kanduksupatra.blogspot.com. Tulisan ini
sejatinya sudah cukup berumur (sekitar tahun 2014), ketika tergabung dalam team
Uparengga dan Upakara saat Upacara Tawur Pancawalikrama di Pura Mandara Giri
Semeru Agung. Terkesima dengan pintu masuk pura berupa candi bentar bergaya
Jawa menjulang tinggi dan besar. Angan pun tertuju pada sejarah masa lampau, ketika
kejayaan Majapahit dengan prestasi menyatukan nusantara. Namun prestasi
gemilang tersebut tak diikuti dengan keperkasaan dalam mengawal sosio religius
Negara. Masuklah keyakinan baru di jantung kerajaan Majapahit yang berpaham
Siwa Budha. Dalam sekejap mata berkembang pesat, dan menguasai tanah Jawa.
Awan kelam di langit Majapahit semakin
gulita. Tekanan terhadap paham Siwa Budha sangat dasyat. Penganut Siwa Buda tak
berdaya. Situs rusak terbengkalai, kitab Siwa Buda lenyap dan terbakar, pura
dan candi rata dengan tanah. Tanah Jawa dilanda Kali Sangara. Jaman keruntuhan menghampiri
Tanah Jawa. Hanya ada dua pilihan: ikut larut di dalamnya atau menghindar. Bagi
yang bermukim di bagian timur Tanah Jawa mereka lari sekuat tenaga ke arah
timur, menuju tanah Blambangan, masuk ke Purwo lalu menyepi di sana. Apabila di
purwo (timur) tak aman, disarankan menyeberang ke timur ke tanah Bali. Bagi yang
tak sempat lari ke timur, mereka naik ke pegunungan untuk menghindar dan
bertahan seperti di gunung Gunung Lawu, Gunung Bromo, Gunung Semeru, Gunung Slamet,
Gunung Arjuno, Gunung Wilis, Gunung Kelud, dll.
Dalam menghindari gelombang panas Kali
Sangara, mereka tak berkonfrontasi, penganut Siwa Buda mengemas diri menjadi
orang-orang Kejawen. Yang tampak hanyalah baju budaya berbalut tradisi Jawa. Di
Tanah Pasundan pun demikian, mereka lari ke gunung dan hutan yang paling dalam
untuk mengasingkan diri tetap menjalankan ajaran leluhur lalu mengemas diri
menjadi Sunda Wiwitan. Hidup sambil menunggu “waneng” batas waktu lima ratus
tahun seperti “pastu” / kutukan Sabdapalon. Demikian bayangan masa lalu muncul.
kanduksupatra.blogspot.com
Setelah lima ratus tahun, titah
sejarahpun tiba. Bermula dari upacara di pura Besakih nuur tirtha ke Semeru
sebagai saudara tertua dari tiga bersaudara yakni Gunung Semeru, Gunung Agung
dan Gunung Rinjani. Lalu ada upaya untuk membuat pemujaan kehadapan Dewa yang
bersemayan di Gunung Semeru dalam prabawa sebagai Sanghyang Siwa Pasupati. Maka
pada awal tahun 1990 an dibuatlah Pura Semeru Agung. Seperti ada komando dari
niskala bahwa umat Hindu di seluruh Bali bangkit tergerak hatinya untuk
menghaturkan bhakti ke Pura Semeru. Seolah olah manusia Bali mendapat titah
untuk “balik kembali” ke tanah leluhurnya di Jawa, membangunkan saudara-saudara
tua yang masih tertidur. Gayung bersambut. Sejak itu Hindu menggeliat terbangun
dari mimpi selama lima ratus tahun.
Pura Semeru sebagai tonggak bagi ke-ELING-an
Hindu di Tanah Jawa dan Nusantara. Pura Semeru sebagai pintu masuk kem”Bali” /
“balik” bagi keyakinan leluhur Siwa Buda yang telah tertidur lelap. Artinya,
Candi Bentar bergaya Majapahit di Pura Semeru paling tidak dimaknai sebagai PINTU
MASUK KEMBALI KE PERADABAN LELUHUR. Kira-kira demikian.
Ini hanyalah apresiasi dangkal serta
pendapat pribadi dari penulis yang terlalu terobsesi, tanpa pernah
mengkonfirmasi kepada pihak pengurus pura ataupun undagi yang membangun candi
bentar bergaya Jawa tersebut. Ini hanyalah tafsir kosong sambil bengong, berlagak
sombong menafsirkan sesuatu yang bukan ranahnya. Ampura. Ki Buyut Dalu. Tulisan
lainnya ada di kanduksupatra.blogspot.com
#OriginalArtikelByKanduk
#OriginalArtikelByKanduk
No comments:
Post a Comment