Desa Renon,
tepatnya di seputaran jalan Tukad Balian, dikenal sebagai gudangnya semangka di
kota Denpasar. Sejak
dahulu daerah ini menghasilkan semangka, timun guling, dan timun gantung.
Sampai sekarang tradisi menanam semangka masih dilakukan oleh petani setempat.
Sejalan dengan
perkembangan pariwisata dan perkembangan pemukiman, wilayah ini memang tak
dapat menghindar. Walaupun sawah masih luas, namun pemukiman juga sudah mulai
merambah ke arah ini. Banyak bangunan baru di sana,
selain oleh masyarakat di sana
yang semakin berkembang, juga banyak dari penduduk pendatang. Bahkan penduduk urban
dari daerah luar Bali ada di sana.
Salah satunya adalah kelompok pemulung yang tinggal di sekitar jalan Tukad
Balian, sekitar pertengahan antara Desa Renon dengan Sidakarya.
Di kawasan
pemulung ini tampak sebuah bangunan tua
yang sudah rapuh. Setelah ditelusuri lebih dekat, di dalam rumah tua tersebut
terdapat sebuah sumur tua. Sumur tua tersebut dimanfaatkan oleh para pemulung
yang tinggal di sekitarnya untuk keperluan sehari-hari. Kumpulan pemulung
memang cukup banyak serta dengan aktivitasnya yang senantiasa membuat suasana
di kawasan tersebut tetap ramai apalagi dengan keliaran anak-anak, semakin
meramaikan suasana di kawasan itu.
Namun akan
sangat berbeda dengan malam hari. Suasana yang dingin di areal persawahan serta
angin yang berhembus seringkali membuat para pemulung segera mengantuk dan
tertidur pulas, suasana pun menjadi sunyi senyap. Dalam kesunyian tersebut,
beberapa orang dari para pemulung sering menyaksikan sesuatu yang berkelebat di
kegelapan malam. Tampak jelas olehnya bahwa ada penampakan seorang perempuan
berambut panjang dengan kakinya yang borok, punggungnya juga borok. Ia menangis
tersedu-sedu di tempat di sekitar sumur tua, di rumah tua tersebut. Jalannya terseok-seok, sambil menangis dan
minta tolong. Memang kehadiran dari perempuan tersebut tak menganggu dan tak mengusik
ketentraman warga.
Warga yang yang
kebetulan melihatnya, menjadi ketakutan dan segera masuk ke dalam rumah. Bagi
mereka yang memiliki keberanian dan memiliki kemampuan sepiritual lebih,
mencoba mengamati dan berkomunikasi dengan perempuan niskala tersebut. Dari
komunikasi tersebut didapat nama perempuan cantik itu adalah Raden Ayu. Ia
sering menangis kesedihan karena ia sekarang sudah tak memiliki tempat tinggal,
ia hanya bisa berkeliaran di sekitar sumur tua tersebut.
Atas informasi tersebut,
masyarakat pemulung yang semuanya adalah warga muslim mencoba untuk menenangkan
Raden Ayu dengan caranya sendiri. Dengan harapan agar perempuan tersebut menjadi
lebih tenang dan tak bersedih lagi dan tak gentayangan. Demikian juga agar ia
tak mengganggu warga yang ada di sekitarnya.
Warga Hindu yang
tinggal di sekitarnya juga rajin memberikan rarapan dan sebagainya, dengan
harapan para penghuni niskala yanga ada di tempat itu menjadi bersahabat dan
membantu dalam segala kegiatan sekala. Atas upaya tersebut keberadaan Raden Ayu
menjadi lebih tenang, dan sampai saat ini sudah jarang menampakkan diri. Kini
tak lagi terdengar rintihan tangisan kesedihan seorang wanita di malam hari
yang memilukan hati dan menakutkan. Bagi yang bernyali besar mungkin akan
merasa kasihan melihatnya, dengan badan tak terurus, kakinya borok, punggung
borok, jalan terseok-seok, menangis tersedu-sedu berjalan menuju sumur tua. Yang
sering melihat kehadiran perempuan tersebut adalah Bapak Agus yang tinggal di
sekitar rumah tersebut.
No comments:
Post a Comment