Monday, January 26, 2015

Pura Berpagar Ruko



Coba saja berjalan sekitar jalan protokol di kawasan Denpasar, sudah pasti akan mendapatkan sekian banyak ruko, sekian banyak toko yang menjajakan sekian banyak barang kebutuhan. Namun bagaimana dengan julukan Bali sebagai daerah pulau seribu pura. Inilah yang menjadi kontradiksi di daerah ini. Mungkin bagi mereka yang lahir duluan, tentu akan melihatnya sebagai Bali sebagai daerah seribu pura, karena setiap jengkal tanah di Bali terdapat pura. Namun bagi yang lahir belakangan, maka hal itu menjadi semakin aneh, karena mereka mendapatkan tidak banyak pura. Kemana ya?. Apakah pura di Bali sudah tidak ada? atau sudah dibongkar dan beralih kepercayaan lain? atau memang digunakan untuk kawasan ekonomi?.
Tentu, semua pernyataan di atas salah, sebab keberadaan pura dan sanggah di Bali semakin hari semakin banyak. Sejalan dengan perkembangan penduduk Bali. Namun tentunya perlu dicermati bahwa di sekitar ruas jalan raya di Bali sesuai dengan perkembangan jaman, banyak dimanfaatkan sebagai tempat ekonomi. Banyak lahan sekitar pura (laba pura) digunakan untuk ruko, kantor, dll, dikontrakkan oleh pemiliknya atau dipakai sendiri.
Hal ini sebagai konsekuensi dari sanan tetegenan yang telah berubah fungsi dari fungsi agraris ke fungsi industri. Tanah laba pura yang dahulu merupakan tanah sawah atau tanah kebun beralih fungsi menjadi lahan untuk ekonomi. Dengan banyaknya ruko yang ada di Bali maka pura-pura yang ada di sekitar Denpasar banyak yang tak kelihatan lagi. Yang kelihatan hanyalah ruko. Jadi seolah-olah di Denpasar tak banyak ada pura. Padahal kalau mau ditelusuri lebih dalam atau masuk ke dalam areal pemukiman penduduk di belakang ruko/perkantoran, banyak pura baik pura besar maupun yang kecil. Bahkan pura yang megah pun banyak terdapat di sana, yang menyimpan berbagai keasrian, menyimpan sejarah, sekaligus keangkerannya sebagai pura yang dikeramatkan dan disucikan oleh umat penyungsungnya.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir maka akan sangat sayang sekali bahwa lahan di sekitar pura semuanya dikontrakkan untuk dijadikan ruko. Menyebabkan pemandangan kurang indah. Padahal pura itu sendiri sangat indah, seni dan asri. Kehadiran banyak ruko di sekitar pura menimbulkan kecemeran akibat aktivitas manusia yang silih berganti. Muncul kebisingan saat persembahyangan yang akan mengganggu konsentrasi kehadapan Hyang Maha Kuasa. Yang terpenting dari semua ini adalah adanya suatu kebiasaan atau ketergantungan penyungsung terhadap materi yang dihasilkan dari laba pura yakni berupa uang, yang kemudian menorbankan kesucian pura.
Ada kecenderungan krama Bali mengontrakkan laba pura demi kepentingan uang baik itu untuk keperluan di pura atau untuk kepentingan pribadi. Sudah tentu hal ini akan mengorbankan kesucian, keasrian, ketengetan, dan keangkeran dari pura yang disungsung. Sangat sayang sekali misalnya kalau umat Hindu di Bali begitu leluasa dalam arti “rakus” meng-emper-i puranya dengan bangunan-bangunan yang kurang mendukung suasana keindahan, kenyamanan dan kesucian pura.
Malah ada pura yang hanya kelihatan pintunya saja. Padahal pura tersebut sangat megah, indah dan asri. Namun karena ketamakan kita sebagai manusia, maka keindahan, keasrian dan kesucian tersebut kita korbankan demi sesuap nasi atau untuk memenuhi kebutuhan modern. Sangat sayang sekali.
Memang dalam hal ini manusia Bali terutama di perkotaan yang telah diimbas oleh perkembangan ekonomi industri, telah menyebabkan terjadi pergeseran sosial, pergeseran pola pikir serta kebutuhan yang berbeda pula. Manusia Bali dihadapkan pada suatu keadaan dimana satu sisi manusia Bali harus memelihara keberadaan pura dengan segala macam ritualnya yang sudah tentu memerlukan biaya. Yang kedua manusia Bali dihadapkan pada situasi dimana semua perlengkapan hidup didapat hanya dengan cara membeli. Lain halnya dulu semua kebutuhan hidup atau kebutuhan upacara didapat dengan cara memetik di kebun atau di sawah. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan dari para penyungsung pura untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka mempertimbangan untuk menyewakan lahan laba pura yang hasilnya digunakan untuk keperluan memelihara pura dengan segala upacaranya.
Perlu diingat bahwa keberadaan pura yang diwariskan oleh para leluhur Bali sejak jaman dahulu, memang perlu dijaga kelestarian, kesucian dan keutuhannya. Untuk itu diperlukan suatu keiklasan, kesadaran bahwa yang penting dari sebuah pura adalah nilai magis dan nilai kesuciannya. Sebab leluhur tak ingin dengan sesuatu yang megah, suatu yang mahal, namun tak memiliki nilai magis, apalagi tak memiliki nilai kesucian dan keiklasan. Akan sia-sialah orang Bali mengontrakkan laba pura demi uang dengan mengorbankan kesucian pura. Sebab hakekat dari sebuah pura adalah nilai kesucian dan ketulusan. Walaupun sederhana, namun kalau tetap dijaga kesucian dan kemagisannya, maka akan dapat menjamin terjadi hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Pencipta.
Parisada Dharma Hindu Bali atau Parisada Hindu Dharma beserta dengan pemerintah, unsur kebudayaan, dan lembaga adat di daerah perlu memberi bimbingan, dalam rangka menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai magis spiritual dan kesucian terkait dengan keberadaan pura. Bila perlu pemerintah perlu memberikan arahan dan larangan bagi masyarakat yang mengontrakkan laba pura melalui berbagai ketentuan administratif. Hal ini perlu dilakukan untuk senantiasa menjaga keseimbanagn ekosistem, menjaga keseimbangan aura, serta senantiasa menjaga suasana magis, menjaga kesucian pura.
(Kanduk).  

No comments:

Post a Comment