Friday, February 13, 2015

I LOCONG nonton JOGED CABUL




 “Tidak lebih hanyalah sebuah penghinaan terhadap warisan leluhur. Sebuah penistaan terhadap seni joged itu sendiri. Sebuah penjerumusan budi pekerti dan susila ke jurang yang kelam. Hanya semata untuk mencari keuntungan, laris pentas, dan ujung-ujungnya duit. Tidak lebih dari itu. Sebuah seni yang telah dilatarbelakangi oleh nafsu birahi”.

I Locong memang orang kampungan, walau lahir di kota, namun sama sekali ia tidak mencerminkan selera sebagai orang kota. Ia tidak suka dengan glamornya kota dengan berbagai hiruk-pikuknya. Di depan rumahnya banyak orang yang main gitar, main musik, namun ia sama sekalai tidak tertarik. Televisi setiap hari menayangkan hiburan musik modern. Ia pun kurang begitu interes. Ia lebih suka musik tradisonal Bali. Drama gong, arja, prembon, calonarang, wayang, sendratari, tari lepas, joged, dan lain-lain. Inilah I Locong dengan selera asli Bali.
Bercerita tentang jogged kesenangannya. Suatu malam I Locong datang menonton pertunjukkan jogged yang berasal dari daerah sekitar Badung, dengan penarinya yang cantik dan mungil. Banyak orang berlomba untuk dapat ngibing. I Locong sendiri menonton, tetapi ia tidak suka ngibing. Ia hanya senang melihat tarian dan melihat si pengibing jogged. Senang hatinya melihat lenggokan dan lirikan penari joged yang mempesona, ditambah genitnya para lelaki yang ngebet saat ngibing. Semuanya masih dalam batas-batas kewajaran. Si penari jogged dengan gaya yang khas, beraksi secara santun ketika mengalami desakan dari para pengibing. Demikian pula si pengibing dengan kelihaiannnya untuk menggapai si penari jogged yang lincah. Adegan yang demikian menjadi sangat menarik dan mengesankan. Benar-benar sebuah pertunjukkan seni yang berpadu dengan gairah asmara, kalau diceritakan. Si Locong pun senang hatinya menonton, dan pulang dengan perasaan lega. Bagaikan wareg tanpa neda.
Suatu malam kemudian I Locong kembali mendengar bahwa di sebuah banjar ada pertunjukkan jogged bumbung. Konon sekaa jogednya berasal dari daerah bagian utara pulau Bali. Ia pun senang mendengarnya, sekaligus ingin menyaksikan kepiawaian para penari jogged Bali Utara tersebut. I Locong berangkat dengan semangat, dengan seorang temannya bernama I Bracuk, orangnya memang bracuk dan sedikit urakan. I Locong di bonceng oleh I Bracuk. Sesampai di banjar tersebut, joged pun mulai. Sempat ia melihat ke belakang panggung. Tampak para penari joged mungil-mungil dengan perawakan yang aduhai, dengan paras yang cantik. I Locong berpikir, pastilah sangat mengesankan pertunjukkan joged kali ini.
Joged bumbung Bali Utara dimulai. Penonton merapat, para pengibing sudah sedikit sumringah ingin ngibing. Joged pertama keluar dengan tarian yang sedikit lebih erotis dibandingkan jogged yang pernah ditonton I Locong. Semuanya masih wajar-wajar saja. Mungkin ini adalah ciri khas dari jogged dari daerah tersebut. Kemudian muncul jogged yang kedua, dengan penari yang lebih mungil. Pandangan matanya tajam dan genit, gerakannya lincah. Para pengibing sangat bernafsu dan berebut untuk tampil. I Locong memandang dengan penuh gembira dan semangat. Dan ketika sang penari jogged melakukan atraksi ngebor (I Locong belum pernah melihat sebelumnya),  ia sempat tertawa dan tepuk tangan. Atraksi ngebor si penari jogged tersebut kemudin mengundang gairah para pengibing. Beradu ketangkasan si pengibing dengan kelihaian penari jogged.
Suatu ketika lantas I Locong sangat terkejut menyaksikannya. Karena tiba-tiba si penari jogged menyerahkan pinggulnya dan digoyang habis-habisan di depan pinggang si pengibing. Si pengibingpun dengan semangat menerkan suguhan ikan segar yang ada di hadapannya. Si pengibing merangkul pinggul penari joged dan menggoyangkan kedua pinggang mereka di atas panggung. Belum habis sampai di sana, si penari jogged kemudian mengangkat kaki dan pahanya tinggi-tinggi dan dililitkan dibelakang punggung si pengibing, dan terjadilah sebuah adegan yang tidak senonoh berlebihan di atas panggung. Belum lagi aksi dari seorang penari jogged yang merangsang si pengibing dengan mengangkat kamennya tinggi-tinggi sehingga kelihatan apa yang semestinya disembunyikan. Terjadilah sebuah pertunjukkan yang mengumbar birahi di atas panggung. Si lelaki pengibing, memang senang dengan yang begitu. Semalaman diajak menari model begitu ia akan mau.
Namun I Locong yang menyaksikan jaged seperti itu menjadi terkejut dan sangat menyesal bercampur sedih. Mengapa joged yang semata-mata adalah seni dijerumuskan ke dalam pakem yang tidak senonoh seperti itu. Ini bukanlah sebuah pertunjukan joged. Tapi sebuah tari pengumbar birahi. Kalau boleh di bilang, “ ini jogged bumbung ataukah Lon..... berpakain jogged (maaf kalau terlalu ketus)“. Demikian I Locong dengan penuh kesal dan sedikit marah. Ia segera meninggalkan arena pertunjukan.
Dengan kekesalannya, ia mengeluarkan unek-uneknya di jalan. “Masak joged sekarangs seperti itu. Dulu joged adalah tari pergaulan antara anak muda dengan para gadis. Semuanya masih dalam tahap wajar, bersikap santun, dengan etika susila dan budi pekerti yang luhur. Ditambah dengan nilai seni serta pakem yang jelas tentang sebuah seni pertunjukkan. Tapi apa yang kita tonton tadi, tidak lebih hanyalah sebuah penghinaan terhadap warisan leluhur. Sebuah penistaan terhadap seni jogged itu sendiri. Sebuah penjerumusan budi pekerti dan susila ke jurang yang kelam. Hanya semata untuk mencari keuntungan, laris pentas, dan ujung-ujungnya duit. Tidak lebih dari itu. Sebuah seni yang telah dilatarbelakangi oleh nafsu birahi”.
Demikian I Locong ngemigmig di jalan ketika dibonceng pulang oleh I Bracuk. Dan ketika itu pula I Locong bertanya kepada I Bracuk. “Menurut kamu bagaimana jogged tadi itu Cuk ?” “ Beehh kalau aku Cong, aku suka sekali dengan pertunjukkan seperti itu. Apalagi ada megulet glalang gliling. Itu memang kesukaanku. Cuman yaah janganlah di atas panggung. Malu kan, dan tidak etis. Seni Bali yang luhur dinistakan seperti itu, justru oleh kita sendiri. Jangan-jangan leluhur kita yang ada di kedituan sedang menangis menyaksikan keturunannya yang telah melecehkan seni jogged yang diwariskan kepada kita. Kan begitu Cong ?.
I Locong mengangguk tanda setuju. Dan ia bangga dengan I Bracuk, walau tampangnya metal dan urakan, tapi masih menyimpan rasa seni (estetika) dan susila  (etika).
( Kanduk)

No comments:

Post a Comment