I Lengut Nonton Calonarang
Dulu ketika I Lengut masih kecil,
yang namanya Calonarang itu sangat jarang terdengar. Orang takut membicarakan
calonarang, apalagi melakoni. Orang menonton dengan was-was, apalagi menjadi
pregina calonarang. Artinya Calonarang jaman itu sangatlah membikin bulu kuduk
merinding, membuat bayangan orang pada kengerian dengan sosok-sosok menyeramkan,
sekaligus mengantarkan pikiran mereka kepada orang-orang yang sakti akan
bertarung kedigjayaan. Tak berani orang menggelar drama tari calonarang, karena
beresiko bagi penari, bagi penonton, dan bagi wilayah tersebut. Demikian
pikiran jaman itu.
Namun sangat berbeda keadaannya
dengan satu dekade terakhir ini. Calonarang yang dulunya angker dan menakutkan,
kini sangat populer, sangat digandrungi. Setiap saat kita dengar orang
mementaskan calonarang, atau lakon yang lain seperti Balian Batur, Basur, dll. Setiap
dipentaskan model mistik, selalu dipadati penonton dari desa bersangkutan
bahkan desa-desa yang jauh. Entah mereka tahu darimana, yang jelas pentas calon
arang itu menjadi trend.
Anehnya lagi, penonton yang datang
biasanya berjubel mulai sekitar jam sepuluh atau menjelang tengah malam.
Padahal pentas sudah mulai jam delapan. Ada apa dengan penonton?. Ternyata
mereka lebih suka menonton adegan yang seram-seram, seperti matah gede (walunateng dirah, atau tokoh yang memerankan tokoh liak. Mereka
ingin tahu siapa yang menjadi balian sakti, balian bogbog, siapa yang menjadi bangke matah, siapa yang menjadi pandung, siapa yang nyaluk rangda, dll. Berapa ada rangda, bagaimana yang ngundang liak,
siapa saja yang diundang, terus kejadian apa yang terjadi saat itu, dll.
Artinya penonton hanya melihat aspek mistik dari pertunjukan itu. Penonton akan mengukur dan
membandingkan calonarang mana yang paling seram, siapa yang paling medengen sebagai pemeran calonaranang,
siapa yang paling berani ngundang liak, dll. Artinya penonton akan menilai
tingkat sensasi mistik dari pertunjukan itu. Semakin seram, semakin berani, dan
semakin hebat sensasi dalam pertujukan tersebut, maka nilai calonarang itu akan
semakin seram dalam apresisi penonton. Artinya pula penonton semakin senang.
Di desanya I Lengut yang terletak
di tengah kota, terdapat komunitas penggemar calonarang. Seratus persen mereka
adalah orang-orang muda dengan tingkat pendidikan yang beragam, dari tamatan
SMP sampai mahasiswa. Mereka lahirr dalam dunia modern, dalam situasi yang
sudah serba elektrik dengan teknologi canggih. Mungkin karena darah “Bali Totok”
yang kental mengalir dalam tubuhnya, justru mereka sangat menyukai pertunjukan
calonarang dengan nuansa magis yang kental. Komunitas penggemar calonarang ini menonton
calonarang sampai ke tempat yang jauh seperti Gianyar, Bangli, Badung, Tabanan,
Karangasem, dll. Mungkin karena hobi… Padahal mereka-mereka itu bukanlah orang penekun
spiritual, bukan pula suka dengan benda-benda gaib. Mereka cuma suka menonton,
untuk kepuasan rohani yang haus dengan dunia mistik.
