Coba
saja berjalan sekitar jalan protokol di kawasan Denpasar, sudah pasti akan
mendapatkan sekian banyak ruko, sekian banyak toko yang menjajakan sekian
banyak barang kebutuhan. Namun bagaimana dengan julukan Bali sebagai daerah pulau
seribu pura. Inilah yang menjadi kontradiksi di daerah ini. Mungkin bagi mereka
yang lahir duluan, tentu akan melihatnya sebagai Bali sebagai daerah seribu
pura, karena setiap jengkal tanah di Bali terdapat pura. Namun bagi yang lahir
belakangan, maka hal itu menjadi semakin aneh, karena mereka mendapatkan tidak
banyak pura. Kemana ya?. Apakah pura di Bali sudah tidak ada? atau sudah
dibongkar dan beralih kepercayaan lain? atau memang digunakan untuk kawasan
ekonomi?.
Tentu,
semua pernyataan di atas salah, sebab keberadaan pura dan sanggah di Bali semakin
hari semakin banyak. Sejalan dengan perkembangan penduduk Bali. Namun tentunya
perlu dicermati bahwa di sekitar ruas jalan raya di Bali sesuai dengan
perkembangan jaman, banyak dimanfaatkan sebagai tempat ekonomi. Banyak lahan
sekitar pura (laba pura) digunakan untuk ruko, kantor, dll, dikontrakkan oleh
pemiliknya atau dipakai sendiri.
Hal
ini sebagai konsekuensi dari sanan
tetegenan yang telah berubah fungsi dari fungsi agraris ke fungsi industri.
Tanah laba pura yang dahulu merupakan tanah sawah atau tanah kebun beralih
fungsi menjadi lahan untuk ekonomi. Dengan banyaknya ruko yang ada di Bali maka
pura-pura yang ada di sekitar Denpasar banyak yang tak kelihatan lagi. Yang
kelihatan hanyalah ruko. Jadi seolah-olah di Denpasar tak banyak ada pura.
Padahal kalau mau ditelusuri lebih dalam atau masuk ke dalam areal pemukiman penduduk
di belakang ruko/perkantoran, banyak pura baik pura besar maupun yang kecil.
Bahkan pura yang megah pun banyak terdapat di sana, yang menyimpan berbagai keasrian,
menyimpan sejarah, sekaligus keangkerannya sebagai pura yang dikeramatkan dan
disucikan oleh umat penyungsungnya.
Sebenarnya
kalau dipikir-pikir maka akan sangat sayang sekali bahwa lahan di sekitar pura
semuanya dikontrakkan untuk dijadikan ruko. Menyebabkan pemandangan kurang
indah. Padahal pura itu sendiri sangat indah, seni dan asri. Kehadiran banyak
ruko di sekitar pura menimbulkan kecemeran akibat aktivitas manusia yang silih
berganti. Muncul kebisingan saat persembahyangan yang akan mengganggu konsentrasi
kehadapan Hyang Maha Kuasa. Yang terpenting dari semua ini adalah adanya suatu
kebiasaan atau ketergantungan penyungsung terhadap materi yang dihasilkan dari laba
pura yakni berupa uang, yang kemudian menorbankan kesucian pura.
Ada
kecenderungan krama Bali mengontrakkan laba pura demi kepentingan uang baik itu
untuk keperluan di pura atau untuk kepentingan pribadi. Sudah tentu hal ini
akan mengorbankan kesucian, keasrian, ketengetan, dan keangkeran dari pura yang
disungsung. Sangat sayang sekali misalnya kalau umat Hindu di Bali begitu
leluasa dalam arti “rakus” meng-emper-i
puranya dengan bangunan-bangunan yang kurang mendukung suasana keindahan,
kenyamanan dan kesucian pura.
Malah
ada pura yang hanya kelihatan pintunya saja. Padahal pura tersebut sangat
megah, indah dan asri. Namun karena ketamakan kita sebagai manusia, maka
keindahan, keasrian dan kesucian tersebut kita korbankan demi sesuap nasi atau
untuk memenuhi kebutuhan modern. Sangat sayang sekali.
Memang
dalam hal ini manusia Bali terutama di perkotaan yang telah diimbas oleh perkembangan
ekonomi industri, telah menyebabkan terjadi pergeseran sosial, pergeseran pola
pikir serta kebutuhan yang berbeda pula. Manusia Bali dihadapkan pada suatu
keadaan dimana satu sisi manusia Bali harus memelihara keberadaan pura dengan
segala macam ritualnya yang sudah tentu memerlukan biaya. Yang kedua manusia
Bali dihadapkan pada situasi dimana semua perlengkapan hidup didapat hanya
dengan cara membeli. Lain halnya dulu semua kebutuhan hidup atau kebutuhan upacara
didapat dengan cara memetik di kebun atau di sawah. Hal inilah yang kemudian
menjadi pertimbangan dari para penyungsung pura untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
maka mempertimbangan untuk menyewakan lahan laba pura yang hasilnya digunakan
untuk keperluan memelihara pura dengan segala upacaranya.
Perlu
diingat bahwa keberadaan pura yang diwariskan oleh para leluhur Bali sejak
jaman dahulu, memang perlu dijaga kelestarian, kesucian dan keutuhannya. Untuk
itu diperlukan suatu keiklasan, kesadaran bahwa yang penting dari sebuah pura
adalah nilai magis dan nilai kesuciannya. Sebab leluhur tak ingin dengan sesuatu
yang megah, suatu yang mahal, namun tak memiliki nilai magis, apalagi tak memiliki
nilai kesucian dan keiklasan. Akan sia-sialah orang Bali mengontrakkan laba
pura demi uang dengan mengorbankan kesucian pura. Sebab hakekat dari sebuah
pura adalah nilai kesucian dan ketulusan. Walaupun sederhana, namun kalau tetap
dijaga kesucian dan kemagisannya, maka akan dapat menjamin terjadi hubungan
yang harmonis antara manusia dengan Hyang Pencipta.
Parisada
Dharma Hindu Bali atau Parisada Hindu Dharma beserta dengan pemerintah, unsur
kebudayaan, dan lembaga adat di daerah perlu memberi bimbingan, dalam rangka
menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai magis spiritual dan kesucian
terkait dengan keberadaan pura. Bila perlu pemerintah perlu memberikan arahan
dan larangan bagi masyarakat yang mengontrakkan laba pura melalui berbagai
ketentuan administratif. Hal ini perlu dilakukan untuk senantiasa menjaga
keseimbanagn ekosistem, menjaga keseimbangan aura, serta senantiasa menjaga
suasana magis, menjaga kesucian pura.
(Kanduk).
No comments:
Post a Comment