Hentikan merombak pakem ! Hentikan
membelokkan pakem! Hentikan bereksperimen atas nama pakem ! Hentikan
pembangkangan terhadap pakem seni Bali ! Seniman Bali telah jauh dari pakem !
Seniman Bali Mesti Kembali Ke Pakem !
Seni
adalah kesabaran, seni adalah ketulusan, seni adalah persembahan, seni adalah
tapa brata dan yoga. Taksu seni ada pada kemampuan dari seniman untuk memenuhi
unsur pakem. Ketika sang seniman dihinggapi rasa pamrih dalam berkarya, berpacu
dalam waktu, maka senipun akan menjadi sebuah benda pabrikan sesuai dengan pesanan,
tak akan berumur panjang dan hampa.
Bagi
kalangan seniman Bali dan penikmat seni budaya Bali maka tak akan asing
mendengar tari panjembrama, margapati, legong
kraton, panji semirang, wiranata, kebyar duduk, kebyar trompong, oleg tamulilingan,
gabor, pendet, baris, jauk, teruna jaya, dll. Diiringi tetabuhan semara pegulingan, gong
kebyar yang semuanya merupakan mahakarya seniman Bali
masa lalu. Karya tersebut menjadi monumental sampai sekarang masih enak
dinikmati, sepertinya tak ada kata bosan. Padahal karya seni tersebut diciptakan
sekitar tahun tiga puluhan, tahun empat puluhan, tahun lima puluhan yang lalu. Sampai sekarang taksu dari karya seni tersebut masih
kuat, masih enak didengar, serta masih sedap dipandang mata.
Itu
adalah karya-karya seniman yang penciptanya sudah almarhum, namun karyanya
masih dapat dinikmati. Kemudian timbul pertanyaan, setelah itu mengapa tak ada
karya seni yang monumental lagi. Apakah tidak ada seniman yang berkarya?. Kalau
dibilang tidak ada seniman yang berkarya, justru yang menyebut diri sebagai seniman
sungguh sangat banyak. Apalagi disediakan oleh pemerintah sebuah lembaga formal
yang mencetak para seniman seperti di SMKI (SMK) dan STSI (ISI). Setiap tahun para seniman muda telah jebol (lulus)
dari lembaga ini.
Atau mungkin media
untuk berkarya bagi mereka tak ada? Ah kalau masalah itu, mungkin sekarang jauh
lebih mewah tempatnya dibandingkan dengan terdahulu. Sekarang banyak disediakan
tempat berkarya seperti taman budaya, kampus, sanggar-sanggar seni yang
bertebaran di berbagai tempat. Belum lagi setiap tahun pemerintah menganggarkan
sekian miliar rupiah hanya untuk menggelar hajatan yang bernama Pesta Kesenian
Bali yang konon merupakan perhelatan para seniman Bali
untuk menampilkan karya terbaiknya.
Setelah
lebih dari tiga puluh tahun berlalu, sampai saat ini tak ada sebuah karya
monumental yang muncul di kalangan seniman Bali.
Apa kira-kira yang menyebabkan? Padalah setiap tahun di setiap daerah
dianggarkan oleh pemerintah bagi para seniman untuk mencipta sebuah karya untuk
diadu dalam PKB.
Betul
para seniman dengan anggaran tersebut terangsang untuk berkarya dan mencipta. Banyak
yang berkarya mati-matian untuk menampilkan karya tari atau tetabuhan. Pertunjukan dibuat heboh, glamour,
dengan tata rias yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadilah sebuah
karya yang meriah.
Kemudian
setelah dilombakan, tari maupun tabuh tersebut sama sekali tak pernah terdengar
di masyarakat. Tak pernah ada yang mementaskan lagi. Ini artinya habis lomba,
buyar semua tanpa sisa. Padahal untuk membuat garapan tersebut memerlukan biaya
yang sangat besar dan melibatkan para seniman top di masing-masing daerah.
Bahkan terkesan bahwa tabuh atau tarian itu hidup ketika festival setelah itu
tenggelam ditelan bumi. Tak salah kalau masyarakat menilai bahwa dalam dua dekade
ini memunculkan banyak “seniman proyek” (maaf). Seniman berkarya sesuai dengan pesanan
dengan dana tertentu untuk tujuan tertentu. Ada yang untuk kegiatan promosi,
politik, dll. Bahkan seringkali kita lihat lomba tari digelar di sebuah mall.
Sudah tentu hal ini tak nyambung. Karena seni Bali itu memiliki nilai
tersendiri dan memiliki kesakralan tersenddiri dan memiliki panggung
tersendiri, yakni panggung tradisonal yang berbaur dengan adat, agama, dan
sudah tentu alam lingkungan.
Demikian pula dengan
karya seni yang merupakan karya akhir dari para seniman muda sebagai
persyaratan kelulusan. Semuanya akan hidup pada hari yang diperlukan saja.
Setelah itu nak kenken nak sing (nggak
urus).
Lagi-lagi
muncul pertanyaan, kenapa karya tersebut menjadi sirna begitu saja, tak
berumur? Padahal karya mereka tersebut telah dirancang sedemikian megah,
sedemikian meriah?
Di
balik karya besar yang glamor tersebut ternyata sama sekali tak memiliki taksu (aura magis/daya tarik/karisma). Karya
tersebut tampil hambar tanpa pesona. Apa yang kurang dari karya tersebut?.
