Di Desa Pekraman
Denpasar, upacara ngerehan sudah tidak asing lagi. Karena terkait dengan
penyungsungan pelawatan Ida Betara berupa Ratu Calonarang (Rangda), Ratu
Patih Agung (Barong Landung) dan Ratu Ayu (Barong landung). Semua pelawatan
tersebut adalah duwe Dalem Kayangan Desa Pakraman Denpasar. Pererepan (linggih)
pelawatan tersebut berada di Pura Sari, Banjar Kerandan Denpasar. Berikut
penuturan dari Jero Mangku Made Deling :
“Terkait dengan
Ida Betara Ngadeg (tidak mesimpen), maka ada beberapa kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh penyungsung Ida Betara. Pada hari Sugihan Bali Ida
Betara metangi atau ngadeg di Pura Sari, kaatur pangilen
yang disaksikan oleh Jero Mangku Kayangn Tiga Desa Pakraman Denpasar. Pada hari
Galungan, Ida Betara kairing mapinton ke Pura Dalem, Pura Muncuk Tirtha,
dan Pura Tambangan Badung. Kemudian pada hari Kuningan Ida Betara mesuci
di setra atau sering disebut dengan ngereh.”
“Mengenai
prosesi ngereh tersebut dapat saya ceritakan sebagai berikut: Pertama Ida
Betara Ratu Patih dan Ratu Ayu (Barong landung lanang istri), dan Rangda
(calonarang) matur sembah di pura Dalem Kayangan. Setelah itu Ratu Patih Agung
dan Ratu Ayu kemudian kembali ke pererepan Ida di Pura Sari. Sedangkan Ida
Betara Rangda (Calonarang) masih tetap di Kayangan Dalem. Pada tengah malam,
Ida Betara Rangda diiring ke setra oleh para damuh (masyarakat) Ida Betara
untuk melakukan upacara ngerehan. Itu secara garis besarnya”.
“Sebelum
ngerehan, maka disiapkan berbagai sarana dan bebantenan. Sarana yang penting
tersebut adalah memohon pala walung (tengkorak manusia) sebanyak tiga
buah. Untuk itu dilakukan matur piuning kehadapan Ida Betara di Mrajapati.
Setelah itu, sekitar jam dua belas siang jero mangku beserta krama mencari-cari
tengkorak di sekitar setra. Selama pengalaman saya ngayah, biasanya tengkorak
tersebut terselip diantara semak-semak atau di bawah pohon kepuh. Setiap kita
memohon, sampai sekarang tetap Ida Betara berkenan, dan tengkorak tersebut
pasti ada. Pala walung atau tengkorak yang didapat tersebut kemudian dicuci
dengan toya kumkuman, dan ketiganya dihaturkan rayunan cenik dan blabaran.
Seandainya tidak ditemukan pala walung, maka dapat diganti dengan bungkak
nyuh gading sebanyak tiga buah dengan rerajahan yang berbeda”.
“Hal lain yang
perlu adalah mempersiapkan juru pundut ketika upacara ngereh. Damuh
drue (masyarakat penyungsung) biasanya banyak yang mendaftarkan diri untuk
ngayah mundut Ida Betara. Mereka biasanya mendatarkan diri kepada saya sebagai
jero mangku. Krena kita memerlukan satu orang, maka secara bijaksana kita harus
memberikan kepada orang yang mendaftar paling pertama. Tetapi dengan syarat ia
tidak sebagai pemangku atau ia tidak pernah kerauhan sebelumnya. Hal ini
penting untuk menjaga kemurnian hati dalam ngerehan tersebut. Jadi dipilih
orang yang bersih atau polos. Hanya ada satu tujuan yakni ngayah mundut Ida
Betara. Karena seperti diketahui bahwa banyak orang yang berniat untuk mintonin
kepunyaannya seperti sabuk sehingga ia kerauhan. Ia kerauhan karena sabuknya,
bukan karena Ida Betara tedun. Hal ini yang kita hindari. Atau kadangkala ada
orang yang suka kerauhan, maka akan sulit untuk membedakan apakah ia
kelinggihan Ida Betara atau karena kerauhan lain. Untuk menjaga hal tersebut,
maka kita berikan kepada mereka yang tidak pernah kerauhan sama sekali”.
”Pada hari
pangerehan tersebut, juru pundut yang kasudi atau ditunjuk dilakukan
upacara di Pura Dalem. Natab banten prasita luwih, sayut pengambyan, sayut
durmanggala, dan banten pasupati. Setelah itu kemudian ngiderang (mengelilingi)
gedong Dalem sebanyak tiga kali. Kemudian juru pundut tersebut menghaturkan
sembah ring Ratu Gede Penyarikan, Mrajapati, dan pura Kepuh Kembar. Proses ini
berlangsung sekitar jam setengah sebelas malam”.
“Pada tengah
malam sekitar jam setengah dua belas malam, barulah Ida Betara diring oleh para
damuh menuju ke setra untuk upacara ngereh. Upacara ini dilakukan di setra
tanah selem (bagian setra badung yang tanahnya berwarna hitam), dilakukan
di atas gegumuk. Di sana telah disediakan banten peras pengambyan,
suci, nasi wong-wongan, balung gegending (tulang celeng dan jeroannnya), blabaran.
