Monday, February 9, 2015

Ngereh di Setra Badung Gunakan Tiga Tengkorak Manusia




Di Desa Pekraman Denpasar, upacara ngerehan sudah tidak asing lagi. Karena terkait dengan penyungsungan pelawatan Ida Betara berupa Ratu Calonarang (Rangda), Ratu Patih Agung (Barong Landung) dan Ratu Ayu (Barong landung). Semua pelawatan tersebut adalah duwe Dalem Kayangan Desa Pakraman Denpasar. Pererepan (linggih) pelawatan tersebut berada di Pura Sari, Banjar Kerandan Denpasar. Berikut penuturan dari Jero Mangku Made Deling :
“Terkait dengan Ida Betara Ngadeg (tidak mesimpen), maka ada beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh penyungsung Ida Betara. Pada hari Sugihan Bali Ida Betara metangi atau ngadeg di Pura Sari, kaatur pangilen yang disaksikan oleh Jero Mangku Kayangn Tiga Desa Pakraman Denpasar. Pada hari Galungan, Ida Betara kairing mapinton ke Pura Dalem, Pura Muncuk Tirtha, dan Pura Tambangan Badung. Kemudian pada hari Kuningan Ida Betara mesuci di setra atau sering disebut dengan ngereh.”
“Mengenai prosesi ngereh tersebut dapat saya ceritakan sebagai berikut: Pertama Ida Betara Ratu Patih dan Ratu Ayu (Barong landung lanang istri), dan Rangda (calonarang) matur sembah di pura Dalem Kayangan. Setelah itu Ratu Patih Agung dan Ratu Ayu kemudian kembali ke pererepan Ida di Pura Sari. Sedangkan Ida Betara Rangda (Calonarang) masih tetap di Kayangan Dalem. Pada tengah malam, Ida Betara Rangda diiring ke setra oleh para damuh (masyarakat) Ida Betara untuk melakukan upacara ngerehan. Itu secara garis besarnya”.
“Sebelum ngerehan, maka disiapkan berbagai sarana dan bebantenan. Sarana yang penting tersebut adalah memohon pala walung (tengkorak manusia) sebanyak tiga buah. Untuk itu dilakukan matur piuning kehadapan Ida Betara di Mrajapati. Setelah itu, sekitar jam dua belas siang jero mangku beserta krama mencari-cari tengkorak di sekitar setra. Selama pengalaman saya ngayah, biasanya tengkorak tersebut terselip diantara semak-semak atau di bawah pohon kepuh. Setiap kita memohon, sampai sekarang tetap Ida Betara berkenan, dan tengkorak tersebut pasti ada. Pala walung atau tengkorak yang didapat tersebut kemudian dicuci dengan toya kumkuman, dan ketiganya dihaturkan rayunan cenik dan blabaran. Seandainya tidak ditemukan pala walung, maka dapat diganti dengan bungkak nyuh gading sebanyak tiga buah dengan rerajahan yang berbeda”.
“Hal lain yang perlu adalah mempersiapkan juru pundut ketika upacara ngereh. Damuh drue (masyarakat penyungsung) biasanya banyak yang mendaftarkan diri untuk ngayah mundut Ida Betara. Mereka biasanya mendatarkan diri kepada saya sebagai jero mangku. Krena kita memerlukan satu orang, maka secara bijaksana kita harus memberikan kepada orang yang mendaftar paling pertama. Tetapi dengan syarat ia tidak sebagai pemangku atau ia tidak pernah kerauhan sebelumnya. Hal ini penting untuk menjaga kemurnian hati dalam ngerehan tersebut. Jadi dipilih orang yang bersih atau polos. Hanya ada satu tujuan yakni ngayah mundut Ida Betara. Karena seperti diketahui bahwa banyak orang yang berniat untuk mintonin kepunyaannya seperti sabuk sehingga ia kerauhan. Ia kerauhan karena sabuknya, bukan karena Ida Betara tedun. Hal ini yang kita hindari. Atau kadangkala ada orang yang suka kerauhan, maka akan sulit untuk membedakan apakah ia kelinggihan Ida Betara atau karena kerauhan lain. Untuk menjaga hal tersebut, maka kita berikan kepada mereka yang tidak pernah kerauhan sama sekali”.
”Pada hari pangerehan tersebut, juru pundut yang kasudi atau ditunjuk dilakukan upacara di Pura Dalem. Natab banten prasita luwih, sayut pengambyan, sayut durmanggala, dan banten pasupati. Setelah itu kemudian ngiderang (mengelilingi) gedong Dalem sebanyak tiga kali. Kemudian juru pundut tersebut menghaturkan sembah ring Ratu Gede Penyarikan, Mrajapati, dan pura Kepuh Kembar. Proses ini berlangsung sekitar jam setengah sebelas malam”.
