kanduksupatrablogspot.com. “Asep menyan
majegau cenana ngundang dewane”. Demikian syair kidung suci terdengar
sayup-sayup. Kalau boleh diterjemahkan secara bebas maknanya adalah “asap dari
pembakaran kemenyan, kayu gaharu serta kayu cendana membuat para Dewa berkenan
hadir”. Ini adalah cara sederhana para tetua di dalam menyampaikan salam
kehadapan yang mulia para Leluhur, para Danghyang, para Betara, dan para Dewa,
dan sudah tentu kehadapan Hyang Maha Kaweruhan.
Itulah sebabnya kenapa ritual Nusantara senantiasa menggunakan pasepan / pengasepan. Tetua
meyakini bahwa pasepan (bentuk lainnya adalah dupa) dimohonkan menjadi saksi yang
agung dari sembah sujud. Asapnya yang melambung kemudian menghilang diyakini menghantarkan
doa – doa dan puja - puji menembus Kahyangan.
Tetua nusantara beragama polos, beragama
lugu. Lebih banyak beragama laku. Mereka tak banyak berfilsafat, tak banyak
mantra. Urusan filsafat dan mantra diserahkan kepada para Pendeta atau para
Dedukun Adat. Mereka cukup mengikuti petunjuk Pendeta dan Dadukun yang arif dan
bijaksana serta memiliki pengetahuan spiritual yang mumpuni. Mereka cukup
menghaturkan saji, melakukan sembah sujud bhakti, berdoa dengan bahasanya sendiri,
diiringi semerbak wangi asap kemenyan gaharu cendana sebagai penghantar doa ke
kahyangan.
Asap keluhuran dan asap kemulyaan ini telah
disajikan oleh manusia nusantara sejak berabad - abad yang lalu dalam laku
spiritual mereka. Asap harum ini mengabarkan ketulusan sang pemuja kehadapan
para leluhur maupun para dewa di Kahyangan agar berkenan hadir memberkati nusantara
ini. Para tetua yakin bahwa dimana kemenyan gaharu cendana dibakar, di sana
para Hyang akan hadir.
Manusia nusantara hidup dalam dua
dimensi yakni dunia sekala (nyata) dan dunia niskala (tak nyata / maya). Kedua
dimensi dunia ini terkait erat dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Namun keterkaitan hubungan ini tak dapat dipahami secara gamblang. Ia mesti
dipahami dengan kemulyaan hati, dimengerti dengan keluhuran budi, serta dirasakan
dengan kecerdasan naluri. Hanya orang waskita yang bisa memahami keterkaitan
ini. Para waskita byang bijak lalu menggunakan asap menyan majegau cendana sebagai
media penghubung antara dunia sekala dan niskala, agar dapat dilakukan oleh
orang awam.
Perilaku ini terus berkembang dari jaman
ke jaman di nusantara, sampai saat ini. Membakar kemenyan gaharu cendana bukanlah
“ritual memanggil jin, setan, atau mahluk halus”, bukan ritual “memuja berhala”,
bukan sebuah “tindakan sia – sia”, bukan “beragama semu”, bukan “ritual penuh
hayalan”, dan bukan pula “sebuah kebodohan”, seperti suara - suara sumbang yang
sering melenting di telinga.
Para penganut kesejatian leluhur tak perlu
risau dan tak perlu berdebat panjang tentang itu. Lakukan saja dan bersyukurlah
karena sampai saat ini masih ada kesempatan untuk memuliakan leluhur dan para
Hyang di alam sana. Ketika ritual itu memberikan kedamaian dan ketentraman di
hati, itu tandanya para Dewa berkenan. Ketika asap menyan gaharu cendana
memberikan suka cita di hati, maka itulah tanda para leluhur hadir.
Namun, ketika asap menyan majegau
cendana mulai digugat, dibenci, dilarang, bahkan di hancurkan, maka Sang Bhuta
Kala akan datang merasuki. Kacaulah pikirannya, ngawur bicaranya dan beringaslah
lakunya.
Kini disadari atau tidak, tradisi bakar
kemenyan gaharu cendana semakin digemari oleh banyak orang. Wangi – wangian
telah merasuk ke sudut - sudut ruangan masyarakat di seluruh dunia. Kini
tradisi tersebut telah mengambil wujud baru yakni “AROMA TERAPI”. Konon dengan
harum semerbak dari aroma terapi dapat memberikan kedamaian hati, kententraman
jiwa, focus dalam bekerja, memberi semangat hidup, memberikan vibrasi positif
kepada lingkungan, dll. Demikian masyarakat internasional memberikan testimoni
dan berkomentar tentang trend aroma terapi yang akar mulanya adalah tradisi
bakar kemenyan gaharu cendana.
Atas
hal tersebut di atas, salahkah para tetua sedari dulu membakar kemenyan gaharu
cendana?
No comments:
Post a Comment