REKAYASA
CUACA OLEH MANUSIA
Selain
dunia calonarang, dunia yang paling ngetren belakangan ini adalah dunia nerang
ujan. Bagaimana caranya agar tidak jatuh hujan pada waktu yang dikehendaki. Hal
ini dinilai penting untuk kepentingan umum, misalnya ketika ada upacara ngaben,
nganten, odalan, atau karya yaadnya lainnya. Lebih lebih pada musim hujan,
pastilah ruang gerak langkah akan menjadi sedikit terhambat atau terganggu
ketika hujan turun. Kalau hujan, wah kasihan pengantennya, kasihan tamunya,
kasihan bantennya, dan satu lagi kasihan menu makanannya mudah masem alias basi. Lebih kasihan lagi
ketika odalan kehujanan, jero mangku yang sudah lingsir - lingsir menggigil
kedinginan ketika harus menjalani penglien atau prosesi odalan. Demikian I Putu
Laklak Pikang membuka diialognya suatu pagi dengan I Gede Ongo Ongol.
Mengingat
hal tersebut, maka peran dari mereka yang memiliki kemampuan nerang menjadi
semakin krusial. Ketika musim hujan, selain upacara, tamu, makanan, maka yang
menjadi perhatian adalah bagaimana menciptakan susanana nyaman bagi tamu yakni
bagaimana caranya agar tidak hujan pada saat upacara. Maka sang punya gawe
mulailah berpikir kemana minta tolong, kepada siapa minta bantuan, dan sebagainya.
Sudah tentu ada beberapa alternatif. Sebab kebaradaan tukang terang di tanah
Bali sudah merupakan suatu hal yang lumrah, namun tak layak untuk dibeberkan
secara terbuka. Semuanya masih semacam kasak kusuk. Lanjut I Putu Jaya Merana.
I
Gede Ongol Ongol lalu menimpali, “ketika sebuah perhelatan yadnya berjalan dengan
baik tanpa ada hujan, maka kita sering mendengar kalimat “Nah ne mara hebat,
nyen nerang?” sebagai tanda memuji. Namun sebaliknya ketika hujan turun
pastilah ada yang nyeloteh “aduh kok bisa hujan. Kenken tukang terang ne, nyen
nerang? Pasti tukang terang e pules”. Demikian sering terdengar dua hal yang sangat
kotradiktif dalam melihat adanya hujan atau tak hujan dalam sebuah upacara. Dan
inii merupakan realitas kehidupan di tanah Bali, lebih - lebih berkaitan dengan
hajatan upacara adat atau agama.
Dari
beberapa tukang terang yang ada (yang dikenal), beberapa menang sudah tak asing
lagi alias sering menjalankan ritual penerangan di tempat tempat orang punya
gawe. Dari sekian banyak menjalankan prosesi tersebut, banyak yang berhasil dan
mendapatkan jempol yang diacung acung alias acungan jempol, dan sering pula
kebobolan sehingga mendapatkan cibiran “sapih” artinya seri. Maksudnya nerang payu ujan payu. Demikian I Ngurah
Godoh Embon ikut nimbrung pagi itu di atas taban bale banjar.
Lagi
lagi ia menambahkan “Dalam dunia niskala di Bali, khusunya penerangan, tak
jarang orang orang berlagak bisa nerang, berlagak sakti, berlagak hebat mau
mengatur alam atau merekayasa cuaca sesuai dengan keinginannya. Memang sih
secara tradisonal banyak sarana yang digunakan, ada yang memakai banten barak, memakai
sarana base, sarana sembe, rokok, jangu, dll. Bahkan ada yang sarananya sedikit
nyeleneh yakni si penerang harus dibawakan minuman “BIR BINTANG”. Entah itu sarananya
yang sejati atau asisten tukang terangnya yang pingin bir sehingga menjadi
suatu hal yang baku. Bahkan bir yang diminta adalah bir bintang. Jadi kita tak
habis pikir, yang dibutuhkan dalam penerangan itu apakah airnya, alkoholnya,
botolnya atau yang lainnya. Itu semua hanyalah sarana untuk memohon, apa saja
boleh. Tetapi yang lebih penting adalah kekuatan jnana serta keiklasan dalam
memohon”.
