Ini salah satu kisah langsung dan
otentik yang pernah diterima penulis terkait dengan masalah orang bisa
ngeliak. Ada suatu cerita dari daerah Sidemen Karangasem. Sebut saja namanya Ni
Luh Ayu, seorang anak kecil dengan banyak saudara dan banyak ibu. Ia tinggal bersama
ibu tirinya disertai dadong (nenek)
di sebuah gubuk yang sepi jauh dari pemukiman masyarakat. Luh Ayu ketika itu
masih berumur sekitar tujuh tahun.
Pada suatu hari Ni Luh Ayu melihat si
dadong memegang seutas kain. Kain itu menarik perhatian Ayu sambil mendekat.
Kain itu dilihtanya berwarna poleng-poleng. Ia tak tahu apa itu. Dadong kemudian
menaruh kain panjang poleng itu di suatu tempat kusus di dalam rumah. Dan
kerapkali Ayu melihat dadongnya berbicara menghadap ke sabuk (kain poleng), seolah-olah ada yang diajak bicara. Namun ayu
bengong saja, sebab ia tak mengerti apa yang dilakukan oleh dadong dan siapa
yang diajak bicara. Ayu pun bertanya keada dadongnya tentang siapa yang diajak
bicara. Dadongnya cuma menjawab “sing dadi, sing dadi”. Maksudnya Ayu si anak
kecil tak boleh tahu siapa yang diajak bicara.
Setelah beberapa hari kemudian, suatu
malam kain yang dibawa dadongnya itu dikeluarkan oleh dadong lalu di letakkan di
atas meja. Tampak oleh Ayu bahwa kain itu diajak bicara oleh dadong. Anehnya
lagi kain tersebut seperti bisa berdiri dan tampak hidup seperti ular. Ayu
bertanya pada dadong, apa yang dadong bilang, apa yang dadong lalukan?. I
Dadong mengatakan “ten dados”, tak boleh, tak boleh ikut, tak boleh tahu.
Dalam beberapa saat setelah itu dadong
kemudian keluar menuju halaman rumahnya dengan memakai sabuk tersebut. Karena saking senang dan sayangnya kepada dadong, Ni
Luh Ayu lalu mengikuti sambil mengatakan “dadong kar kije…. dadong kar kije”
(nenek mau kemana?). I Dadong tak
menyahut, langkahnya pasti dan lurus ke luar rumah. Ni Ayu pun terus mengikuti
dari belakang. Sebab Luh Ayu memang tak bisa berpisah atau jauh-jauh dari
dadongnya. Setelah sampai di tempat tertentu, Ni Luh Ayu melihat dadongnya mengurai
rambut, kemudian salah satu kakinya diangkat kemudian meloncat (nengkleng). Ni Luh Ayu yang lugu pun
setia menunggui dadongnya yang melakukan ritual yang tak ia ketahui. Setelah
beberapa kali nengkleng sambil berputar, kemudian Ni Luh Ayu melihat muka dari
dadongnya berubah menjadi membesar dan berlubang- lubang (mungkin itu yang dikatakan
orang selama ini sebagai wajah seperti umah
tabuan / rumah tawon). Ni Luh Ayu yang melihat itu sama sekali tak
takut, karena ia sangat senang dan sangat sayang pada dadongnya yang diajaknya
sehari-hari kemanapun pergi.
Dadong yang sudah berubah wujud tersebut
kemudian meneruskan langkahnya, entah kemana. Namun Ni Luh Ayu tetap berkata
dan bertanya “dadong kar kije”. Dadongnya yang sudah jadi liak tak menyahut dan
langsung pergi. Sempat Luh Ayu mengikuti langkah dadongnya beberapa langkah,
namun dadongnya semakin menjauh. Ni Luh Ayu lalu tak lagi mengikuti dadongnya
dan bergegas kembali ke rumah untuk memberi tahu ibu tirinya yang sedang tidur.
Ia membangunkan ibu tirinya dan mengatakan “biang, biang,… dadong di sisi
ngigel sambil nengkleng, muane dadi cara umah tabuan” (ibu, ibu,.. nenek di
luar sana menari-nari, mukanya seperti rumah tawon). Lalu dadong pergi entah
kemana. Demikian Ni Luh Ayu memberitahu ibu tirinya.
