Mungkin hari itu
hari yang apes buat I Malong. Pasalnya, semenjak pagi sampai sore, sama sekali
tidak pernah ngenen dalam meceki. Ia
kalah ratusan ribu, keringat dingin mengucur dari tubuhnya sambil menghujat. Naskeleng, naskeleng sing taen ngenen. Begitu dia mencak-mencak di hadapan para
pejudi lainnya, sambil bubaran.
Tak tahan dengan
kesal hatinya, Malong menghujat sejadi-jadinya. Dia menyebut dan menghujat
Dewan Ceki dengan kalimat yang tidak etis kalau disebut. Ia berbicara dengaan
setengah sadar, karena kesalnya. Ia pun tidak pernah berpikir apa yang dikatakannya.
Cerita kemudian
berlanjut, sampai ia pulang ke rumahnya. Ia seorang teruna bagus genjing cara
rejuna negak Yamaha, tidur sendirian di sebuah kamar di pekarangan milik orang
tuanya. Kebetulan pula posisi kamar tidurnya di atas bekas saluran air, yang
menurut kepercayaan orang Bali agak tenget. Dengan
hati panas ia mencoba tidur. Setelah beberapa saat maka tertidurlah. Ia
merasakan matanya tertarik untuk terpejam dan tidur.
Setelah tertidur
sebentar, ia merasakaan ada sesosok bayangan putih keluar dari plafon rumahnya.
Mereka ada beberapa orang. Satu memegang kepala dan menutup mulutnya. Yang lain
memegang tangannya, seperti ada yang memperkosa. Keringat dinginnya keluar. Ia
mencoba untuk melawan, untuk melepaskan dirinya. Namun ia sudah dikuasai oleh
mahluk-mahluk niskala tersebut. Mahluk tersebut “Bagaimana, jadi kau memperkosa
diriku? Demikan mahluk tersebut berbicara seperti apa yang dikatakan I Malong
ketika menghujat Dewan Ceki tadinya. Apa yang dikatakannya tadi sore, diulang
oleh mahluk tersebut. Mahluk tersebut juga menelanjangi I Malong, seperti orang
mau memperkosa.
Semakin takut
dan berkeringat I Malong. Ia mau berteriak minta tolong tapi nggak bisa. Dalam
keadaan tertawan oleh mahluk halus tersebut, tiba-tiba muncul lagi dari atas
platfon rumah sesosok mahluk seperti anak kecil, gundul dan berkata ”bisa mantram
gayatri? Kalau bisa ucapkanlah tiga kali”. I Malong dalam hatinya mengatakan
tidak bisa. Namun dalam sekejap ia ingat bahwa ia pernah diajari gayatri mantra
oleh seorang temannya. Dengan ingatan yang seadanya ia kemudian mengucapkannya
dengan sekuat tenaga di bawah tekanan mahluk halus tersebut. Setelah ia mengucapkan
mantra gayatri tersebut sebanyak tiga kali, maka kekuatan dari mahluk halus
tersebut satu-persatu melepaskan diri dan akhirnya lenyap. Demikian pula dengan
sosok kecil gundul tersebut menghilang.
Dalam keadaan sudah
bebas, ia terbangun dan sadar. Didapati dirinya telah duduk dengan nafas terengah-engah,
dengan keringat bercucuran. Satu lagi, ia tak sadar kalau ia sudah
ngompol membasahi pakaian dan tempat tidurnya. Dengan tak berpikir
panjang, ia lari kencang ke rumah tempat orang tuanya tidur yang hanya berjarak
beberapa puluh meter dari tempat tidurnya. Ia kemudian tidur bersama meme-nya sampai pagi.
Keesokan harinya
ia menceritakan secara panjang lebar kejadian yang dialaminya tadi malam. Ia
merasa kapok memisuh (menghujat) Dewan Ceki. I Glebug yang mendengarkan
cerita itu menjadi terbatuk-batuk akibat tawanya yang lebar mendengar I Malong kaenceh-enceh juk ancangan dewan ceki
(terkencing-kencing ditawan parjurit dewa judi). I Glebug berkata “Di Bali,
Dewa itu untuk disembah mohon keselamatan bukan untuk dicaci-maki. Semua benda
memiliki Dewa. Semua kegiatan memiliki Dewa seperti Dewan Ceki atau dewan judi, atau orang Bali
bilang Dewan Tajen. Sing dadi macem-macem, sing dadi ngawag-ngawag
melaksana, sing dadi cah-cauh memunyi, Bali
gumi tenget”.
Dengan gaya iklan masyarakat di
Televisi lokal Bali I Glebug mengakhiri katanya sambil tertawa “Sing ja lelipi
to yan”.
No comments:
Post a Comment