Friday, March 27, 2015

Lawar Rangda Ngelur




“Lawar”, entah darimana istilah ini muncul, sampai sekarang belum ada yang bisa memaknai secara definitif. Bisa jadi kata lawar berasal dari kisah pewayangan ketika penyamaran Pandawa di negeri Wirata, kususnya Bima yang menyamar menjadi juru masak (tukang ebat) yang bernama Sang Belawa. Dimana hasil olahan tukang ebat tersebut disebut dengan Be Lawa, yang kemudian menjadi Be Lawar.
Mebat adalah kegiatan membuat olahan daging menjadi lawar dan olahan lainnya seperti komoh, ares, jejeruk, be genyol, srapah, sate, dll. Apakah kegiatan masak biasa bisa dikatakan sebagai mebat ?. Sudah tentu tidak. Kegiatan mebat lebih pada kegiatan masak mengolah daging mentah (entah didahului dengan nampah atau menyembelih) hewan yang akan dimasak, menjadi olahan tertentu. Prosesnya meliputi memotong hewan, merebus, mencincang, dan terakhir adanya adonan tradisional Bali. Dimana di dalamnya menggunakan bumbu-bumbu khas, daging mentah, daging matang, serta darah mentah.
Olahan yang dibuat pun digolongkan menjadi tiga bagian yakni:

1.      Olahan Kering meliputi sate, urutan, gegorengan.
2.      Olahan Basah / lembab meliputi: Lawar (lawar tulen, lawar biasa, penyon, petak, pepahit / gegode), tum, timbungan, oret, semuuk, bebontot, brengkes, lemped, gubah
3.      Olahan cair: komoh, ares

Selain itu ada pula olahan makanan khas Bali yang diolah dengan cara dimatangkan dalam bentuk yang utuh dengan cara di-tutu seperti ayam tutu, bebek tutu. Atau dengan cara diguling seperti babi guling.

Berbicara mengenai jenis sate, juga ada beberapa macam yakni: sate lembat, sate empol, sate letlet, sate kablet, sate asem, srapah, sate pusut, sate orob.
Jenis lawar ada beberapa macam yakni lawar tulen yakni lawar yang lebih banyak dagingnya daripada nangkanya. Lawar biasa adalah lawar yang perbandingan antara daging dan nangkanya seimbang. Lawar barak atau urab barak adalah lawar yang berwarna merah karena dilengkapi dengan darah segar. Lawar putih atau urab putih adalah lawar yang berwarna putih atau tanpa diisi dengan darah segar. Lawar gadang atau urab gadang adalah lawar yang berwarna gadang atau hijau. Lawar ini lebih banyak diisi dedaunan seperti daun belimbing. Lawar ini lebih dikenal dengan “gegode”.
Di dalam masyarakat, sudah tentu ada variasi selera terhadap lawar. Berikut ini ada tiga kategori selera terhadap rasa lawar, yakni:

1.      LAWAR BIMA KRODA            : rasa lawar dengan menonjolkan rasa pedas cabe.
2.      LAWAR SANGUT DEKAH      : rasa lawar dengan menonjolkan pedas merica
3.      LAWAR RANGDA NGELUR   : rasa lawar dengan menonjolka rasa asin
  
Bertitik tolak dari gambaran singkat di atas, sepertinya kegiatan mebat atau ngelawar adalah kegiatan mengolah daging menjadi sajian-sajian khas, yang sudah tentu dengan aroma, cita rasa, serta perbumbuan yang khas pula. Termasuk peralatan yang digunakan juga khas seperti menggunakan blakas, talenan, jambangan, lesung batu, pemabat sate, dll. Sehingga mebat atau ngelawar adalah sebuah kegiatan yang khas pula, tak bisa disamakan dengan kegiatan memasak biasa.
    
