Dari Karangasem sampai Jembrana, dari
Buleleng sampai Badung, dari Lombok sampai di Jawa, pola pemugaran pura sama
persis. Bentuk dan bahannya sama. Kekhasan dari masing-masing daerah dan kekhasan
pura terlupakan.
Pura adalah
benteng agama, benteng spiritual, tempat sembhayang. Pura memiliki fungsi sosial sebagai tempat
pendidikan khususnya agama Hindu, dan tempat melakukan interaksi sosial
lainnya.
Oleh nenek
moyang, pura selalu dibangun di tempat yang memiliki persyaratan tertentu
sebagai tempat suci. Tidak sembarang tempat. Memperhitungkan aspek tempat,
waktu atau dewasa, dan aspek bentuk. Pura dibangun ditempat yang indah, dengan
suasana yang mendukung untuk melakasanakan hubungan dengan Hyang Kuasa. Ukuran,
bentuk dan kedudukan masing-masing pelinggih dibuat disertai pengurip tertentu.
Sehingga betul-betul banguna pura tersebut menjadi hidup atau berkharisma
sesuai yang termuat dalam lontar asta bumi. Dari segi waktu pura dibangun
memperhitungkan dewasa yang baik. Sedangkan aspek bentuk sudah tentu sesuai
dengan status dan fungsi pura, serta filsafat atau mitologi yang menyertainya.
Pelinggih dibuat dengan ukuran atau sikut-sikut dan pengurip tertentu yang
menyebabkan pelinggih tersebut nantinya menjadi lebih bercahaya sebagai stana
dari Hyang Parama Kawi. Demikian pula dengan banyaknya pelinggih yang ada dalam
sebuah pura.
Pura dibangun
telah memperhitugkan aspek sekala dan niskala. Ketika bangunan sebua pura sudah
selesai, kemudian dilakukan penyucian dengan berbagai ritual upacara dalam
berbagai tingkatan. Sehingga bangunan tersebut dikatakan sebagai tempat suci.
Suatu tempat yang selalu dijaga kesuciannya dengan menjauhkannya dari pikiran,
perkataan dan perbuatan kotor. Dijauhkan dari keletehan atau pantangan. Sehingga
pura tidak saja sebagai tempat ibadah, tetapi ia juga merupakan tempat suci.
Karena sebuah tempat ibadah, belum tentu ia adalah sebagai tenpat yang suci.
Konsep
pembangunan pura telah berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan Ista
Dewata dari pura tersebut. Konsep sebelum Mpu Kuturan, pada masa Mpu Kuturan,
dan setelah Mpu Kuturan. Namun yang terasa sampai sekarang adalah konsep yang
dituangkan oleh Mpu Kuturan. Dengan Konsep Kayangan Tiga, Kayangan Jagat,
Pemrajan, Tri Mandala, dan lain-lainn.
Konsep tersebut
semakin berkembang di tengah masyarakat Bali. Dan dalam perkembangan tersebut
telah melahirkan berbagai kekhasan dari masing-masing daerah. Seperti misalnya
di daerah Badung dan Denpasar yang sumber daya alamnya adalah tanah, maka bahan
dasar dari pembuatan bangunan pura, dari bahan batu bata. Kemudian untuk daerah
Gianyar adalah kombinasi dari batu padas dengan bata merah. Daerah Karangasem
yang melimpah dengan bahan dasar batu lahar hitam, maka bahan bangunan pura
disesuaikan dengan bahan yang ada.
Kemudian yang
lebih spesifik lagi misalnya di daerah Sanur dan Serangan yang di pinggir
pantai, maka bahan dasar pembangunan pura adalah karang laut yang berwarna
putih dan artistik. Untuk daerah Bukit Ungasan dan Jimbaran bahannya lebih
banyak terbuat dari batu kapur yang ada di sana.
Kesemuanya itu
telah menyesuaikan dan menyatu dengan alam dan memiliki kekhasan tertentu.
Semua itu terasa iklas dan tulus, tidak dipaksakan. Kekhasan itulah yang
menjadi taksu Bali kalau dilihat kasat mata.
Pura dibangun
sebagai rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Wihi Wasa. Pura juga sebagai
tempat melakukan sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi.
