(Foto: Pura Dasar Bhuana Gelgel).
Kalau dipikir-pikir, orang Bali sebenarnya diikat oleh banyak hukum baik sekala maupun niskala. Hukum tersebut adalah, satu,
hukum negara yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua, hukum karmapala yang merupakan landasan ajaran agama Hindu, hukum Tuhan
yang tak terbantahkan, berisfat adil, rinci, menyangkut masa lalu, masa kini,
dan masa yang akan datang. Tiga, hukum
kawitan yang merupakan sebuah
norma-norma yang diyakini berlaku dalam hubungan antara manusia yang hidup di dunia
(pretisentana) dengan leluhur yang
telah berada di alam sunya loka. Jadi
dengan demikian paling tidak umat Hindu khususnya di Bali
diikat oleh tiga hukum.
Paling
menarik di sini adalah hukum kawitan
yang mengatur pola hubungan sebab akibat antara pretisentana dengan leluhur yang telah tiada. Ada sebuah keyakinan bahwa baik buruk
perilaku pretisentana di mercapada (dunia)
akan mempengaruhi kehidupan leluhur di sunialoka. Ketika pretisentana dapat menjalankan
kewajiban hidup dengan baik, hubungan harmonis dengan sesama manusia, menjaga
warisan leluhur, maka para leluhur yang ada di sunialoka akan menemui
kebahagiaan. Namun sebaliknya apabila pretisentana tidak menjalankan apa yang
telah digariskan oleh leluhur, seperti selalu bertengkar dengan saudara, mengabaikan
warisan leluhur, tidak memelihara kahyangan, tidak berbhakti kepada leluhur dan
Ida Sanghyang Widhi Wasa maka leluhur akan mengalami kesedihan. Untuk itulah
leluhur menyarankan kepada seluruh pretisentananya untuk melakukan perbuatan
yang baik, sehingga akan menyebabkan leluhur mendapatkan kebahagiaan.
Semua
hukum yang disampaikan leluhur tersebut tercatat dalam bhisama Ida Betara Kawitan. Masing-masing keluarga (soroh) di Bali
memiliki kawitan tersendiri yang merupakan media untuk menghubungkan diri dengan
leluhur yang telah tiada. Tata hubungan tersebut tersurat di dalam beberapa
prasasti kawitan yang berisikan sejarah tentang leluhur, lelintihan (silsilah) leluhur dan berisi bhisama atau pesan/petuah/amanat leluhur.
Yang
menarik dari semua itu adalah bhisama
leluhur kepada pretisentana, sebagai pesan moral yang perlu ditaati. Disamping
bersisi pesan, bhisama Ida Betara Kawitan juga memuat tentang sangsi yang
diperoleh bila tidak mengikuti bhisama. Jadi dengan demikian bahwa bhisama
mengandung nilai hukum, nasehat, dan sangsi. Yang lebih menarik bahwa sangsi yang
dimuat dalam bhisama tersebut
bukanlah sebuah sangsi yang dapat dibayar dengan hukum kurungan atau denda,
namun sangsinya adalah bersifat niskala. Contoh bhisama:
Sabda Betara Hyang Pasupati
kepada Sang Panca Tirta, sebagai berikut:
“Wahai cucuku semua, pasanglah telingamu baik-baik, jangan lupa
melaksanakan kebajikan demi kesucian, kebesaran jiwa orang yang berhati mulia,
tata cara untuk mencapai nirwana, dan juga tentang aji taskara, yang begini
yang berwujud demikian, jelas dan sangat dalam anugrah Betara, seluk beluk aji
taskara di bawah Sang Hyang Manu, tentang Tri Kaya Parisudha, dan juga tentang
ilmu batin”.
“Besok lusa bila ada keturunanmu, sampaikan juga sabdaku ini, agar
selalu diingat sabdaku, yakni tentang kewajibannya, dan yang terpenting
keutamaan seorang pendeta, jangan lalai. Bila ada keturunanku tidak hirau dan
cuma nonton saja, kamu tidak mencintai sanak sudaramu seperti yang tercantum
pada prasasti, itu tandanya bukan turunanku, semoga ia turun derajat menjadi
kesatria”
“Tambahan pula, mesti diingat
menjaga serta memperbaiki Pura Pedharman Kamimitan yang ada di Bali, serta
piodalannya untuk selama-lamanya”.