Karena
banyaknya pertanyaan, tentu saja ada yang sedikit jahil. Ada pemikiran yang
nyeleneh bahwa yang dibutuhkan adalah alkohonya, dengan harapan ketika sudah
tahap hampir mabuk maka akan muncul bintang bintang. Itu artinya ketika bintang
sudah kelihatan, pastilah tak hujan. Pahhh itu pikiran jail, tapi bisa jadi di
akal. Artinya yang dibutuhkan adalah bintangnya. Haaaa….
Tapi
kayaknya tak mungkin demikian. Namun apapun itu… semua adalah sarana untuk
memohon kehadapan Hyang Widhi dalam prebawa beliau sebagai sebagai Sanghyang
Brahma, Sanghyang Agni dan Sanghyang Bayu, sebagai kekuatan panas, api dan
angin yang sudah tentu diharpakan dapat menghalau hujan atau mendung”.
I
Putu Laklak Pikang punya cerita lain lagi “Ada lagi yang menampilkan diri
begitu meyakinkan dan sedikit seram, dimana ketika nerang mereka membawa
sebuah keris dari rumah yang konon keris itu adalah keris pusaka Brahma Ambara,
yang berkasiat untuk nerang. Ketika nerang, si tukang terang itu menghaturkan
banten, kemak - kemik, lalu menunjuk - nunjukkan kerisnya ke arah awan. Tampak
memang seram sekali, dan meyakinkan. Namun lucunya, ketika beberapa lama kemudian,
entah darimana datangnya awan yang bergerombol banyak (seperti awan CB atau
awan commulonimbus) yang tebal dan
gelap. Maka sang tukang terang kelabakan, mengacung acung kan kerisnya, mau
dibawa kemana, atau mau diarahkan kemana. Sang tukang terang tak berdaya, maka
hujan pun turun dengan lebatnya.
Kasihan
juga, permohonannya pada hari ini tak terkabulkan oleh Sanghyang Brahma, mungkin Sanghyang Brahma sudah dipermaklumkan sebelumnya oleh Sanghyang Indra dan Sanghyang
Wisnu bahwa pada hari ini beliau akan menghujani daerah tersebut untuk
kepentingan agar tanaman dan alam menjadi sejuk, serta tanaman dapat tumbuh subur, berbunga dan berbuah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Mungkin juga dengan hujan yang lebat tersebut, Sanghyang Wisnu dan Hyang Indra
akan meruat alam serta membersihkan
segala kotoran dan mala di dunia, dimana segala macam kotoran dan penyakit akan
dihanyutkan oleh air hujan lalu disucikan di laut. Bisa jadi…
Oleh karena itu, kali ini Hyang Brahma tak mengabulkan permohonan para tukang
terang, demi kepentingan umat manusia di dunia. Kalau semuanya minta endang atau terang terus, tak baik untuk
alam dan manusia. Mungkin demikian makna positifnya.
Dalam
dunia penerangan, sering juga ada cibiran bagi mereka yang selalu berpikir ke arah
niskala. Sebut saja namannya Made Kakah Dungkah sering berujar “kalau tak ada
hujan, semua nitig tangkah ngaku nerang. Tapi kalau sudah hujan, semua tiarap
tak ada yang berani bertanggung jawab” Demikian ia ceplas ceplos ketika
menghadiri sebuah acara adat, dimana acara tersebut diguyur hujan dari pagi
sampai sore tak ada jedanya. Kalau mau dibilang sakti nerang, maka terimalah
order pada bulan - bulan antara Juni – Juli – Agustus – September. Pada bulan
itu, tukang terang sembilan puluh delapan persen berhasil. Karena bulan itu
bulan musim kemarau, mana ada hujan?. Kalau saat itu pastilah orang bilang
tukang terangnya sakti.
I
Nyoman Klepon Benyek berseru “Kalau nerang pada bulan Desember, Januari, Februari,
maka siap siaplah menerima cibiran, sebab bulan itu bulan basah. Seperti kata I
Ketut Mokoh Megenyolan “kanti ngencit tukang terange” yang artinya tukang
terangnya sampai mencret mencret tak akan terang, sebab bulan itu bulan basah. Sehingga
angka keberhasilan nerang cuman lima persen”.