“Pada tengah malam sekitar jam setengah dua belas malam, barulah Ida Betara diring oleh para damuh menuju ke setra untuk upacara ngereh. Upacara ini dilakukan di setra tanah selem (bagian setra badung yang tanahnya berwarna hitam), dilakukan di atas gegumuk. Di sana telah disediakan banten peras pengambyan, suci, nasi wong-wongan, balung gegending (tulang celeng dan jeroannnya), blabaran. Semua banten tersebut diastawa oleh jero mangku. Di tempat tersebut ditancapkan sebuah sanggah cucuk yang berisi daksina, peras cenik, canang sari, pesucian, dan carat coblong. Sedang Ida Betara Rangda (calonarang) diletakkan di atas gegumuk. Daksina pengungkab dihaturkan, dan perarai diletakkan di atas katung”.
“Damuh betara yang akan ngayah mundut dipersiapkan secara phisik dan mental. Sercara fisik, pemundut tersebut melakukan ngider gegumuk tempat ngerehan tersebut secara purwa daksina (searah jarum jam) bersama dengan jero mangku, sambil menebar nasi sangsang. Ini dilakukan untuk memohon keselamatan agar upacara ngerehan dapat berjalan selamat sesuai dengan tujuan. Juga sebagai penyengker agar kekuatan negatif dari manusia sakti atau mahluk gaib pengganggu tidak dapat masuk. Sehingga dengan demikian Ida Betara berkenan tedun. Pemundut kemudian duduk bersimpuh di hadapan banten dan prerai rangda. Duduk bersimpuh dimana kedua lututnya beralaskan pala walung (tengkorak), dan satu lagi di bagian pantatnya. Mencakupkan tangan memegang kuangen, ngulengang kayun (konsentrasi), bhakti kehadapan Ida Betara Sesuhunan. Di hadapannya diletakkan sebuah prapen atau pengasepan. Setelah itu areal tempat ngerehan dikosongkan dari orang termasuk pemangku. Semua berada dalam jarak yang jauh”.
“Secara mental biasanya saya beritahukan kepada pemundut bahwa semuanya itu harus dilakukan secara pasrah dan bhakti kehadapan Ida Betara. Tidak ada maksud lain kecuali ngayah dan bhakti. Lakukan dengan konsentrasi. Saya beritahukan bahwa pada awalnya akan terasa bahwa dunia ini akan bergoyang, kita akan merasakan ada yang menekan, menarik dan mendorong. Ketika terasa itu, maka jangan dilawan, ikuti saja dengan penuh konsentrasi. Kemudian akan berlanjut dengan goyang semakin keras, dan terasa bumi ini terbalik, dimana tanah yang tadinya kita duduki terasa di atas kepala kita dan terasa akan menimbun badan. Sampai pada saat itu maka akan mencapai puncaknya, dimana kita tidak akan sadar lagi. Orang akan melihat dan mendengar kita kerauhan, ngelur di tengah setra sendirian. Itu sebagai tanda Ida Betara berkenan”. “Itu adalah persiapan mental yang selalu kita sampaikan sebelumnya”.
“Ketika pemundut tersebut ngelur, kerauhan, sambil nguyak banten yang ada dihadapannya, barulah para pemangku mendekati, dan disalukkan prerai Ida Betara Rangda. Kemudian dibiarkan beliau melilacita, mesolah dan melancaran di areal setra. Dalam melancaran tersebut secara otomatios nantinya Ida meuju Pura Kepuh Kembar. Semua damuh ngiring Ida Betara, kemudian Ida Betara diiring ke Pura Dalem. Di Jaba Pura Dalem Ida Betara kemudian nguweh (memanggil) para prasanak Ida Betara, ngulun-ngulun ngelur. Pada saat itu semua presanak dan ancangan Ida Betara akan ngayah kerauhan. Seperti Ida Betara Macan Gading, Macan Gadang, Gerombong Selem sebagai sedahan setra, Betara Sangut sebagai kesinoman Dalem, Betara Seliksik yang selalu nyeliksik (menyelinap) ke mana saja, Bhuta Blego yang selalu galang-gliling dan sangat terasa licin, sulit untuk dipegang, dll. Kemudian semuanya  mesolah”.
“Setelah semua mesineb ngayah, maka Ida Betara diiring untuk kembali ke Pura Sari. Di Pura Sari sendiri, Ida Ratu Patih dan Ratu Ayu sudah siap menyambut dengan penyamblehan. Pada kesempatan ini juga banyak yang kerauhan seperti Ratu Ayu Manik Masoli, Ratu Ayu Manik Mas Maketel, dan Ratu Ayu Canting Mas yang ketiganya adalah rabi dari Ratu Patih. Setelah penyamblehan selesai, maka selesailah prosesi ngerehang etrsebut”. Demikian Jero Mangku Made Deling menjelaskan.
“Jadi menurut Jero Mangku Made Deling yang pensiunan PD Pasar Badung mengatakan bahwa ngerehan  pada intinya adalah Ida Betara Mesuci di setra. Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesidian beliau. Kemudian pala walung yang tadinya dimohon, dikembalikan ke tempatnya semula, agar tidak ngrebeda (menganggu atau menimbulkan hal yang tidak diinginkan). Demikian Jero mangku Deling mengakhiri ceritanya. (Kanduk).

No comments:

Post a Comment