Biyang / ibu tirinya menyahut seadanya, “ahh… ten dados.. ten dados” (ah tidak boleh…).
Maksudnya tak boleh melihat dan tak boleh mengikuti. Mungkin saja byangnya ini
sudah mengetahui kebiasaan dadongnya yang mempraktekkan ilmu pengeliakan.
Setelah mendapat jawaban demikian, Ni
Luh Ayu kembali mencari dadongnya keluar ke tempat dimana ia nengkleng tadi.
Ternyata dadongnya sudah ada di sana kembali. Lalu kembali ia menanyakan kepada
dadongnya “dadong mare kije, dadong ngudiang ?” (dadong tadi kenana dan
ngapain?). Tetap dadongnya diam seribu basa. Sehingga Ayu hanya bisa menonton
dadongnya, demikian juga dadongnya asyik dengan ritual liaknya. Ketika itu Ni
Luh Ayu merasakan sakit perut ingin beol. Maka ia kemudian beol di semak-semak
tak jauh dari tempat dadongnya ngeliak, sambil menonton dadongnya. Dadongnya
kemudian dilihat berjalan keliling dan sesaat hilang. Beberapa saat kemudian
dadongnya muncul tepat dari arah depan Ni Luh Ayu yang sedang beol. Dadongnya
sudah berubah wujud kembali menjadi kuda berkaki tiga, dua di belakang, satu di
depan.
Ni Luh Ayu menjadi heran dan bingung kok
dadongnya bisa kelihatan seperti kuda berkaki tiga dan mengeluarkan suara kuk,..
kukk,… kuuk,… kuk…, demikian sambil keliling melintas di depan Ni Luh Ayu yang
sedang jongkok. Disamping itu terdengar juga suara gledug,.. gledug,… gledug…
seperti suara langkah kaki kuda. Dadong yang sudah menjadi kuda lalu melintas
di depan Ni Luh Ayu. Ayu pun mengamati dadongnya dengan seksama. Dan ketika
kuda itu lewat di depan Ayu, ternyata dari belakang tak tampak kuda lagi. Yang
kelihtan malah dadongnya sendiri yang berjalan membungkuk tertatih-tetih sedang
menggenggam sebuah tongkat dengan kedua tangannya. Jadi kelihatan seperti kuda
berkaki tiga (kaki belakang adalah dua kaki dadong, satu kaki depan adalah tongkat
yang dibawanya). Dadong tampak seperti bermuka kuda, karena dalam ritualnya
dadong sambil meniup sebuah alat bunyi-bunyian, sehingga mulut dadong kelihatan
lebih monyong. Alat bunyi ini ditiup mengeluarkan suara kuk… kuk.. kuk… Sedangkan
suara gledug… gledug… tersebut adalah suara hentakan tongkat yang dibawa oleh
dadong.
Ni Ayu yang melihat kejadian itu sama sekali
tak merasa takut, cuman dia bertanya-tanya, dadongnya sedang ngapain. Ia hanya
selalu ingin dekat dengan dadongnya dan ingin agar dadongnya cepat pulang ke
rumah. Ritual malam itu pun berakhir, dadongpun kembali ke rumah diikuti oleh
Ni Ayu. Sesampai di rumah, dadongnya menaruh barang atau kain sesabukan itu di
tempat semula. Disarankan oleh dadongnya agar kalau dadong sudah keluar rumah
dengan mengenakan sabuk ini malam-malam, maka tak boleh ikut. Demikian juga
dengan ni byangnya juga menyarankan demikian.
Pada suatu hari, dengan perasaan yang biasa-biasa
saja dan mungkin penasaran dengan benda seperti ikat pinggang poleng berisi bentol
bentol itu, Ni Luh Ayu kemudian melihatnya di tempat penyimpanan. Dilihatnya
barang tersebut tergeletak di sana. Ia mencoba untuk mengambil barang tersebut
dan melilitkannya di pinggang mengikuti seperti apa yang dilakukan oleh
dadongnya. Lalu ia berjalan keluar. Ternyata Ni Luh Ayu merasakan dirinya
berjalan melayang tanpa menyentuh tanah, ia pun kebingungan dan merasa ketakutan.