Fenomena mistik ini telah
menggejala di seluruh masyarakat Bali. Pertunjukan calonarang menjamur
dimana-mana. Setiap desa ada calonarang. Bahkan suatu hari ada pementasan calonarang
di beberapa tempat di Denpasar, sehingga penggemarnya menjadi “paling”, mana
yang harus ditonton. Disamping itu pula, sensasi yang ditampilkan dalam pentas
calonarang pada saat ini semakin menjadi-jadi. Kalau dulu penari hanya berani
mengundang sebentar dan hanya terbatas pada wilayah tertentu. Namun kali ini
banyak yang membuat sensai dengan mengundang liak seluruh Bali, seluruh
Indonesia, dan seluruh dunia. Bahkan ada yang menundang jauh hari sebelumya
dengan menyebar menyebar famplet, bikin baliho, dan menyertakan nomor HP. Kalau mengundang dari desa sebelah masih mugkin
terjangkau waktunya kalau liak yang diundang mau datang. Tapi kalau leak
seluruh Bali, seluruh Indonesia dan seluruh dunia, pastilah mereka terbatas
waktu. Belum lagi tiket pesawat untuk datang. Ya kalau leaknya punya uang untuk
beli tiket. Itu artinya itu hanya sensai, sebab tak mungkin leak yang diundang
itu akan datang pada malam itu.
Ada juga si pemain ngundang leak
begitu berani “liak… ne amah cang. Yen sing bani, panakne masih
dadi, kurenane dadi” (Liak…. Makan aku, kalau tak berani makan anakku, atau
istriku). Demikian si pengundang leak tersebut dengan sesumbar memperlihatkan kehebatan
dirinya. Tapi I Lengut menjadi merinding mendengarnya. Liak pasti tak akan
datang atau unjuk gigi pada malam itu. Sebab pentas terjadi di pura, tak
mungkin liak akan berani datang ke pura. Pentas atau acara ngundang dilakukan
di atas panggung dengan sinar lampu yang terang, dan penonton yang banyak,
belum lagi ada sekaa gong, mana berani liak sama orang banyak sama lampu, dan ramaenya
suara gong. Tak mungkin! Liak pastilah akan bermain di tempat yang sepi, gelap,
dan rahasia. Artinya si pengundang tersebut tak perlu harus menjajakan nyawa
dari anak dan istrinya. Ya kalau anak dan istrinya seteguh atau seberani
dirinya. Kalau tidak, pastilah ia akan menjadi sasaran dari sesumbar orang
tuanya. Sebaiknya jangan, itu namanya ila-ila
dahat. Sebab masih ada hari besok. Karena liak pasti berpikir “sing bakat jani buin mani jumunin. Sing
bakat lemahne, jeg petengne amah nas ne” Artinya liak akan berpikir tak
berhasil sekarang, besok diulang lagi. Tak berhasil siang hari, kita hajar pada
malam hari. Demikian kira-kira pikiran para liak yang diundang itu.
Yang paling sering lagi bahwa
acara ngundang molor sampai melebihi jam satu dini hari. Artinya adegan ngundang
dan bangke matah keluar sekitar jam
dua atau jam tiga. Suasananya sudah pagi. Liak yang diundang kayaknya sudah
tertidur pulas, atau mungkin leaknya sudah nyuwun
keranjang ke pasar untuk berdagang. Entah hal ini disengaja atau tidak.
Sebab untuk menyatakan diri berani, maka mengundang sejadi-jadinya, namun hari
sudah subuh. Sama artinya dengan mengundang orang yang sudah tak ada di tempat.
Namun apapun dikata, undangan sudah dijalankan. Para leak pasti akan datang,
tak boleh tidak. Sebab sudah hukumnya, kalau diundang pasti datang dan
diladeni. Cuman tinggal mengatur waktu, mengatur jadwal, dll. Demikian pendapat
I Lengut yang suka mengamati pementasan berbau mistik.
Pernah juga I Lengut melihat
pentas calon arang menggunakan anak-anak untuk mengundang leak. Padahal kalau
dilihat dari umur, sepertinya anak tersebut belum tahu apa yang diperankannya itu.
Yang seperti ini mestinya perlu untuk dipertimbangkan agar jangan anak-anak
menjadi korban sesumbar orang tuanya demi untuk membuat pertunjukan menjadi
lebih sesasional. Anak jangan dipakai coba-coba atau dipakai permainan
berbahaya seperti ini. Miris I Lengut melihatnya.
Bahkan yang paling mutakhir, ada
bangke matah yang dikubur selama empat jam di setra. Walaupun tidak diurug
langsung dengan tanah, dan peti yang digunakan ukuran cukup lebar untuk bisa
bergerak leluasa di dalamnya. Tapi ini sudah mengundang ribuan penggemar mistik
untuk datang menonton. Setra bagaikan pasar malam. Kesan angkernya mungkin
berkurang akibat banyak penonton yang lalu lalang. Tapi itulah bangke matah,
selalu membuat orang penasaran. Kembali I Lengut mengurut dada sambil terheran
heran.