Semua banten tersebut diastawa oleh jero mangku. Di tempat tersebut ditancapkan
sebuah sanggah cucuk yang berisi daksina, peras cenik, canang sari,
pesucian, dan carat coblong. Sedang Ida Betara Rangda (calonarang)
diletakkan di atas gegumuk. Daksina pengungkab dihaturkan, dan perarai
diletakkan di atas katung”.
“Damuh betara
yang akan ngayah mundut dipersiapkan secara phisik dan mental. Sercara fisik,
pemundut tersebut melakukan ngider gegumuk tempat ngerehan tersebut
secara purwa daksina (searah jarum jam) bersama dengan jero mangku,
sambil menebar nasi sangsang. Ini dilakukan untuk memohon keselamatan
agar upacara ngerehan dapat berjalan selamat sesuai dengan tujuan. Juga sebagai
penyengker agar kekuatan negatif dari manusia sakti atau mahluk gaib pengganggu
tidak dapat masuk. Sehingga dengan demikian Ida Betara berkenan tedun.
Pemundut kemudian duduk bersimpuh di hadapan banten dan prerai rangda. Duduk
bersimpuh dimana kedua lututnya beralaskan pala walung (tengkorak), dan
satu lagi di bagian pantatnya. Mencakupkan tangan memegang kuangen,
ngulengang kayun (konsentrasi), bhakti kehadapan Ida Betara Sesuhunan. Di
hadapannya diletakkan sebuah prapen atau pengasepan. Setelah itu
areal tempat ngerehan dikosongkan dari orang termasuk pemangku. Semua berada
dalam jarak yang jauh”.
“Secara mental
biasanya saya beritahukan kepada pemundut bahwa semuanya itu harus dilakukan
secara pasrah dan bhakti kehadapan Ida Betara. Tidak ada maksud lain kecuali
ngayah dan bhakti. Lakukan dengan konsentrasi. Saya beritahukan bahwa pada
awalnya akan terasa bahwa dunia ini akan bergoyang, kita akan merasakan ada
yang menekan, menarik dan mendorong. Ketika terasa itu, maka jangan dilawan,
ikuti saja dengan penuh konsentrasi. Kemudian akan berlanjut dengan goyang semakin
keras, dan terasa bumi ini terbalik, dimana tanah yang tadinya kita duduki
terasa di atas kepala kita dan terasa akan menimbun badan. Sampai pada saat itu
maka akan mencapai puncaknya, dimana kita tidak akan sadar lagi. Orang akan
melihat dan mendengar kita kerauhan, ngelur di tengah setra sendirian.
Itu sebagai tanda Ida Betara berkenan”. “Itu adalah persiapan mental yang
selalu kita sampaikan sebelumnya”.
“Ketika pemundut
tersebut ngelur, kerauhan, sambil nguyak banten yang ada dihadapannya,
barulah para pemangku mendekati, dan disalukkan prerai Ida Betara
Rangda. Kemudian dibiarkan beliau melilacita, mesolah dan melancaran
di areal setra. Dalam melancaran tersebut secara otomatios nantinya Ida meuju
Pura Kepuh Kembar. Semua damuh ngiring Ida Betara, kemudian Ida Betara diiring
ke Pura Dalem. Di Jaba Pura Dalem Ida Betara kemudian nguweh (memanggil)
para prasanak Ida Betara, ngulun-ngulun ngelur. Pada saat itu
semua presanak dan ancangan Ida Betara akan ngayah kerauhan. Seperti Ida
Betara Macan Gading, Macan Gadang, Gerombong Selem sebagai sedahan setra,
Betara Sangut sebagai kesinoman Dalem, Betara Seliksik yang selalu nyeliksik
(menyelinap) ke mana saja, Bhuta Blego yang selalu galang-gliling dan
sangat terasa licin, sulit untuk dipegang, dll. Kemudian semuanya mesolah”.
“Setelah semua mesineb
ngayah, maka Ida Betara diiring untuk kembali ke Pura Sari. Di Pura Sari
sendiri, Ida Ratu Patih dan Ratu Ayu sudah siap menyambut dengan penyamblehan.
Pada kesempatan ini juga banyak yang kerauhan seperti Ratu Ayu Manik Masoli,
Ratu Ayu Manik Mas Maketel, dan Ratu Ayu Canting Mas yang ketiganya adalah rabi
dari Ratu Patih. Setelah penyamblehan selesai, maka selesailah prosesi
ngerehang etrsebut”. Demikian Jero Mangku Made Deling menjelaskan.
“Jadi menurut
Jero Mangku Made Deling yang pensiunan PD Pasar Badung mengatakan bahwa ngerehan
pada intinya adalah Ida Betara
Mesuci di setra. Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesidian
beliau. Kemudian pala walung yang tadinya dimohon, dikembalikan ke
tempatnya semula, agar tidak ngrebeda (menganggu atau menimbulkan hal
yang tidak diinginkan). Demikian Jero mangku Deling mengakhiri ceritanya.
(Kanduk).
No comments:
Post a Comment