Padahal para seniman penciptanya telah nyejer
daksina untuk nunas kehadapan Ida Betara Taksu agar karyanya menjadi ber-taksu.
Kok tak mempan. Lagi-lagi ada apa dengan karya-karya tersebut?
Setelah
dilihat, dirasakan, kemudian dibanding-bandingkan dengan karya yang monumental
tersebut, rupanya ada satu hal kunci yang telah dilanggar oleh para seniman
saat ini. Hal tersebut terkait dengan tata aturan yang disebut dengan pakem. Pakem mungkin dapat diartikan
sebagai sebuah sepat siku-siku/uger-uger
atu suatu pedoman bagi seniman dalam berkarya. Uger-uger ini, kalau diandaikan manusia maka ia adalah manusia yang
utuh dengan kepala, badan, kaki dan tangan. Kalau dalam alur waktu maka ia
adalah pembuka, isi, dan penutup. Ketika uger-uger/pakem
ini dapat dipenuhi, barulah sebuah karya menjadi sesuatu yang lengkap, indah
dipandang mata dan enak didengar.
Bandingkan
dengan sebuah karya yang tak mengikuti pakem,
maka ia akan tampak seperti seorang manusia yang tak sempurna misalnya tak
berkepala, tak berbadan atau tanpa tangan. Maka ia tak akan cantik dipandang
dan tak enak didengar. Demikian kalau diumpamakan.
Mungkin pada saat
ini para seniman yang mencipta karya tersebut didasarkan atas sebuah emosi yang
berlebihan. Emosi tersebut bisa muncul karena adanya sebuah persaingan di antara
seniman, atau disebabkan karena motif ekonomi dalam hal ini adalah ada sebuah
proyek sesuai dengan pesanan. Sedangkan kalau dibandingkan dengan seniman pada
masa lalu bahwa para seniman berkarya bebas dari motif ekonomi, mereka berkarya
dengan jiwa dan hati nuraninya, dilandasi kesabaran, mengadospsi keindahan alam,
sehingga menjadilah sebuah karya yang fundamental. Yang penting lagi, sang
seniman tak pernah dibatasi oleh durasi waktu. Ia bebas berekspresi dalam ruang
lingkup pakem. Sehingga memunculkan karya seni berdurasi pendek namun menaarik,
atau karya seni berdurasi panjang namun tak membosankan. Semua pakem dalam
sebuah karya seni dipenuhi, munculah ia sebagai sebuah karya seni yang indah
dipandang dan enak di dengar, sehingga menjadi sebuah karya yang fundamental
dan monumental, menjadi legenda seni, dan disukai sepanjang masa. Menjadilah
sebuah karya yang metaksu.
Ternyata taksu yang diimpikan oleh seorang
seniman terletak pada bagaimana sang seniman berkarya dalam ruang lingkup pakem.
Seseorang
seniman yang merombak pakem kemudian memunculkan sebuah karya besar dan banyak
diminati oleh masyarakat, karena hal ini dianggap sebuah hal yang baru oleh
masyarakat. Namun perlu diingat bahwa sesuatu yang baru yang tak mengikuti
pakem hanya akan berumur pendek dan segera ditinggal penggemarnya.
Bandingkan
dengan seniman terdahulu yang berkarya dengan emosi yang stabil. Didahului dengan
perenungan yang panjang untuk mendapatkan ide, kemudian mencari pola gerakan
sesuai dengan pakem seni, dengan sabar memadukan dengan unsur alam, sehingga
akan menjadi sebuah karya yang mendekati sempurna.
Seniman dahulu
berkerja berdasarkan tattwa atau
filsafat yang benar-benar dipahami. Mohon maaf, saat ini banyak seniman hanya
mencipta sebuah tabuh atau tari namun sayang sekali tidak diimbangi dengan pemahaman
filosofis dari karya yang dibuatnya. Boleh dikatakan karya tersebut menjadi sebuah
karya seni yang kering akan makna, dan lebih menampilkan atraksi sebagai sebuah
kepiawaian dalam memainkan sebuah alat musik gambelan, atau menari dengan
tampilan tat arias dan tata busana yang dibuat sedemikian rumit, yang
mengesankan tampilan tersebut menjadi “runyam”.
Ada lagi bahwa seorang seniman
saat ini membuat karya yang sudah merombak pakem, kemudian berusaha ia menampilkan
sebuah karya yang rumit agar kelihatan hebat dan dengan faktor kesulitan yang
tinggi sehingga tak banyak yang bisa meniru, dengan harapan akan mendapat nilai
banyak dan menang dalam festival. Demikian pula kalangan seniman banyak yang
berkarya atas emosi yang berlebihan sehingga kelihatan moce / merengesan dalam artian variasi yang ditampilkan terlalu berlebihan.
Dan saking emosinya untuk menciptakan variasi, sangat sering sang seniman
menjadi keluar dari pakem. Menjadilah ia sebuah kesenian yang kurang memiliki
makna, berbau kontenporer dan terkesan di beberapa sisi meniru dari karya yang
sudah ada sebelumnya.
Kalau
dari segi potensi, saat ini kemampuan para seniman jauh lebih bagus
dibandingkan dengan seniman terdahulu. Seandainya saja para seniman saat ini
mau berkarya dalam ruang lingkup pakem,
didasari atas tattwa, berlandaskan ketulusan, memiliki kesabaran, maka akan muncul berbagai macam karya seni yang memiliki
taksu yang kuat. (Ki Buyut Dalu).
No comments:
Post a Comment