Friday, January 23, 2015

Nyepi di Hotel



“Aneh…. Memang aneh. Sepertinya mereka tak menghormati agamanya sendiri. Sepertinya mereka bukan orang Bali Hindu” Demikian ocehan dari De Nok (nama lengkapnya I Made Nokia Antara) pada suatu siang di depan bale banjar, seminggu setelah ngembak geni. Ketika itu di sampingnya ada Yan Bebe (nama lengkapnya I Wayan Gede Agus Black Bery). Yan Bebe lalu menanyakan kepada De Nok, kenken ne jeg mekapal Rusia pedidi? (ngemigmig / ngomel).
De Nok menyahut. “Sungguh… sungguh… sungguh… terlalu, dan sungguh tak terima aku”. Coba bayangkan masa tetanggaku itu baru datang dari Jawa. Ia berangkat dua hari sebelum Nyepi. Pasalnya anaknya konon tak bisa dengan suasana sepi, tak tahan dengan gelapnya saat Nyepi, dan takut ketika Nyepi. Itu alasannya, sehingga ia harus pergi ke Jawa ke rumah saudaranya untuk Nyepi di Jawa”.
“Memangnya di Jawa Nyepi?” Yah… itukan bahasanya dia. Nyepi di Jawa kan bisa kemana-mana, tak seperti di sini”. Demikian kata si De Nok mengawali perbincangannya dengan Yan Bebe.
Yan Bebe menyahut. “Yah aku baru mengerti. Memang sih akhir-akhir ini banyak rekan-rekan kita yang menghindari hari raya nyepi dengan berbagai alasan. Coba lihat di pelabuhan Gilimanuk atau Padangbai, menjelang nyepi pasti arus ke luar bali padat, dan ketika habis nyepi arus balik membludak. Kalau mereka non Bali dan non Hindu okelah, tak masalah, mungkin kesempatan libur Nyepi digunakan untuk berlibur menengok keluarga di Jawa. Tak masalah dan sama-sama jalan”
“Tapi yang mengherankan adalah kalau saudara kita orang Bali yang beragama Hindu meninggalkan Bali karena seperti alasan di atas. Kalau demikian halnya, perlu memang kita tingkatkan kembali pemahaman mengenai hakekat hari Nyepi kepada seluruh umat”.
Bagi mereka yang pemahamannya dangkal pastilah Nyepi dikatakan sebagai rutinitas setelah rangkaian upacara yang cukup panjang sejak melis, ngerupuk. Mungkin mereka sebatas itu saja. Mungkin mereka tak bisa dalam keterkekangan selama dua puluh empat jam. Tak boleh kemana mana, tak boleh bermain, tak boleh ribut, tak boleh menyalakan lampu dan segala pantangan lainnya yang merupakan implementasi dari catur berata penyepian”.
“Setelah mengatakan demikian lalu datangTut Sam (nama lengkapnya adalah I Ketut Putra Samsung Perkasa). Ia berkata “yah… memang agak aneh kedengarannya. Malah ada tetanggaku yang namanya I Gusti Made Neksian pada hari pengerupukan siang berangkat menuju hotel yang berada di seputaran objek wisata untuk nyepi di sana. Mungkin mereka menganggap di hotel tidak nyepi. Padahal hotel di bali semuanya nyepi, atau dengan aktifitas terbatas di dalam hotel saja. Mungkin dengan demikian mereka merasa lega dibandingkan tinggal di rumah yang gelap gulita”.
“Yah begitulah perkembangan jaman sekarang De, sahut Mamot (nama lengkapnya I Nyoman Motorola) dari sudut tembok bale banjar. Rupanya sedari tadi ia mendengarkan pembicaraan teman-temannya sambil kencing di tembok banjar. Mamot melanjutkan komentarnya, “perilaku seperti itu rupanya semakin menjadi trend dan banyak yang meniru. Kita tak perlu meniru yang begitu. Yang membuat nyepi itu adalah kitaa sendiri, maka yang harus menghargai adalah kita sendiri. Nyepi sudah dilakukan oleh leluhur sejak jaman dahulu sampai sekarang. Menjalankan nyepi berarti menjalankan tiutah leluhur. Artinya pula leluhur akan merassa senang dan bahagia di alam sana ketika semua keturunannya menjalan catur berata penyepian. Menyenangkan leluhur adalah salah satu paramo dharmah atau kewajiban utama. Salah satunya adalah dengan menjalankan apa yang sudah menjadi warisannya. Selalin leluhur, para dewa dan bhatara juga akaan menjadi berkenan atas pengekangan dan pengendalian diri dari para umat manusai di dunia. Sehingga yang akan diterima adalah berkah kebaikan. Jadi tak perlu merasa pusing atau merasa marah dengan mereka yang menghindari hari nyepi. Menghidari nyepi tak bedanya dengan menghindari berkah Dewa dan berkah leluhur”. (Taksu/kanduk).

No comments:

Post a Comment