Ketika kecil,
sering diperdengarkan cerita berjudul silih
dalih. Cerita tersebut adalah kisah kehidupan binatang yang
dipersonifikasikan sebagai manusia. Berawal dari kebiasaan dari I Kedis Blatuk setiap
pagi membunyikan kulkul bulus, yang
membuat semua masyarakat hutan menjadi geger. Datang kemudian I Capung Bangkok
membawa tumbak poleng. Ketika ditanya
mengapa I Capung Bangkok membawa tumbak
poleng, karena I Blatuk nepak kulkul
bulus. Sekarang yang menjadi terdakwa adalah I Kedis Blatuk. Yang
diinterogasi sekarang adalah I Kedis Blatuk. Mengapa I Blatuk Ngulkul, karena I
Kunang-kunang ngaba api. Sekarang
beralih yang menjadi terdakwa adalah I Kunang-kunang. “Mengapa kamu membawa api
kemana-mana yang membahayakan bisa-bisa isi hutan menjadi terbakar?” I
Kunang-kunang menjawab,” Aku membawa api malam-malam, karena khawatir
terperosok ke dalam lubang yang dibuat oleh I Beduda”. Kemudian kasus beralih,
yang menjadi terdakwa sekarang adalah I Beduda. I Beduda diadili dan ia
berkelit dengan alasan bahwa lubang yang ia buat untuk melindungi diri karena I
Kerbau selalu membuang kotorannya sembarangan di jalan. Nah, kemudian kasus
merembet kepada I Kerbau yang kemudian diadili. Kerbau yang dungu dan tak
bersalah tersebut tak dapat berdalih dan berkelit dari permasalahan yang
sebenarnya ia tidak tahu. Karena kebodohan I Kebo berdalih, maka ia dinyatakan
bersalah atas semua kasus yang terjadi tersebut. Akhirnya I Kebo-lah yang
menjadi pesakitan dengan dicocok hidungnya agar ia tidak dapat kemana-mana dan
tidak membuang kotorannya sembarangan di jalan.
Ini adalah
sebuah kisah cerminan dari dunia binatang yang tak bedanya dengan apa yang
terjadi dewasa ini di alam manusia dan masyarakat kita sekarang. Dalam berbagai
permasalahan, entah siapa yang memulai duluan, atau entah siapa yang menjadi
biang keroknya, semuanya tak pernah terselesaikan secara tuntas dan adil.
Sangat jarang terjadi penyelesaian permasalahan atau kasus secara tuntas,
berkeadilan, yang didasari atas kebenaran. Ini semuanya karena faktor
masyarakat yang sibuk untuk mencari alasan atau dalih pembenaran, sehingga ia
terlepas bebas dari segala tuntutan atau segala masalah. Padahal sebenarnya ia
sendiri yang mengawali atau ia sendiri yang menjadi biang kerok dari semua permasalahan.
Semua sibuk
untuk saling tuduh, saling menyalahkan, dan merembet keluar permasalahan,
sehingga permasalahan yang sebenarnya menjadi kabur. Saling tuduh, saling
tuding, saling tunjuk hidung, dan akhirnya semuanya tidak ada yang dinyatakan
bersalah karena semua menunjukkan dalil-dalil dan bukti-bukti pembenaran. Ketika
mereka tak dapat menunjukkan bukti pembenaran, maka dengan secepat kilat mereka
menggiring isu atau permasalahan ke wilayah lain sehingga masalah yang menimpa
dirinya menjadi kabur, dan bahkan pada akhirnya dianggap tidak bersalah, alias
menyandang gelar sebagai pahlawan, mungkin itu pahlawan kesiangan.
Karena
kepintaran diantara kita untuk menunjuk kesalahan orang lain untuk menutupi
kesalahan diri sendiri, menyebabkan masyarakat menjadi bingung dibuatnya. Dan
sudah dapat dipastikan ujung-ujungnya yang menjadi pesakitan, yang menjadi
koraban adalah rakyat kecil atau yang bodoh yang tak tahu masalah, rakyat yang
miskin dan sebagainya.
Seperti halnya
kasus korupsi yang terjadi di daerah
ini, tampaknya tidak akan pernah terselesaikan dan akan memerlukan waktu yang
lama dan pelik karena kepintaran dari para oknumnya untuk berdalih. Si A tunjuk
si B, si B tunjuk si C, si C katakan Si D, Si D menuduh si E dan seterusnya,
tanpa ada ujung pangkal bagaikan lingkaran setan. Sampai-sampai akhirnya si
jaksa dan hakim menjadi bingung sendirian. Dan ironisnya tetap ujung-ujungya
yang dirugikan adalah rakyat sendiri.
Contoh lain
misalnya mengenai kebijakan di daerah seperti kasus-kasus pembebasan tanah,
dll. Ketika permasalahan tersebut diungkit, maka semua pejabat yang dahulunya
sebagai pemegang kebijaksanaan dengan meloloskan proyek tersebut seperti kebakaran
jenggot. Kemudian diantara mereka sibuk untuk berdalih dan menyatakan ini
adalah kebijakan pusat, pusat bilang ini kebijakan di daerah. Ketika di daerah
dibilang ini Gubernur. Ditelusuri Gubernur katanya ini adalah Bupati. Ketika
bupati ditanya katanya sudah mendapatkan rekomendasi dari masyarakat melalui
tokoh-tokh masyarakat. Padahal masyarakat tidak tahu menahu. Yang menjadi pesakitan
tetaplah rakyat.
Tampaknya
fenomena silih dalih di gumi ini akan tetap berlangsung dan
inilah budaya di masyarakat kita. Mungkin prilaku yang sudah membudaya ini
sudah ada sejak jaman dahulu, sehingga sampai-sampai sang pengarang jaman
dahulu mengarang cerita binatang yang tujuannya adalah untuk menyindir prilaku
manusia yang curang dan mau menang sendiri, tak pernah berani secara jantan
mengakui kesalahan. Serta yang menyedihkan sekali dengan pongah juari-nya dalam bentangan kasus yang menimpa dirinya, ia
menyatakan diri sebagai pihak yang benar.
Weleh… weleh….. dasar Gumi Capung Bangkok. Silih dalih, saling tuduh....
No comments:
Post a Comment