Demikian sabda Hyang Pasupati,
menyembahlah Sang Panca Tirta, menghaturkan bhakti, yang timbul dari hati yang
suci, karena bagaikan dibanjiri air kehidupan hati mereka.
Kemudian ada
pula bisama yang disampaikan terdahulu oleh leluhur Pasek dan Bendesa
sebagai berikut:
“Kamu Pasek dan Bendesa, jangan lupa dengan
kayanganmu yang ada di Lempuyang (Lempuyang Madya), Besakih (Ratu Pasek), di
Silayukti, dan Dasar Bwana Gelgel. Kalau kamu lupa dengan kayanganmu, akibatnya
kamu cekcok dalam keluarga, tidak henti-hentinya menemui keresahan, selalu
sengketa dalam keluarga, banyak melakukan pekerjaan tetapi kekurangan makanan.
Demikian amanatku kepada keturunan, tercantum dalam prasasti, agar dijunjung
olehmu sekalian. Kamu tidak boleh menyimpang dari amanatku, sangat berbahaya,
jangan lalai, dan jangan mengabaikannya”.
“Bila kamu taat kepada amanatku, moga-moga
kamu senantiasa berada dalam keselamatan, keberanian, kekuatan, serta budiman,
sakti dalam kata-kata, termasyur, dikasihi oleh Hyang Maha Kuasa. Mulia dan
pandai, bertingkah laku yang baik, dan menguasai ilmu kepemimpinan. Demikian
tersebut dalam prasasti”.
Sebenarnya
masih banyak bisama-bisama dari para leluhur yang disampaikan dahulu
kepada para keturunan beliau. Sehingga semuanya tidak dapat disebutkan satu
persatu. Namun dari bisama yang dikemukan di atas tampak pesan-pesan
yang diamanatkan oleh para leluhur sangatlah luhur. Para leluhur selalu
mengingatkan agar para turunan beliau menjadi orang yang baik dengan memegang
teguh ajaran dharma, hidup dalam kesucian, selalu ingat dan sujud bhakti
kehadapan Betara Kawitan, memelihara perahyangan beliau, dan lain-lainnya yang
merupakan pesan yang berguna. Di samping itu, pula telah diamanatkan pula
mengenai akibat yang dialami bila melanggar bisama atau melupakan Betara
Kawitan.
Ini
berarti bahwa selain nasehat, di dalamnya juga mengandung sangsi niskala yang
mungkin dapat disetarakan dengan sebuah kutukan. Sehingga apabila sudah terjerembab dalam
jurang hukum niskala (kutukan), maka untuk membayarnya memang sulit, sehingga
harus sampai pada masa akhir dari kutukan tersebut. Mungkin secara sekala dapat
kita lakukan dengan menghaturkan guru
piduka dan guru bendu sebagai pernyataan mohon ampun
atas segala kelalaian dan kesalahan yang telah diperbuat. Namun hal tersebut
tak membatalkan akibat kutukan tersebut, tapi mungkin akan mempercepat proses
dari kutukan tersebut. Dengan demikian, sebelum sampai terkena hukum kawitan
yang disebut dengan kepongor/salahang
kawitan, salahan Dewa Hyang, alangkah baiknya memahami apa itu bhisama
leluhur.
Kemudian
timbul pertanyaan usil, kenapa hanya orang Bali
yang beragama Hindu yang terkena hukum kawitan? Jawabannya sangat gampang.
Karena hanya orang Bali Hindu yang mempercayai dan meyakini hukum tersebut,
sehingga terlihat nyata hubungan antara manusia dengan para leluhurnya. Hubungan
manusia Bali dengan leluhurnya sangat dekat.
Hukum kawitan sama dengan hukum karmapala. Dipercaya atau tidak maka ia akan
tetap berlaku untuk siapa saja. Tak mengenal waktu, tak mengenal siapa dia,
agama apa dia, semuanya terikat. Bagi orang bukan agama Hindu yang tak meyakini
ini, cepat atau lambat pasti akan menyadari, cepat atau lambat pastilah ia akan
merasakan dampaknya apabila ia menyimpang dari garis kehidupan yang dipesankan
oleh para leluhurnya terdahulu. Bagi mereka yang tak meyakini, mungkin sangsinya
dalam bentuk lain atau mungkin mereka telah menerima sangsi namun tak disadari
bahwa itu adalah kepongor. (Taksu/02)
No comments:
Post a Comment