Ngerupuk dilakukan pada waktu sandikala (peralihan waktu dari siang ke
malam / dari terang ke gelap). Kenapa dilakukan pada sandikala? karena sandiakala
(sandikala) adalah waktu bangkitnya para bebhutan
atau bhuta kala (mahluk angkara) dari
alam niskala. Sejatinya bhuta kala berasal dari kata bhu dan kala. Bhu artinya
bentuk atau wujud, sedangkan kala artinya kekuatan. Jadi bhuta kala adalah
wujud dari kekuatan. Nah karena agama Hindu Bali kental dipengaruhi oleh aliran
Bhairawa Tantra yang bersifat mistik magis religious, maka perwujudan dari kala (kekuatan) digambarkan dengan sosok
yang seram. Bhuta Kala sendiri adalah ciptaan Hyang Widhi dalam aspek angkara murka yang ditugaskan
untuk mengganggu manusia di bhumi apabila tak menjalankan hidup sesuai dengan ajaran
dharma. Mahluk ini akan bergentayangan pada sandikala.
Saat inilah adalah waktu yang tepat untuk menyuguhkan santapan kepada bhutakala
berupa segehan yakni segehan panca warna sembilan tanding dengan iwak
/ ulam ayam brumbun rateng (mateng). Disuguhkan
juga segehan cacah sebanyak satus
kutus (108) dilengkapi iwak (lauk) berupa daging celeng matah (mentah),
disertai dengan minuman tuak, arak, berem yang ditempatkan di dalam sujang sanggah cucuk. Sujang adalah dua
buah bumbung bambu yang digantung di sanggah cucuk sebagai wadah minuman bhuta
kala. Segehan satus kutus ini disuguhkan kepada para bhuta kala yang jenisnya
ada seratus delapan.
Setelah semua suguhan itu disiapkan,
lalu para penghuni rumah akan menyuarakan suara yang gaduh dengan memukul-mukul
benda benda sehingga suara gaduh terdengar di sekitar rumah, demikian juga di
banjar dibunyikan kulkul. Inilah yang disebut dengan ngerupuk yakni menggedor untuk membangunkan para bebhutan yang ada
di pekarangan rumah. Dalam rangkaian itu juga dilakukan upacara mebuwu buwu yakni menyalakan prakpak serta
nyimbuh (menyemburkan) mesui di
sekeliling rumah. Suara gaduh, api prakpak dan mesui untuk memberitahukan kepada
bhutakala bahwa mereka sudah disediakan makanan dan setelah itu agar bhuta
kala merasa puas lalu kembali ke tempat masing
- masing dan tidak tinggal di pekarangan rumah, serta tidak mengganggu kehidupan
manusia. Api prakpak juga sebagai peringatan bagi para bebhutan yang masih
gentayangan akan terbakar oleh api ini. Demikian juga dengan mesui yang
diyakini memiliki kekuatan untuk membakar bebhutan yang gentayangan.
Dalam perkembangan belakangan ini,
sarana ngerupuk lebih semarak dengan mengarak ogoh ogoh dalam perwujudan
sebagai bhuta kala. Ogoh ogoh dipakai sebagai simbol para bhuta kala setelah
dibangunkan lalu bergentayanagan nadah
(menyantap) segehan dan minum minumannya, sehingga nantinya para bhuta kala
menjadi senang dan tenang (somia), dan kemudian kembali ke tempatnya masing
masing, tidak bergentayangan di lingkungan manusia. Sesuai dengan tujuan
ngerupuk yakni nogdog / mugpug / nundun / membangunkan para bebhutan untuk
menyantap hidangan yang telah disediakan, lalu somia.
Yang benar adalah ogoh – ogoh berwujud
bhutakala saat pengrupukan, bukan berbentuk dewa dewa apalagi bentuk
kontenporer. Sebab belakangan banyak yang berteori bahwa “kok bhuta kala yang
diusung? Itu kan kekuatan jahat” Demikian komentarnya. Pendapat ini membuat
rancu serta membingungkan anak muda dalam membuat ogoh ogoh. Mereka yang
berpendapat demikian mungkin tak paham akan hakekat dari pengerupukan serta
sejarah munculnya ogoh ogoh.
Ogoh ogoh berwujud bhuta kala yang mesti
diarak saat ngerupuk. Karena hal ini didasari atas hakekat pengrupukan yakni
prosesi nyomia bhutakala yang tadinya angkara murka berenergi negatif, akan berubah
menjadi positif dan bertindak sebagai pelindung manusia dan alam sekitarnya.
Ini didasari atas konsep bhuta ya dewa ya.
Artinya bahwa antara bhutakala dan dewa sejatinya adalah satu. Bhuta kala akan
dapat memberikan perlindungan bagaikan dewa apabila sudah somia, demikain juga
dengan dewa akan murka berwujud bhuta apabila manusia tak menjalankan ajaran
darma.
Dengan telah dilakukan upacara pemarisuda
bhuana agung dan bhuana alit, bhuta kala sudah somia, maka manusia dapat melakukan
catur brata keesokan harinya dengan tentram damai, sehingga tercipta kedamaian jasmani
rohani. Inilah hakekatnya kenapa Nyepi diawali dengan rangkaian melis, mecaru, meprani, dan ngerupuk. (Kand.)
No comments:
Post a Comment