Sanghyang
Antaboga atau Sang Hyang Nagasesa atau Sang Hyang Anantaboga adalah dewa
penguasa dasar bumi. Dewa itu beristana di Kahyangan Saptapatala atau lapisan
ke tujuh dasar bumi. Dari istrinya yang bernama Dewi Supreti, ia mempunyai dua
anak yaitu Dewi Nagagini dan Naga Tatmala. Dalam pewayangan disebutkan,
walaupun terletak di dasar bumi, keadaan di Saptapatala tidak jauh berbeda
dengan di kahyangan lainnya.
Sang
Hyang Antaboga adalah putra Anantanaga. Ibunya bernama Dewi Wasu (putri dari
Anantaswara). Walaupun dalam keadaan biasa Sang Hyang Antaboga serupa dengan wujud
manusia, tetapi dalam keadaan triwikrama, tubuhnya berubah menjadi ular naga
besar. Selain itu, setiap 1000 tahun sekali Sang Hyang Antaboga berganti kulit
(mlungsungi / mekules).
Dalam
pewayangan, dalang menceritakan bahwa Sang Hyang Antaboga memiliki Aji
Kawastrawam, yang membuatnya dapat menjelma menjadi apa saja sesuai dengan yang
dikehendakinya. Antara lain ia pernah menjelma menjadi garangan putih (semacam
musang hutan atau cerpelai) yang menyelamatkan Pandawa dan Kunti dari amukan
api pada peristiwa Bale Sigala-gala.
Putrinya,
Dewi Nagagini menikah dengan Bima, orang kedua dalam keluarga Pandawa. Cucunya
yang lahir dari Dewi Nagagini bernama Antareja atau Anantaraja. Sang Hyang
Antaboga mempunyai kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya belum
digariskan, karena ia memiliki air suci Tirta Amerta. Air sakti itu kemudian
diberikan kepada cucunya Antareja dan pernah dimanfaatkan untuk menghidupkan Dewi
Wara Subadra yang mati karena dibunuh Burisrawa dalam lakon Subadra Larung. Sang
Hyang Antaboga pernah dimintai tolong Batara Guru menangkap Nagatatmala,
anaknya sendiri. Waktu itu Nagatatmala kepergok sedang berkasih-kasihan dengan
Dewi Mumpuni, istri Batara Yamadipati. Namun para dewa gagal menangkapnya
karena kalah sakti. Karena Nagatatmala memang bersalah walau itu anaknya, Sang
Hyang Antaboga terpaksa menangkapnya. Namun Dewa Ular itu tidak menyangka
Batara Guru akan menjatuhkan hukuman mati pada anaknya dengan memasukkannya ke
Kawah Candradimuka. Untunglah Dewi Supreti istrinya, kemudian menghidupkan
kembali Nagatatmala dengan Tirta Amerta. Batara Guru juga pernah mengambil
kulit yang tersisa sewaktu Sang Hyang Antaboga mrungsungi dan menciptanya menjadi
makhluk ganas yang mengerikan. Batara Guru menamakan makhluk ganas itu
Candrabirawa.
Sang
Hyang Antaboga, ketika masih muda disebut Nagasesa. Walaupun ia cucu Sang Hyang
Wenang, wujudnya tetap seekor naga, karena ayahnya yang bernama Antawisesa juga
seekor naga. Ibu Nagasesa bernama Dewi Sayati, putri Sang Hyang Wenang. Suatu
ketika para dewa berusaha mendapatkan Tirta Amerta yang membuat mereka bisa
menghidupkan orang mati. Guna memperoleh Tirta Amerta para dewa harus mengaduk dasar
samudra. Mereka mencabut Gunung Mandara dari tempatnya dibawa ke samudra,
dibalikkan sehingga puncaknya berada di bawah, lalu memutarnya untuk melubangi
dasar samudra itu.
Namun
setelah berhasil memutarnya, para dewa tidak sanggup mencabut kembali gunung
itu. Padahal jika gunung itu tidak bisa dicabut, mustahil Tirta Amerta dapat
diambil. Pada saat para dewa sedang bingung itulah Nagasesa datang membantu.