Ia kemudian segera kembali berjalan ke dalam rumah lalu membuka ikat pinggang
tersebut serta menaruhnya kembali di tempat semula. Ia kembali merasa seperti
biasa. Hal itu dilakukannya tanpa sepengetahuan dadongnya. Dan karena pernah merasakan
keajaiban dari sabuk dadongnya itu, maka ia tak berani lai mencoba-coba
mengenakan sabuk itu lagi, karena takut melayang-layang.
Demikian kisah nyata yang di alami Ni
Luh Ayu ketika kecil menyaksikan ritual dadongnya dengan mengenakan sabuk itu.
Ni Luh Ayu pun tak tahu apa yang dilihatnya dan apa yang dilakukan oleh
dadongnya. Seiring dengan berjalannya waktu, maka Ni Luh Ayu yang kecil dan
lugu, kini menjadi dewasa. Saat ini ia mulai memahamai mengenai benda tersebut serta
praktek apa yang dilakukan oleh dadongnya. Rupanya benda seutas kain tersebut
yang sering disebut orang dengan sabuk
pengeliakan. Sedangkan ritual nengkleng yang dilakukan dadongnya adalah
ritual ngerehin dengan sikap masuku tunggal (berdiri dengan satu kaki)
sambil menari-nari memuja Ida Betari Durga untuk mencapai puncak pemujaannya
yang disebut dengan nadi. Pada saat
nadi, maka bayu sabda idep si pemuja
itu kemudian menyatu dan mencapai puncak. Si pelaku lalu diselimuti oleh energi
sukma tertentu, sehingga yang bersangkutan tampak seperti apa yang mereka
inginkan. Ada yang diselimuti oleh energi sukma dimana mukanya tampak berubah
menyeramkan berupa bojog, celuluk, jaran, kebo, bade, rangda, dll. Si pelaku
liak menjadi asik dengan dirinya, menikmati puncak pemujaannya (lia, lila, liang / senang / nikmat)
dengan segala sensasinya. Yang tampak seperti jaran berkaki tiga disebut dengan
gegendu jaran, sedangkan kerbau
berkaki tiga dsebut dengan gegendu kebo.
Menurut cerita orang yang tahu masalah pengeliakan,
jarang ada orang yang bisa dilihat atau diikuti oleh orang lain ketika melakukan
ritual nengkleng, kecuali memang satu murid seperguruan. Namun kejadian Ni Luh
Ayu yang masih kecil ini termasuk aneh. Mungkin karena Ni Luh Ayu dianggap
masih kecil, tak tahu apa-apa, sehingga dadongnya tak melarang Ayu menyaksikan
ritual ngeliak yang ia lakukan. Mungkin dadongnya berpikir begini “walaupun
dilihat toh juga ia tak mengerti”. Bisa jadi si dadong mulai memperkenalkan sedini mungkin ilmu liak kepada cucu satu satunya itu, sebagai penerus dikemudian hari. Atau mungkin dadongnya juga berpikir begini
“ngeliak sambil ngempu” (ngeliak sambil mengajak cucu). Ha..ha..ha.. Tapi dadongnya tak berpikir bahwa apa yang
dilihat oleh cucunya itu tersimpan dalam memori otaknya, lalu ketika dewasa ia
akan memikirkan kembali masa kecil dan teringat dengan apa yang ia lihat waktu kecil.
Pada saat itulah baru ia paham tentang apa yang dilakukan oleh dadongnya
terdahulu. Cucunya mulai paham bahwa ternyata dadongnya sebagai penekun ilmu
liak. Dan… ketika semua itu disadari oleh Ayu, dadongnya sudah meninggal.
Nah yang menjadi pertanyaan sekarang, dimanakah
sabuk itu disimpan oleh dadongnya? Siapakah yang mewarisi ilmu itu sekarang?
Kepada siapakah sabuk itu diberikan? Ni Luh Ayu merasa heran, takjub dan
kadangkala lucu ketika menceritakan pengalaman masa kecilnya itu. Sedangkan Ni
Luh Ayu sampai saat ini tak pernah menyentuh dunia liak seperti yang dilakoni
oleh dadongnya terdahulu. Ia malah ngiring
sesuhunan dan menjadi seorang spiritualis. Ayu menikah dengan seorang pria
pengusaha dari Singaraja yang juga salah seorang teman dari putra proklamator
Republik Indonesia yang juga sebagai seniman.
No comments:
Post a Comment