Kalau tak salah hari itu adalah hari malam minggu, di
bulan Juli. I Songke bergegas menuju pos kamling bersama teman-temannya untuk
“seminar”. Maksudnya “sekaa minum arak”. Maklumlah, konon itu adalah tradisi
yang mesti dilestarikan. Maksudnya boleh minum, tapi tak boleh sampai punyah. Paling-paling minum untuk
menghangatkan badan dan untuk memper-lemuh
satua (menghangatkan dialog), sambil magenjekan. Demikian maksudnya, walaupun
ada yang kemudian menyelewengkan dengan minum berlebihan, sampai-sampai
“teller” dan “ngasen” tak sadarkan diri. Yang ini tak perlu dilestarikan.
Malam itu I Songke bersama dengan rekannya I Damprat
minum arak campur cocacola. Kalau
dikalangan mereka di kenal dengan “arak coke (baca: arak kuk)”. Asik memang
asik, nikmat memang nikmat. Semakin malam semakin banyak saja teman mereka yang
datang, sampai-sampai duduk mereka diatur melingkar, agar gampang mengatur
giliran minum. Sebab sesuai aturan bahwa minum memakai satu gelas saja, minum
bergiliran dan tak boleh didiamkan lama-lama.
Ceritanya ketika itu yang menjadi “tukang ketog”
(joki) adalah I Bontot. Rame memang rame acara minumnya. Waktu semakin malam,
tak terasa. Habislah minuman satu kenceng.
Acara minum break sebentar, diselingi
dengan magenjekan. Mereka bernyanyi
bergiliran. Yang penting nyanyi.
Omongan mereka sebagian sudah ada yang ngacuh, namun sebagian lagi masih
biasa-biasa saja. Mereka tertawa dalam dingin malam yang semakin sepi. Termin
kedua dimulai, mereka minum satu kenceng
arak kuk secara bergiliran. Dua dari mereka sudah teler dan tertidur. Tiga
orang lagi masih geleng-eleng dan empat orang lagi masih biasa-biasa saja.
Mereka berempat ini sering diberi julukan “bungut pengalapan”. Artinya kuat
minum.
Suasana senyap sebentar, mereka tidak minum. Niat
mereka berempat, I Songke, I Damprat, I Bontot, dan I Merakihtambir bernyanyi.
Mereka suka lagu-lagu Bali. Lagu populer mereka nyanyikan dari berbagai album.
Pokoknya mengalir terus bagaikan aliran arak
kuk dari mulut kenceng. Kini giliran I Merakihtambir bernyayi. Ia memang
suka nembang sekar alit seperti sinom, pangkur, maskumambang, dll. Waktu itu ia
nembang ginada, lirik lagunya tentang I Gede Basur. Tembang ini memang
terdengar agak menyeramkan, apalagi lirik lagunya yang bercerita tentang I Gede
Basur yang menggelar ajian kanuragan. I Merakihtambir sebenarnya hanya
menyanyikan saja, ia sebenarnya tak tahu arti dari tembang yang dinyanyikan.
Padahal tembang yang dilantunkan tersebut bercerita tentang I Gede Basur (salah
seorang tokoh ilmu leak yang sedang menggelar ajian Bajra Kalika).
Dalam lirik lagu ini I Gede Basur mangelekas menjadi
leak barak dan mengundang teman-teman dan murid-muridnya untuk berkumpul.
Lagunya memang enak didengar, namun sedikit membuat bulu roma berdiri. I
Merakihtambir bernyanyi setengah “on” (setengah mabuk), kepala bergoyang,
dengaan mata terpejam, seolah-olah menghayati betul lagunya.
Secara tak sengaja I Songke menatap ke sebuah pohon di
sebelah pos kamling yang sedikit remang-remang. Ia melihat sosok seperti bojog
berekor panjang bergelayutan di dahan pohon itu. Pandangannya juga diarahkan ke
sebelah kiri dari pos tersebut, ia melihat sesosok “lengar nyablar” (kepala
botak) berada di sisi tembok penyengker yang tak jauh dari pos kamling
tersebut. I Songke kaget betul, ketika ia menoleh di sebelahnya, ada sosok
berbulu lebat ada di belakangnya, entah apa itu. Yang jelas bukan manusia. I
Songke beserta dengan I Bontot dan I Damprat ambil langkah seribu ke arah selatan,
takut dengan leak-leak yang mengepung pos kamling mereka. Sedangkan I
Merakihtambir masih asik menyanyi, setengah sadar dengan mata terpejam. Ia tak
tahu, kalau teman-temannya sudah kabur semua, padahal ia sendiri sebenarnya
tadi sudah dipangil dan ditarik tangannya oleh I Songke, tapi tetap saja ia
menyanyi.
Semakin malam, semakin terdengar nyaring suara I
Merakihtambir yang menyebabkan Nang Pongor terbangun tengah malam. Ia sedari
tadi tak bisa tidur akibat nyanyian anak-anak di pos kamling dekat rumahnya.
Cuman dia tak enak melarang, sebab dia dulu ketika muda juga seperti itu.
Ketika Nang Pongor menengok ke pos kamling, ternyata secara samar-samar hanya
dilihatnya I Merakihtambir sedang menyanyi di sana. Namun yang bikin Nang
Pongor terkejut adalah I Merakihtambir dikelilingi oleh banyak leak. Leak-leak
tersebut menari-nari mengitari I Merakih yang lagi asik menari. Nang Pongor tak
habis pikir dan khawatir, jangan-jangan I Merakihtambir menjadi santapan para
leak. Sedangkan ia sendiri tak berani sama leak. Ia kemudian punya akal.
Diambilnya empat buah kaleng kosong, lalu dilemparkan secara bersamaan ke arah
pos kamling, yang mengeluarkan suara berisik. Para leak tersebut terkejut dan
segera menghilang dalam kelebatan malam. Sedangkan I Merakihtambir dibangunkan
oleh gongongan anjing yang terkejut karena lemparan kaleng Nang Pongor. I Merakihtambir sadar, ia sendirian
di posko. Tanpa banyak basa-basi ia juga berlari seribu. Sebab ia memang orang
yang sangat “getap” (penakut). Ia tak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Nang
Pongor yang menyaksikan I Merakihtambir glebag
glebug jatuh menjadi tertawa ngikik sendirian. Ia pun segera masuk ke
kamar, karena khawatir jangan-jangan dirinya dikerubuti leak.
Iiiiiihhhhh…….
Mereka yang berlari, segera pulang ke rumahnya
masing-masing, namun I Bontot terpaksa menginap di rumah I Songke. Mereka
langsung masuk kamar berdua. Sementara mereka merasa aman, karena sudah merasa
di rumah dan di dalam kamar dalam keadaan terkunci. Waktu itu tiba-tiba I
Bontot merasa kawatir, jangan-jangan ia dikejar leak celeng alias bangkal.
Sebab ia mencium bau tak enak seperti celeng di kamar tersebut.
Mereka kemudian memberanikan diri bangun dan
menghidupkan lampu. Diperiksanya, jangan-jangan ada leak celeng yang masuk ke
kamarnya. Bau itu semakin dekat dengan I Bontot. I Songke memperhatikan I
Bontot. I Bontot tiba-tiba saja berkata “sialan”, itu sih bukan leak celeng,
tapi kakimu menginjak tain celeng.
Pantesan baunya kentel sekali. Mungkin waktu kita lari tadi, tak terasa kalau
menginjak tain celeng. Hahahahaha……..
No comments:
Post a Comment