Pentas calonarang sekarang semakin
berani dengan menggunakan bangke matah
atau bangke-bangkean. Dahulu, ketika masyarakat
masih memegang prinsip ila-ila dahat,
jarang menggunakan bangke-bangkean. Kalaupun ada, yang digunakan adalah boneka
bayi. Namun sekarang beda, betul-betul menggunakan orang yang masih hidup
diperlakukan seperti orang mati kena grubug
dimakan liak. Kemudian salah seorang
dari mereka mengundang liak untuk memakan bangke
matah tersebut, untuk mintonin kesaktiannya. Ila-ila dahat, demikian I Lengut.
Bahkan untuk kasus ini, sekarang
bangke matah tak cukup satu, ada yang pakai dua, tiga, empat, lima, bahkan ada
yang memakai delapan bangke matah.
Dari golongan anak-anak, dewasa, bahkan dari golongan perempuan. Hebat sekali
dan menghebohkan sekali pertunjukan tersebut. Demikian I Lengut. Cuman I Lengut
kembali bisa berkata dalam hati “ila-ila dahat”.
Setelah mengamati sekian lama,
dengan cara menonton dan terlibat langsung dalam pentas calonarang, rupanya ada
kesamaan antara masyarakat penonton dengan pregina. Penonton terpuaskan hatinya
dengan suguhan mistik yang sensasional, sedangkan para pregina terpuaskan hatinya
untuk menari, demikian juga para jawara
yang biasanya di posisi pengabih
merasa handal dengan kemampuannya, karena dari sekian undangan yang disampaikan
dalam pentas tersebut tak ada yang menanggapi, tak ada tantangan atau tak ada
tanggapan dari liak yang diundang.
I Lengut juga berpikir, sepertinya
liak-liak yang diundang tersebut mungkin sudah bosan mendapatkan undangan
itu-itu saja, dengan menu itu-itu saja. Karena saking seringnya, menyebabkan
malas datang. Atau mungkin undangan yang begitu aeng itu hanya dianggap suatu olok-olok oleh para liak. Para liak
mungkin juga mengetahui bahwa undangan itu hanyalah sekedar pentas, hanya untuk
hiburan, dan tak perlu ditanggapi serius. Jadi liak yang ada sekarang
sebenarnya sudah lebih bijaksana, sehingga bisa memilih dan memilah mana yang seken (serius) dan mana yang uluk-uluk (boong-boongan). Karena liak tahu, bahwa para pregina yang koar-koar
itu hanyalah ia ngayah di pura. “Biarkan orang ngayah”. Kira-kira begitu
pikiran I Liak di rumahnya. Sehingga apapun aeng undangannya di atas panggung,
tetap aman-aman saja. Demikian I Lengut mencoba untuk mengingat pentas-pentas
calonarang yang pernah ia tonton.
Setiap pertunjukan calonarang atau
penyalonarangan, kini disertai dengan inovasi dan kreasi untuk meningkatkan
tampil magis dari pertunjukan. Ada ada saja yang baru baik secar kualitas
maupun kuantitasnya. Barangkali makin lama makin terkungkung pikiran para
penggemarnya dengan pola pikir magis, sehingga mengurangi bahkan menghilangkan
daya nalar dan logika penggemarnya.
Sekali lagi, ngundang liak di atas
panggung hanyalah sensasi seni sebuah pertunjukan agar lebih menarik, walaupun
sedikit nyerempet-nyerempet. Namun yang lebih penting dari semua itu bahwa
semua cerita, semua sensasi, semua heboh-heboh yang dipertunjukan hanyalah
merupakan pendahuluan untuk sampai pada acara pokok yakni Ida Betara Sesuhunan mesolah, napak siti, macecingak dan
memberikan anugrah kesejahteraan kepada seluruh damuh (umat). Hanya itu tak
lebih…
(ki buyut dalu / kanduk) #OriginalArtikelByKanduk
No comments:
Post a Comment