersebut dikatakan bahwa Ida Betara Hyang Guru dari Made Likas tedun untuk memberitahukan kepada mereka bahwa penyakit yang ia derita tersebut adalah penyakit yang disebabkan oleh ayam yang ia dapatkan di jalan tadi pagi. Sebab ayam tersebut bukanlah ayam biasa tetapi ayam tersebut telah dipakai untuk mengobati seseorang yang kena penyakit, dipakai untuk melepas wisya (penyakit mejik).

Untuk menyembuhkan penyakit itu, agar segera ditunasi tirtha di merajan. Demikian baos saudaranya yang kerauhan tersebut. Atas bantuan dari saudara-saudaranya, ia pun ditunasi tirta dan setelah itu dalam sekejap rasa tidak enak di perutnya segera hilang dan kemerahan pada kulit serta rasa gatalnya berangsur hilang. Mereka sekeluarga menyesali dirinya yang telah makan ayam gratis ditabrak motor. Pantesan rasa ayam tersebut tak seenak rasa daging ayam biasanya. Demikian dalam pikiran mereka.

Keesokan harinya setelah sembuh dari petaka wisya itu, Made Likas datang ke seorang yang mengerti dengan hal niskala yakni Guru Made Lemuh Magoleran. Made Likas menceritakan peristiwa yang dialaminya. Kemudian Guru Made Lemuh Magoleran berkata “memang kita harus berhati-hati dengan segala sesuatu yang terjadi di luar pekarangan rumah atau di marga agung apalagi di perempatan agung. Kita harus berhati-hati memunggut barang yang bukan milik kita, walaupun tak ada yang mengaku memilikinya. Seperti kasus ini. Bisa saja ayam tersebut adalah ayam yang kemarinnya digunakan untuk pengobatan penyakit tertentu yang berbau mejik. Artinya sang balian menggunakan ayam tersebut sebagai sarana untuk melepaskan wisya (penyakit mejik) untuk dinetralisir atau dikembalikan ke alam raya, dengan cara ayam tersebut dilepas di marga agung atau di perempatam agung. Ayam tersebut mungkin digunakan untuk memindahkan penyakit seseorang ketika kajeng kliwon yang baru lewat dua hari yang lalu. Selain ayam sering juga kita dengar menggunakan sarana seperti telur atau binatang lain selain ayam.

Memang secara kasat mata kita tak dapat membedakan mana ayam yang telah dipakai sarana dan mana yang tidak. Karena semuanya sama dan tak ada perubahan secara fisik dari binatang tersebut. Namun untuk tidak terkena kasus seperti apa yang terjadi pada diri Made Likas sekeluarga, sebaiknya kita tak memunggut atau tak mengambil barang yang bukan milik kita atau tak memunggut barang yang tak kita ketahui asal usulnya” Demikian Guru Made Lemuh Magoleran memberikan penjelasan mengenai kasus yang menimpa Made Likas sekeluarga.

Jadi maksud hati mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan, justru mendapatkan penyakit atau kesusahan. Inilah yang disebut dengan Merta Matemahan Wisya.

Keesokan harinya, Tut Gendot, teman karib dari I Made Likas datang ke rumahnya utnuk menjenguk Made Likas yang kena terkena wisya secara tak sengaja. Setelah bersenda gurau, Tut Gendot berkata “to be upah sing ngejot-ngejot”. Maksudnya adalah dapat rejeki tak dibagi-bagi.

Namun selain itu Tut Gendot juga mengingatkan bahwa ia pernah mendengar dari orang-orang bahwa untuk memunggut sesuatu di jalan yang tak ada pemiliknya, sebaiknya ngejot sedikit dulu apabila itu itu berupa makanan. Seperti ayam ini, semestinya ketika baru lebeng (matang) ngejot sedikit ke lebuh atau di tempat terbuka yang tujuannya untuk mengembalikan hal-hal yang buruk pada benda itu ke marga agung (alam raya), sekaligus mohon ampun dan permakluman bahwa sudah memunggut barang yang bukan miliknya untuk dimakan, agar tak terkena wisya atau kekuatan buruk dari barang yang dipunggut tersebut. Sama halnya ketika seseorang mendapatkan sebuah cincin emas di jalan, sebaiknya ditempat munggut cincin emas tersebut ditaruh beberapa rupiah uang, sebagai simbolis membayar emas tersebut. Disamping itu juga sebagai penyupatan, siapa tahu barang tersebut mengandung wisya atau kekuatan negatif yang dapat membahayakan orang yang memunggut barang tersebut.

Kisah ini diceritakan oleh I Made Ardi Denpasar Utara, dengan menyamarkan nama pelakunya dengan nama-nama cekian.














No comments:

Post a Comment