I
Nyoman Klepon melanjutkan bicaranya “Ada lagi cerita dari pinggir barat Kota
Denpasar, seseorang yang berprofesi sebagai tukang terang memasang harga
sebesar sepuluh juta rupiah untuk satu kali event. Ia biasanya melakukan teken
kontrak dengan para rumah produksi yang sering melakukan shooting senetron atau
iklan. Namun ketika temannya Gung Ngurah Bongkrek datang ke sana untuk meminta
bantuan, secara professional mengatakan harganya sekian. Namun, teman Gung Bongkrek
membisiki bahwa harga tersebut mahal.
Lalu
atas petunjuk dari I Nyoman Klepon, disarankan untuk mencari tukang terang yang
profesional dan modern. Mereka berdua lalu menuju ke rumah seseorang di tengah
kota. Gung Bongkrek semakin penasaran, ia mau diajak ke rumah balian siapa atau
ke mangku siapa yang bisa nerang. I Nyoman Klepon dalam perjalanan membisikkan
Gung Bongkrek bahwa ini adalah rumahnya Lampu Laser. Tapi Gung Bongkrek yang
sedikit bongol mendengarnya Mangku Lasan. Maka ia semangat, sambil ingin tahu
seperti apa goba atau wajah Mangku Lasan tersebut.
Sesampai
di rumah persewaan itu, mereka segera masuk ke sebuah ruangan yang tampaknya
seperti kantor. Gung Ngurah Bongrek menjadi heran, kok rumah balian seperti
kantor. Ia berpikir, mungkin ini adalah ruang administari balian. Ia pun semakin
penasaran karena balian yang dituju tersebut ternyata memilki manajemen modern
dengan menggunakan tenaga front office untuk menerima tamu.
I
Nyoman Klepon lalu memanggil Gung Bongkrek untuk diajak melihat barang ke
dalam. Ia terkejut melihat beberapa lampu besar besar ada di dalam ruangan
tersebut dengan berbagai macam ukuran dan jumlah banyak. Gung Bongkrek menjadi
bingung. Dan dalam kebingungannya ia berpikir bahwa Mangku Lasan kalau nerang
menggunakan bantuan lampu. Lalu Nyoman menjelaskan, bahwa tempat ini bukan
rumah balian tukang terang seperti yang diketahuinya, tapi ini adalah kantor
tempat penyewaan lampu laser untuk mengurai awan agar tak hujan. Biayanya
sesuai dengan kesepakatan hanyalah tiga juta rupiah per hari. Biaya ini jauh
lebih murah dibanding dengan sesari balian tadi yang sesarinya sepuluh juta
rupiah.
Nyoman
pun berbisik kepada Gung Bongkrek, “Ini bukan rumahnya Mangku Lasan tetapi,
Lampu Laser”. Barulah kemudian Gung Bongkrek mengerti bahwa dirinya diajak
untuk menyewa lampu laser. Mungkin secara di akal, ini lebih realistis, lebih
nyata, atau mungkin lebih ada kepastian. Sebab sinar lampu itu bisa diarahkan
langsung ke awan, sehingga bisa terurai dan tak hujan. Dibandingkan dengan tukang
terang, kita tak tahu apa jadinya, gemana jadinya, yang kita tahu hanya kemik
kemik dan tudang tuding, tak ada kepastian. Namun ini juga tak ada jaminan
seratus persen. Sebab sering pula tukang laser yang basah kuyup kehujanan. Yang
pasti manusia ingin memenuhi keinginannya.
I
Gede Ongol Ongol berkomentar lagi “Yah…. begitulah, manusia selalu ingin sesuai
dengan keinginannya. Manusia mencoba untuk merekayasa cuaca. Yah… bolehlah kalau
bisa…….. Tapi ingat semuanya adalah semuanya atas kuasa Hyang Kuasa. Manusia
hanya bisa memohon”. Yang paling sederhana menurut aku adalah lebih baik tidak
nerang, biarkan alam berjalan sesuai dengan hukumnya. Kalau hujan, lebih baik meembon alias berteduh. Atau kalau
memang harus beraktifitas saat hujan, maka gunakan mantel atau payung,….
Sederhanakan…. poloskan, dan mungkin ini adalah cara berpikir yang bebelogan alis tak ruwet”.
Demikian
koment akhir dari I Gede Ongol Ongol sambil bergegas mengenakan mantel, soalnya
hujan sudah mulai turun. Dan rembug pun bubar seketika.
No comments:
Post a Comment