Sehiongga dengan demikian, fungsi pura adalah sebagai benteng spiritual,
berperan sangat sentral dalam kehidupa agama Hindu. Dalam mewujudkan rasa
bhaktinya kehadapan Hyang Widhi Wasa, umat Hindu kini sedang kecanduan
memperbaiki perahyangan Ida Betara. Pura yang tadinya rusak, kini berdiri
megah. Kita pun bersyukur dengan bangkitnya semangat tersebut.
Namun dalam
gerakan renovasi pura di Bali, tampaknya ada beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian kita bersama. Dimana sepanjang pengamatan dalam pembangunan pura,
rupanya sudah ada beberapa konsep leluhur yang sudah kita tinggalkan. Konsep
tersebut adalah: ngayah. Semuanya dilakukan dengan tulus, baik itu dana
maupun tenaga. Yang kedua adalah sumber daya alam. Pembangunan pura yang
dilakukan sekarang adalah samarata semua bahannya. Kecenderungan sekarang
adalah menggunakan batu lahar hitam.
Pura yang tadinya menggunakan batu karang laut putih, karang bukit, atau batu
bata, diganti dengan batu hitam. Semuanya serba hitam. Pura-pura yang ada di
Bukit, di Sanur, atau di Denpasar hampir semuanya hitam. Meniru bahan yang ada
di Besakih atau Karangasem. Demikian pula dengan pura-pura yang ada di Gianyar
yang menggunakan bata dan padas, kini sebagian beralih menggunakan batu hitam.
Kalau kita lihat
dari Karangasem sampai di Jembrana, maka semuanya hampir sama. Kekhasan pura
sudah hampir pudar. Secara tidak sadar bahwa gerakan membangun pura menjadikan
penyeragaman pura. Dari konsep ruang yang ada, pura kini sudah banyak yang,
diperluas sesuai dengan kebutuhan. Yang diperhitungkan adalah daya tampung
ketika melakukan pujawali. Ada pura yang diperlebar sampai sekian kali lipat
dari yang aslinya. Itu pun wajar sesuai dengan kebutuhan. Namun yang jadi
pertanyaan, sudahkah pelebaran tersebut memiliki makna. Bahwa setiap pelebaran
tersebut harus diikuti pergeseran. Semua letak pelinggih dan luas areal pura
tersebut telah menurut perhitungan sikut atau ukuran dengan pengurip. Apabila
urip-urip tersebut telah sesuai maka pura yang dibangun akan memancarkan aura
suci. Nah bagaimana dengan sikut pelebaran masa kini. Sudahkah sesuai dengan
sikut yang tertuang dalam asta bumi.
Pembangunan pura
yang ada saat ini hanyalah mengejar kemegahan dari pura. Yang menjadi
pertanyaan, sudahkah sebuah pura direhab sesuai dengan fungsi, status, dan
kepantasan dari sebuah pura. Karena seringkali kita melihat pura sebuah
keluarga jauh lebih megah, lebih mewah dari pura kayangan tiga. Belum lagi
situasi kejiwaan yang mendasari pembangunan pura tersebut yang penuh dengan
persaingan atau emosi, egoisme. Seolah-olah pura yang dibangun harus lebih
besar, lebih megah dari pura yang lain. Bahkan ada sebuah pura yang dibangun
megah, kemudian beberapa tahun dibongkar lagi. Padahal semua masih dalam
keadaan kokoh, diganti dengan yang baru.
Dengan kekuatan
dana yang ada, telah melumpuhkan kekohohan dari bangunan stana Ida Betara.
Sepertinya emosi atau sikap berlebihan dalam mewujudkan rasa bhakti kehadapan
Ida Betara. Kalau semua itu didasari bhakti yang tulus, baguslah. Tetapi kalau
itu hanya bhakti yang didasari emosi, apalagi persaingan, ditambah materi yang
dipakai berasal dari hal tidak karuan. Sudah tentu ini akan justru menodai dari
bhakti itu sendiri.
Pemugaran perahyangan wajib
dilakukan, namun semestinya tetap berpedoman pada konsep yang ada. Tanpa
memudarkan nilai, memudarkn kesucian, tanpa mengurangi kekhasan dari pura.
Taksu tetap terpancar dari pura yang kita pugar. Karena banyak pura yang telah
dipugar, namun kehilangan kekhasannya. Hampir sebagian besar pura di Bali
sampai ke Jawa memiliki bentuk yang sama dengan bahan dasar yang sama. Alangkah
indah dan berkesannya kalau tangkil ke pura yang masih alami, dengan
kekhasannya masing-masing.
No comments:
Post a Comment