Kalau di telaah secara lebih dalam, maka proses ngelawar sejatinya memiliki filosofi yang jelas tentang perjalanan spiritual manusia yang mengambil jalan melalui praktek Bhairawa Tantra. Sebab di dalam proses ngelawar tersebut ada proses-proses yang sejatinya adalah suatu bentuk penyiksaan atau suatu bentuk kekerasan, seperti nadah : menyembelih binatang, ngintuk : menumbuk bumbu atau menumbuk daging, nektek: mencincang bumbu dan daging, ngulet: mengaduk adonan sate dan lawar, ngelablab : merebus dengan mengan, memanggang atau membakar sate. Semua proses tersebut terdapat di dalam proses ngelawar. Sebuah proses yang penuh dengan sesualitas perasaan yang sejatinya penuh dengan kekerasan.
Apabila konsep ini kemudian dituangkan dalam proses pendakian spiritual bagi pengikut Bhairawa Tantra, maka akan menjadi suatu hal yang menarik bila dikaitkan dengan para pengawal atau pasukan Sanghyang Yamadipati yang tak lain adalah penguasa kematian dengan mengerahkan para bala-bala yang disebut dengan Cikrabala Sanghyang Yama.
Rangkaian ceritanya mungkin seperti di bawah ini: 
-          Sang Jogormanik ngintuk base dan ngintuk be (menumbuk daging dan bumbu), simbolisasi dari hukuman tumbuk bagi para atma
-          Sang Kinkarabala nadah celeng (menyembelih babi atau binatang lainnya untuk olahan) simbolisasi dari pedihnya hukuman yang meenyayat hati.
-          Sang Mahakala Ngulet Sate (mengaduk sate), simbolisasi hukuman dalam bentuk cambuk serta jambakan bagi para atma yang berbuat di luar garis kebenaran.
-          Sang Cikrabala ngelablab be di jambangan (merebus daging di panci besar). Simbolisasi dari panasnya kawah candradimuka, dimana para atma akan meregang kepanasan
-          Sang Dorakala Nektek be (mencincang daging). Simbolisasi dari para atama yang mendapatkan hukuman cincang, hukuman pancung di neraka.
-          Sang Kala Bala manggang sate. Simbolisasi dari para atma yang mendapatakan hukuman merasakan panasnya api neraka.
-          Sedangkan Sang Suratma bertugas mencicipi hasil olahan sebagai simbolisasi selalu mencatat siapa, berapa, kapan, serta apa yang dilakukan.

Ngelawar adalah proses pembelajaran pemaknaan kehidupan di dunia berdasarkan dharma dan kewisesan, sesuai dengan konsep bhairawa tantra yakni mencapai kemuliaan, kebenaran, dan dharma sambil menikmati sensasi spiritual berupa kewisesan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu yang menakjubkan yang hanya bisa dicapai melalui proses oleh batin serta persembahan-persembahan ritual. Atau lebih dikenal ddengan proses untuk menjadi orang sakti, yakni memperoleh berkah kekuatan supranatural karean memuja Dewi Sakti. Perpaduan antara kebenaran (dharma) dan sesansi kehidupan (kewisesan inilah jalan yang ditemppuh oleh sebagian besar masyarakat Bali dalam menjalankan agama Hindu Bali yang lebih condong kepada praktek Bhairawa Tantra.
Proses ngelawar adalah pemaknaan kehidupan dalam melatih spiritual untuk memahami segala aspek kehidupan termasuk menerima resiko perbuatan ketika nanti memasuki alam sunia yang meliputi dunia suka dan duka. Dunia suka akan disebut dengan suarga, sedangkan dunia duka disebut neraka. Jika menikmati keindahan dan kebaikan, maka tak perlu latihan. Namun yang perlu dilatih adalah menerima kenyataan hukuman nanti di dunia neraka yang dipenuhi dengan berbagai macam hukuman. Seperti yang digambarkan dalam simbolisasi ngelawar dengan pengandaian para Bala-bala Sanghyang Yamadipati. Dengan harapan bahwa manusia di dunia akan sadar akan pedihnya hukuman yang akan diterima apabila melakukan perbuatan yang diluar dari kebenaran.

No comments:

Post a Comment