Dengan cara melingkarkan badannya yang panjang ke gunung itu dan membetotnya ke
atas, Nagasesa berhasil menjebol Gunung Mandira, dan kemudian menempatkannya di
tempat semula. Dengan demikian para dewa dapat mengambil Tirta Amerta yang
mereka inginkan. Itu pula sebabnya, Nagasesa yang kelak lebih dikenal dengan
nama Sang Hyang Antaboga juga memiliki Tirta Amerta.
Ada
pendapat lain yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan Tirta Amerta, para dewa
bukan mengebor samudra, melainkan mengaduk-aduknya. Ini didasarkan atas arti
kata ngebur dalam bahasa Jawa, yang artinya mengaduk-aduk, mengacau, membuat
air samudra itu menjadi kacau.
Jasa
Nagasesa yang kedua adalah ketika ia menyerahkan Cupu Linggamanik kepada
Bathara Guru. Para dewa memang sangat menginginkan cupu mustika itu. Waktu itu
Nagasesa sedang bertapa di Guwa Ringrong dengan mulut terbuka. Tiba-tiba
melesatlah seberkas cahaya terang memasuki mulutnya. Nagasesa langsung
mengatupkan mulutnya dan saat itulah muncul Bathara Guru. Dewa itu menanyakan
kemana perginya cahaya berkilauan yang memasuki Guwaringrong. Nagasesa
menjawab, cahaya mustika itu ada pada dirinya dan akan diserahkan kepada
Bathara Guru, bilamana pemuka dewa itu mau memeliharanya baik-baik. Bathara
Guru menyanggupinya, sehingga ia mendapatkan Cupu Linggamanik yang semula
berujud cahaya itu.
Cupu
Linggamanik sangat penting bagi para dewa, karena benda itu mempunyai khasiat dapat
membawa ketentraman di kayangan. Itulah sebabnya semua dewa di kahyangan merasa
berhutang budi pada kebaikan hati Nagasesa. Karena jasa-jasanya itu para dewa
lalu menghadiahi Nagasesa kedudukan yang sederajat dengan para dewa dan berhak
atas gelar Bathara atau Sang Hyang. Sejak itu ia bergelar Sang Hyang Antaboga.
Para dewa juga memberinya hak sebagai penguasa alam bawah tanah. Tidak hanya
itu, oleh para dewa Nagasesa juga diberi Aji Kawastram yang membuatnya sanggup
mengubah wujud dirinya menjadi manusia atau makhluk apa pun yang
dikehendakinya.
Sebagian
orang menyebutnya Aji Kemayan, spertinya sebutan itu kurang pas, karena Kemayan
yang berasal dari kata ‘maya’ adalah aji untuk membuat pemilik ilmu itu menjadi
tidak terlihat oleh mata biasa. Kata ‘maya’ artinya tak terlihat. Jadi yang
benar adalah Aji Kawastram. Untuk membangun ikatan keluarga, para dewa juga
menghadiahkan seorang bidadari bernama Dewi Supreti sebagai istrinya.
Perlu
diketahui, cucu Sang Hyang Antaboga, yakni Antareja hanya terdapat dalam
pewayangan di Indonesia. Dalam Kitab Mahabarata, Antareja tidak pernah ada,
karena tokoh itu memang asli ciptaan nenek moyang orang Indonesia. Sang Hyang
Antaboga pernah berbuat kesalahan ketika dalam sebuah lakon carangan terbujuk
hasutan Prabu Boma Narakasura cucunya, untuk meminta Wahyu Senapati pada
Bathara Guru. Bersama dengan menantunya, Prabu Kresna yang suami Dewi Pertiwi,
Antaboga berangkat ke kahyangan. Ternyata Bathara Guru tidak bersedia
memberikan wahyu itu pada Boma, karena menurut pendapatnya Gatotkaca lebih
pantas dan lebih berhak. Selisih pendapat yang hampir memanas ini karena Sang
Hyang Antaboga hendak bersikeras, tetapi akhirnya silang pendapat itu dapat
diredakan oleh Bathara Narada. Wahyu Senapati tetap diperuntukkan bagi Gatotkaca.
No comments:
Post a Comment