kanduksupatra.blogspot.com.
Salahkah….? Sejatinya tak ada yang salah. Tak ada yang menyalahkan. Tak ada
yang perlu disalahkan. Tak mungkin kita menyalahkan walaupun ada kalangan yang
mempermasalahkan. Kenapa…..?
Peradaban sudah berkembang jauh dan semakin
mencari bentuknya sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dunia saat ini
yang didominasi oleh teknologi informasi. Tak ketinggalan dalam kehidupan sosial,
adat dan keagamaan di tanah Bali yang konon masih eksotik. Eksotis prilaku dan
budaya masyarakat Bali kini ditantang oleh peradaban modern.
Fokus perhatian kali ini adalah
perkembangan gebogan atau banten tegeh yang dibuat sebagai
persembahan kehadapan Leluhur, Ida Betara Betari, Dewa Dewi sebagai rasa syukur
dan simbol ketulusiklasan. Sebagaimana layaknya dari gebogan pada awalnya didominasi oleh jajanan bali seperti jaja begina, jaja uli, gipang, satuh, iwel, apem, tape dirangkai
dengan buah-buah lokal seperti pisang, manggis,
sabo, silik, nyambu, mundeh, sotong, sentul, semaga, jeruk bali, manas, poh, bahkan buah-buhan langka seperti batulampe, serta potongan tebu manis,
dll.
Sejalan dengan perkembangan jaman disertai
dengan kelangkaan dari buah lokal akibat kalah saing dan kalah rasa dengan buah
impor, maka keberadaannya tergeser. Kini di atas dulang banten gebogan didominasi buah impor seperti apel berbagai merk, jeruk berbagai merk import, per, sankis, markisa, kiwi, anggur, buah naga, dll. Demikian juga dengan
jajanan lokal sudah tergeser, didominasi oleh
produk modern seperti roti-roti, bolu, ciki-ciki, coklat, pancake, jajan
pabrikan lainnya. Yang menarik perhatian adalah banten gebogan kini dilengkapi dengan
minuman - minuman sof dring seperti pocari
sweat, teh kotak, coca cola kaleng, sprite kaleng, fanta, bahkan bir, yakult,
minuman pabrikan lainnya. Memang dirangkai bagus dan indah, tanpa menghilangkan
komponen pokok dari banten tersebut seperti nasi, lauk pauk bali, sampian,
tumpeng, tape, bantal, dan kelengkapan lainnya.
Rangkaian gebogan tersebut mengingatkan
kita ketika hari raya umat lain atau tahun baru yang biasa diwarnai dengan kiriman
parsel kepada teman, kerabat dan pejabat. Mungkin kejadian ini dapat
dianalogikan gebogan ini menyerupai
parsel. Sehingga banyak yang nyeletuk bahwa banten yang dibuat itu bagikan
parsel. Jadi yahhh… “Parsel untuk Ida Betara”.
Salahkah….? Sejatinya tak ada yang
salah. Tak ada yang menyalahkan. Tak ada yang perlu disalahkan. Tak mungkin
kita menyalahkan walaupun ada kalangan yang mempermasalahkan. Kenapa..? Ketika
berbicara tentang Bali, apalagi yang eksotis, ketika kita berbicara tentang
budaya, ketika kita berbicara tentang Hindu di Bali, maka sudah tentu ada
kearifan-kearifan lokal. Ada nilai-nilai lokal. Ada pakem-pakem atau ketentuan lokal.
Serta ada pula produk- produk lokal. Dari kelokalan tersebut akan melahirkan
bentuk, melahirkan produk yang bersifat lokal pula yang memiliki karakteristik lokal
pula. Saat itulah norma - norma memiliki tempat. Maka pada saat itulah budaya
menampakkan wujudnya. Dan pada saat itu pulalah nilai-nilai Hindu Bali memberi makna.
Artinya bahwa gebogan sebagai persembahan, sarana pemujaan, serta simbol ketulusiklasan
mesti mencerminkan atmanastuti, rasa
dari si pembuatnya.
Bali memang kreatif. Tapi kearifan
lokal, nilai – nilai dan pakem mesti tetap dijaga sambil memberdayakan produk
lokal. Yah…. peradaban memang selalu mencari bentuknya dari jaman ke jaman. Ampura.
(kanduksupatra.blogspot.com. Ki Buyut Dalu).
#OriginalArtikelByKanduk
#OriginalArtikelByKanduk
No comments:
Post a Comment