Tuesday, March 24, 2015

Ngerupuk, ogoh ogoh mesti Butakala !




Ngerupuk dilakukan pada waktu sandikala (peralihan waktu dari siang ke malam / dari terang ke gelap). Kenapa dilakukan pada sandikala? karena sandiakala (sandikala) adalah waktu bangkitnya para bebhutan atau bhuta kala (mahluk angkara) dari alam niskala. Sejatinya bhuta kala berasal dari kata bhu dan kala. Bhu artinya bentuk atau wujud, sedangkan kala artinya kekuatan. Jadi bhuta kala adalah wujud dari kekuatan. Nah karena agama Hindu Bali kental dipengaruhi oleh aliran Bhairawa Tantra yang bersifat mistik magis religious, maka perwujudan dari kala (kekuatan) digambarkan dengan sosok yang seram. Bhuta Kala sendiri adalah ciptaan Hyang Widhi  dalam aspek angkara murka yang ditugaskan untuk mengganggu manusia di bhumi apabila tak menjalankan hidup sesuai dengan ajaran dharma. Mahluk ini akan bergentayangan pada sandikala. Saat inilah adalah waktu yang tepat untuk menyuguhkan santapan kepada bhutakala berupa segehan yakni segehan panca warna sembilan tanding dengan iwak / ulam ayam brumbun rateng (mateng). Disuguhkan juga segehan cacah sebanyak satus kutus (108) dilengkapi iwak (lauk) berupa daging celeng matah (mentah), disertai dengan minuman tuak, arak, berem yang ditempatkan di dalam sujang sanggah cucuk. Sujang adalah dua buah bumbung bambu yang digantung di sanggah cucuk sebagai wadah minuman bhuta kala. Segehan satus kutus ini disuguhkan kepada para bhuta kala yang jenisnya ada seratus delapan.
Setelah semua suguhan itu disiapkan, lalu para penghuni rumah akan menyuarakan suara yang gaduh dengan memukul-mukul benda benda sehingga suara gaduh terdengar di sekitar rumah, demikian juga di banjar dibunyikan kulkul. Inilah yang disebut dengan ngerupuk yakni menggedor untuk membangunkan para bebhutan yang ada di pekarangan rumah. Dalam rangkaian itu juga dilakukan upacara mebuwu buwu yakni menyalakan prakpak serta nyimbuh (menyemburkan) mesui di sekeliling rumah. Suara gaduh, api prakpak dan mesui untuk memberitahukan kepada bhutakala bahwa mereka sudah disediakan makanan dan setelah itu agar bhuta kala  merasa puas lalu kembali ke tempat masing - masing dan tidak tinggal di pekarangan rumah, serta tidak mengganggu kehidupan manusia. Api prakpak juga sebagai peringatan bagi para bebhutan yang masih gentayangan akan terbakar oleh api ini. Demikian juga dengan mesui yang diyakini memiliki kekuatan untuk membakar bebhutan yang gentayangan.  
Dalam perkembangan belakangan ini, sarana ngerupuk lebih semarak dengan mengarak ogoh ogoh dalam perwujudan sebagai bhuta kala. Ogoh ogoh dipakai sebagai simbol para bhuta kala setelah dibangunkan lalu bergentayanagan nadah (menyantap) segehan dan minum minumannya, sehingga nantinya para bhuta kala menjadi senang dan tenang (somia), dan kemudian kembali ke tempatnya masing masing, tidak bergentayangan di lingkungan manusia. Sesuai dengan tujuan ngerupuk yakni nogdog / mugpug / nundun / membangunkan para bebhutan untuk menyantap hidangan yang telah disediakan, lalu somia.
Yang benar adalah ogoh – ogoh berwujud bhutakala saat pengrupukan, bukan berbentuk dewa dewa apalagi bentuk kontenporer. Sebab belakangan banyak yang berteori bahwa “kok bhuta kala yang diusung? Itu kan kekuatan jahat” Demikian komentarnya. Pendapat ini membuat rancu serta membingungkan anak muda dalam membuat ogoh ogoh. Mereka yang berpendapat demikian mungkin tak paham akan hakekat dari pengerupukan serta sejarah munculnya ogoh ogoh.
Ogoh ogoh berwujud bhuta kala yang mesti diarak saat ngerupuk. Karena hal ini didasari atas hakekat pengrupukan yakni prosesi nyomia bhutakala yang tadinya angkara murka berenergi negatif, akan berubah menjadi positif dan bertindak sebagai pelindung manusia dan alam sekitarnya. Ini didasari atas konsep bhuta ya dewa ya. Artinya bahwa antara bhutakala dan dewa sejatinya adalah satu. Bhuta kala akan dapat memberikan perlindungan bagaikan dewa apabila sudah somia, demikain juga dengan dewa akan murka berwujud bhuta apabila manusia tak menjalankan ajaran darma.
Dengan telah dilakukan upacara pemarisuda bhuana agung dan bhuana alit, bhuta kala sudah somia, maka manusia dapat melakukan catur brata keesokan harinya dengan tentram damai, sehingga tercipta kedamaian jasmani rohani. Inilah hakekatnya kenapa Nyepi diawali dengan rangkaian melis, mecaru, meprani, dan ngerupuk. (Kand.)

No comments:

Post a Comment