Monday, May 2, 2016

Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. (7). SIWA – BUDDHA BHINEKA TUNGGAL IKA





          Dalam kongres Ilmu Pengetahuan Nasional yang diadakan di Malang tanggal 3-9 Agustus 1958, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menyajikan makalah berjudul “Pengertian Siva-Buddha dalam Sejarah Indonesia”. Makalah yang disajikan dengan landasan ilmiah ini sangat perlu kita baca secara seksama untuk dapat memahami bagaimana proses terjadinya “kemanunggalan” antara Siva dan Buddha di Indonesia khususnya di Bali, tetapi juga bagaimana landasannya. Memang para arkeolog senantiasa tercengang melihat Borobudur dan Prambanan yang tiada tara itu sebagai warisan budaya agama yang dibangun pada waktu yang hampir bersamaan. Selanjutnya hadirnya karya sastra Kakawin Sutasoma buah karya Mpu Tantular dari masa kejayaan kerajaan Majapahit, di mana didalamnya kita dapat membaca pernyataan tentang “Kemanunggalan Siva dan Buddha” yang kemudian menjadi motto bangsa Indonesia(Bhineka tunggal ika). Dan kemanunggalan itu terjadi sampai sekarang di Bali
         Prof. Mantra mengawali makalah dengan menyatakan bahwa sangatlah menarik perhatian kita untuk mengetahui perkembangan dari kedua agama yaitu Siva- Buddha. di Indonesia dalam sejarahnya di Jawa Timur. Pertumbuhan hubungan kedua ini lalu menjadi satu, yaitu Siva-Buddha. Mulai dari permulaan sejarahnya pada waktu Bhudiesme datang ke Indonesia adalah rapat sekali hubungannya dengan Sivaisme yang sudah datang lebih dahulu. Akhirnya dalam sejarahnya di Jawa Timur kedua agama tersebut lalu menjadi tunggal.
          Catatan singkat ini tidak bermaksud mencatat uraian teknis dan sistematis tentang agama Siwa (dalam hal ini Siva Siddhanta) dan agama Buddha (dalam hal ini Buddha Mahayana) yang disuratkan dalam tulisan tersebut tetapi hanya mencatat hal-hal umum saja.
           Dapat kita pahami bahwa tidaklah mudah untuk menyatukan dua agama, Siva dan Buddha, Jika tidak terdapat suatu persamaan dan juga keharmonisan antara dua agama tersebut. Dan ini telah dapat ditunjukkan mengenai susunan dari kedua ilmu ketuhanan dari agama-agama tersebut. Dan di samping itu dengan sendirinya juga harus ada suasana hubungan yang baik antara dua agama tersebut. Di samping itu keduanya pada prinsipnya erat sekali, meskipun ada perbedaan yang mana sebenarnya pada jiwa keagamaan tidak ada.
          Bahwa Siva-buddha adalah merupakan suatu yang tunggal (Jinatva Lawan Sivatatva tunggal) dapat di buktikan dari keterangan-keterangan mengenai kebenaran dari kedua agama ini. Dalam kitab Bhuwana Sangksepa yang bercorak Siva terdapat keterangan mengenai keadaan Parama-Tattwa adalah “kebenaran” yang tertinggi dalam agama Siva. Dalam kitab tersebut diuraikan pula bahwa pada tingkatan Parama-tattwa keadaannya disebut moksa., yang berarti pembebasan dari semua ikatan serta meniadakan segala bentuk dan paham (ideas). Dan dalam mengupas selanjutnya tentang keadaan moksa, maka moksa diuraikan sebagai “niratmakah” (tidak ada Jiwa). Cara analisa semacam ini adalah juga merupakan cara analisa Buddhis. Jadi keterangan ini memperkuat dugaan kita bahwa pada tingkatan Niskala (transcendental) Siwa-Buddha adalah merupakan kebenaran yang tunggal.
          Dalam kitab Bhuvana Kosa diterangkan suatu keadaan Sunya dan Nirwana yang dianggap sebagai moksa, yang mana adalah wisesa dan disebut Siva. Jadi itu adalah suatu keadaan Siva. (…hana ta papa sunya ya sinangguh kamoksan, nga. Wisesa ya, ya Siwa ngaranya, sunyasca nirbanadhikasciwanggatwe…) orang mungki mengira di sini terjadi kekacauan pemakaian istilah. Nirvana bukanlah hanya dipakai oleh Buddhis, tetapi juga bisa dipakai dalam kitab-kitab Hindu lainnya, Seperti umpamanya dalam Bhagawadgita.
          Jadi cukup jelas bagi kita bahwa adanya persamaan dari susunan ilmu ketuhanan dari Siva dan Buddha. titik pertemuan tersebut terjadi pada tingkatan yang disebut “niskala”.
          Pada bagian lain Prof. Mantra menegaskan bahwa akan lebih mudah kita dapat melihat jalannya proses persatuan Siva dan Buddha ini, Jika kita kembali pada dasar filsafat keduanya. Mungkin kita tidak demikian menyadari bahwa Buddha menerima jalan pikiran dari Upanisad yang menjadi sumber pengetahuan kejiwaan dari kerkembangan Hinduisme sesudahnya, termasuk Sivaisme, Jadi dasar cara berpikir sebenarnya, buddhisme bukan merupakan suatu falsafah yang baru atau yang besar bedanya dengan Upanisad.
         Namun dijelaskan pula bahwa persatuan siva Buddha kalau ditilik secara mendalam adalah mempunyai corak ke Indonesiaan, Sebagaimana di terangkan oleh Dr. Rasser di mana cerita setempat (Bubuksah) dapat memberi pengaruh jalannya perkembangan sejarah persatuan dari Siva dan Buddha. Sifatnya persatuan antara Siva dan Buddha dimana Buddha adalah saudara yang lebih muda dari Siva tidak terdapat di tempat-tempat lain.
          Akibat dari pengaruh pandangan ini adalah besar sekali hubungan kedua agam ini. Siva dan Buddha, yaitu hubungan yang erat dan kekeluargaan. Umpamanya pada upaca keagamaan yang besar di Bali kedua pendeta, Yaitu Siva dan Buddha turut ambil bagian, dan ini dipandang tidak sempurna, apabila kedua-duanya tidak hadir. Ini tidak mungkin terjadi di India, meskipun umpamanya Buddha dianggap sebagai avatara dari Visnu, jadi pada dasarnya Visnu adalah sama dengan Buddha. Keadaan di Indonesia ialah bahwa di sini kedua agama itu lebih erat dan lebih kekeluargaan hubungannya dalam masyarakat, yang disebabkan oleh pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri.
          Akhirnya pernyataan yang kita kutip berikut ini kiranya merupakan pengejawantahan dari tingkat pemahaman dan pengahayatan yang tinggi terhadap ajaran Siva dan Buddha : apan tiwas juga sirang muni Buddha paksa, yan tan wruhing paramatattwa Siwatma marga. Mangkang munindra sangapaksa Sivatwa yoga yan tan wruhing parama tattwa Jinatwa manda. : Karena dianggap kurang sempurna bila seorang pandita Buddha tidak mengetahui ajaran Siva (Hindu) dan sebaliknya pendeta Siva tidak mengetahui ajaran Buddha”. 

No comments:

Post a Comment