kanduksupatra.blogspot.com. Dalan
kondisi tertentu seperti adanya bencana alam, wabah penyakit atau terjadi
perubahan sikap masyarakat yang cenderung beringas alias sangar, maka ini adalah sebuah pertanda alam, sebuah pertanda bahwa
dunia ini sedang sakit. Dunia ini sedang bergejolak, atau dalam istilah para
tetua Bali disebut dengan ruug jagat.
Dunia dan isinya sedang bergejolak.
Dalam kacamata para waskita di nusantara
terutama di daerah Bali yang kental dengan Gama Bali / Hindu Bali / Gama Tirtha
yang dalam prakteknya lebih pada mazab Siwa Bhairawa, memandang bahwa situasi
ini perlu dilakukan sebuah upaya spiritual. Ritual yang dilakukan adalah
memohon kehadapan Sanghyang Adikala (penguasa seluruh kekuatan di alam raya)
dalam hal ini adalah Dewa Siwa dan saktinya Dewi Durga untuk menentramkan dunia.
Maka ritual yang dilakukan adalah dengan melakukan Pamahayu Jagat.
Pamahayu Jagat intinya berasal dari kata
hayu / ayu yang artinya baik dan sejahtera sedangkan jagat artinya dunia atau alam semesta. Dengan dengan demikian
pemahayu jagat artinya sebuah ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk memohon
kehadapan Hyang Kuasa agar dunia dianugrahkan ketentraman, kebaikan, dan kesejahteraan.
kanduksupatra.blogspot.com
Dalam konsep Siwa Bhairawa maka ritual pemahayu jagat dilakukan dengan car
menghaturkan caru dalam berbagai tingkatan. Baik dalam skala rumah tangga,
desa, kabupaten maupun provinsi atau dalam skala seluruh dunia. Banyak macam
pemahayu jagat yang dilakukan seperti halnya setiap menjelang Nyepi dengan
menghaturkan caru dalam tingkatan rumah tangga, banjar, desa, kabupaten, maupun
provinsi. Termasuk pula pemahayu yang dilakukan di tiap pura kayangan jagat di
Bali dan di Indonesai, seperti yang dilakukn di Pura Agung Besakih dalam rangka
Betara Turun Kabeh, Pancawalikrama, Merebu Bhumi, Tribhuwana, dan yang terbesar
adalah Ekadasa Rudra. Semua itu adalah upacara ritual yang ditempuh dalam
rangka peneduh atau pemahayu jagat. Termasuk caru caru peneduh yang dilakukan
pada sasih kenem setia tahunnya.
Salah satu pemahayu jagat yang rutin
dilakuakn di Pantai Geger di Nusa Dua Bali yang dilakukan oleh pemerintah
Kabupaten Badung. Atau pemahayu jagat yang dilakukan oleh pemerintah Kota
Denpasar di Pantai Mertasari. Tingakatan pemahayu jagat yang dilakukan dengan
menghaturkan Caru Balik Sumpah bersaranakan hewan caru berupa kebo, sapi,
kambing, banyak, itik, ayam, babi, dll. Dalam prosesinya disediakan seperangkat
caru lengkap dengan pengidernya di segala arah. Dilengkapi dengan sanggar tawang sebagai linggih sanghyang
Trik Sakti, Brahma Wisnu Iswara sebagai manifesatsi Ida Sanghyang Widhi Wasa. Juga
disediakan sanggar pengayatan kehadapan Sanghyang Luhuring Akasa yakni para
dewa yang berstana di atas, di luar angkasa, yang memenuhi alam semesta ini.
kanduksupatra.blogspot.com.
Pemujaan dilakukan oleh Sang Tri Sadaka
yakni di Sulinggih dari golongan Resi Bujangga, Buda Kasogatan, Sulinggih Siwa.
Diawali dengan pemujaan yang dilakukan oleh Sang Sulinggih Resi Bujangga yang
dengan weda mantra beliau, serta peralatan yang digunakan seperti sungu, ketipluk, gentorang, genta uter,
mampu mengundang para bebhutan atau
kekuatan negatif di alam, terkumpul di hadapan caru balik sumpah. Para bebhutan
tersebut kemudian dipersilahkan untuk menikmati caru yang telah disediakan.
Demikian juga dilakukan mulang pekelem yakni penenggelaman pramana suci
berupa hewa (kebo) ke tengah laut sebagai sarana permohonan kehadapan Hyang
Maha Kala agar memberikan kekuatan agar dunia bawah baik itu tanah dan laut
menjadi stabil. Demikian juga sering dilakukan di kawah gunung, dengan harapan
melalui pramana suci hewan pekelem ini dapat menstabilkan gunung, dijauhkan
dari bencana, dan selalu memberikan kesuburan dan air bagi penduduk yang
mendiaminya.
Prosesi selanjutnya adalah, ketika sang
Bhutakala telah datang dan menikmati semua caru, maka sang bhuta kala menjadi
tenang. Dalam keadaan tenang, sang bhutakala tersebut oleh sulinggih dari
golongan Budha Kasogatan disupat sehingga muncul sifat - sifat positif atau
sifat kedewaan. Intinya bahwa pada proses ini Sang Butakala disupat menjadi
Dewa oleh Sulinggih Budha. Setelah bersifat kedewataan, maka para dewa tersebut
dipersilahkan untuk menempatkan posisi dalam kedewataan. kanduksupatra.blogspot.com.
Tahapan berikutnya adalah para dewa yang
sudah berstana dalam posisi masing - masing, kemudian dipuja oleh Sang
Sulinggih dari golongan Siwa. Dihaturkan ayaban dan sebaginya, seraya memohon
kehadapan para dewa agar sudi menganugrahkan ketentraman, kesejahteraan, dan
kemakmuran. Agar manusia dijauhkan dari sifat angkara murka, dijauhkan dari
segala penyakit dan bencana, agar alam dianugrahkan kestabilan dan kesuburan.
Inilah prinsip dari upacara pemahayu jagat yang dilaksanakan secara
rutin dalam rangka memohon kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabawa
sebagai Sanghyang Tiga Wisesa agar bhumi ini, alam semesta dan segala isinya
dianugrahkan ketentraman, kesejahteraan, dan kemamuran.
Upcara pemahayu jagat sejatinya didasari
atas konsep Dewa ya Kala ya. Dimana
sang bhuta kala yang ngrebeda
dipanggil dan diberikan sesaji agar somia.
Dalam keadaan somia atau degdeg / tenang, muncul sifat - sifat kedewataan.
Dalam sifat kedewataan ini kemudian dipuja untuk melimpahkan berkah atau
waranugraha. Inilah konsep manusia Bali yang memegang Gama Hindu Bali dalam
menghadapai RUUG JAGAT. #OriginalArtikelByKanduk (kanduksupatra.blogspot.com. #ki buyut dalu).
No comments:
Post a Comment