“Tidak
lebih hanyalah sebuah penghinaan terhadap warisan leluhur. Sebuah penistaan
terhadap seni joged itu sendiri. Sebuah penjerumusan budi pekerti dan susila ke
jurang yang kelam. Hanya semata untuk mencari keuntungan, laris pentas, dan
ujung-ujungnya duit. Tidak lebih dari itu. Sebuah seni yang telah
dilatarbelakangi oleh nafsu birahi”.
I Locong memang
orang kampungan, walau lahir di kota, namun sama sekali ia tidak mencerminkan
selera sebagai orang kota. Ia tidak suka dengan glamornya kota dengan berbagai
hiruk-pikuknya. Di depan rumahnya banyak orang yang main gitar, main musik,
namun ia sama sekalai tidak tertarik. Televisi setiap hari menayangkan hiburan
musik modern. Ia pun kurang begitu interes. Ia lebih suka musik tradisonal
Bali. Drama gong, arja, prembon, calonarang, wayang, sendratari, tari lepas,
joged, dan lain-lain. Inilah I Locong dengan selera asli Bali.
Bercerita
tentang jogged kesenangannya. Suatu malam I Locong datang menonton pertunjukkan
jogged yang berasal dari daerah sekitar Badung, dengan penarinya yang cantik
dan mungil. Banyak orang berlomba untuk dapat ngibing. I Locong sendiri
menonton, tetapi ia tidak suka ngibing. Ia hanya senang melihat tarian dan
melihat si pengibing jogged. Senang hatinya melihat lenggokan dan lirikan
penari joged yang mempesona, ditambah genitnya para lelaki yang ngebet
saat ngibing. Semuanya masih dalam batas-batas kewajaran. Si penari jogged
dengan gaya yang khas, beraksi secara santun ketika mengalami desakan dari para
pengibing. Demikian pula si pengibing dengan kelihaiannnya untuk menggapai si
penari jogged yang lincah. Adegan yang demikian menjadi sangat menarik dan
mengesankan. Benar-benar sebuah pertunjukkan seni yang berpadu dengan gairah
asmara, kalau diceritakan. Si Locong pun senang hatinya menonton, dan pulang
dengan perasaan lega. Bagaikan wareg tanpa neda.
Suatu malam kemudian I Locong kembali mendengar
bahwa di sebuah banjar ada pertunjukkan jogged bumbung. Konon sekaa jogednya
berasal dari daerah bagian utara pulau Bali. Ia pun senang mendengarnya,
sekaligus ingin menyaksikan kepiawaian para penari jogged Bali Utara tersebut.
I Locong berangkat dengan semangat, dengan seorang temannya bernama I Bracuk,
orangnya memang bracuk dan sedikit urakan. I Locong di bonceng oleh I
Bracuk. Sesampai di banjar tersebut, joged pun mulai. Sempat ia melihat ke
belakang panggung. Tampak para penari joged mungil-mungil dengan perawakan yang
aduhai, dengan paras yang cantik. I Locong berpikir, pastilah sangat
mengesankan pertunjukkan joged kali ini.
Joged bumbung Bali Utara dimulai. Penonton merapat,
para pengibing sudah sedikit sumringah ingin ngibing. Joged pertama keluar
dengan tarian yang sedikit lebih erotis dibandingkan jogged yang pernah
ditonton I Locong. Semuanya masih wajar-wajar saja. Mungkin ini adalah ciri
khas dari jogged dari daerah tersebut. Kemudian muncul jogged yang kedua,
dengan penari yang lebih mungil. Pandangan matanya tajam dan genit, gerakannya
lincah. Para pengibing sangat bernafsu dan berebut untuk tampil. I Locong
memandang dengan penuh gembira dan semangat. Dan ketika sang penari jogged
melakukan atraksi ngebor (I Locong belum pernah melihat sebelumnya), ia sempat tertawa dan tepuk tangan. Atraksi
ngebor si penari jogged tersebut kemudin mengundang gairah para pengibing.
Beradu ketangkasan si pengibing dengan kelihaian penari jogged.
Suatu ketika
lantas I Locong sangat terkejut menyaksikannya. Karena tiba-tiba si penari
jogged menyerahkan pinggulnya dan digoyang habis-habisan di depan pinggang si
pengibing. Si pengibingpun dengan semangat menerkan suguhan ikan segar
yang ada di hadapannya. Si pengibing merangkul pinggul penari joged dan
menggoyangkan kedua pinggang mereka di atas panggung. Belum habis sampai di
sana, si penari jogged kemudian mengangkat kaki dan pahanya tinggi-tinggi dan
dililitkan dibelakang punggung si pengibing, dan terjadilah sebuah adegan yang
tidak senonoh berlebihan di atas panggung. Belum lagi aksi dari seorang penari
jogged yang merangsang si pengibing dengan mengangkat kamennya tinggi-tinggi
sehingga kelihatan apa yang semestinya disembunyikan. Terjadilah sebuah
pertunjukkan yang mengumbar birahi di atas panggung. Si lelaki pengibing,
memang senang dengan yang begitu. Semalaman diajak menari model begitu ia akan
mau.
Namun I Locong
yang menyaksikan jaged seperti itu menjadi terkejut dan sangat menyesal
bercampur sedih. Mengapa joged yang semata-mata adalah seni dijerumuskan ke
dalam pakem yang tidak senonoh seperti itu. Ini bukanlah sebuah
pertunjukan joged. Tapi sebuah tari pengumbar birahi. Kalau boleh di bilang, “
ini jogged bumbung ataukah Lon..... berpakain jogged (maaf kalau terlalu ketus)“.
Demikian I Locong dengan penuh kesal dan sedikit marah. Ia segera meninggalkan
arena pertunjukan.
Dengan
kekesalannya, ia mengeluarkan unek-uneknya di jalan. “Masak joged sekarangs
seperti itu. Dulu joged adalah tari pergaulan antara anak muda dengan para
gadis. Semuanya masih dalam tahap wajar, bersikap santun, dengan etika susila
dan budi pekerti yang luhur. Ditambah dengan nilai seni serta pakem yang jelas
tentang sebuah seni pertunjukkan. Tapi apa yang kita tonton tadi, tidak lebih
hanyalah sebuah penghinaan terhadap warisan leluhur. Sebuah penistaan terhadap
seni jogged itu sendiri. Sebuah penjerumusan budi pekerti dan susila ke jurang
yang kelam. Hanya semata untuk mencari keuntungan, laris pentas, dan
ujung-ujungnya duit. Tidak lebih dari itu. Sebuah seni yang telah
dilatarbelakangi oleh nafsu birahi”.
Demikian I
Locong ngemigmig di jalan ketika dibonceng pulang oleh I Bracuk. Dan
ketika itu pula I Locong bertanya kepada I Bracuk. “Menurut kamu bagaimana
jogged tadi itu Cuk ?” “ Beehh kalau aku Cong, aku suka sekali dengan
pertunjukkan seperti itu. Apalagi ada megulet glalang gliling.
Itu memang kesukaanku. Cuman yaah janganlah di atas panggung. Malu kan, dan
tidak etis. Seni Bali yang luhur dinistakan seperti itu, justru oleh kita
sendiri. Jangan-jangan leluhur kita yang ada di kedituan sedang menangis
menyaksikan keturunannya yang telah melecehkan seni jogged yang diwariskan
kepada kita. Kan begitu Cong ?.
I Locong
mengangguk tanda setuju. Dan ia bangga dengan I Bracuk, walau tampangnya metal
dan urakan, tapi masih menyimpan rasa seni (estetika) dan susila (etika).
( Kanduk)
No comments:
Post a Comment