Thursday, March 5, 2015

Nyundih ditemani Kambing Jadi-jadian




            Kalau masyarakat agraris yang masih aktif sudah tentu akan mengenal istilah nyuluh atau nyundih. Artinya adalah mencari lindung (belut) pada malam hari membawa lampu, obor atau yang lain di petak-petak sawah tanaman padi yang berair. Kalau musim belut atau musim nyundih, di areal persawahan ketika malam tiba, maka banyak masayrakat yang pergi ke sawah malam hari. Kerlipan lampu atau obor banyak berjalan atau bergerak seiring dengan perjalanan orang-orang di pematang sawah. Ada yang nyundih sebentar, ada juga yang suka sampai tengah malam.
            Bicara tentang nyuluh atau nyundih, I Wayan Jarna memiliki cerita tersendiri mengenai pengalamannya nyundih di sawah sampai larut malam. Pada suatu malam I Wayan Jarna yang biasa disapa Nang Bukit mencari belut ke sawah. Sejak sore ia mempersiapkan segala sesuatunya seperti lampu sentir, sepit dan dungki (tempat ikan) bersama teman-temannya. Malampun tiba, dia beserta teman-temannya bergegas pergi ke sawah. Dengan hati penuh harap Nang Bukit menelusuri pematang sawah. Maklum, penduduk desa masih banyak yang menggantungkan hidupnya dari hasil nyuluh baik untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual di pasar.
Tidak seperti biasanya, malam itu memang hari keberuntungan Nang Bukit sekaligus menjadi pengalaman yang tak terlupakan seumur hidupnya. Bagaimana tidak hasil tangkapan belut pada saat itu sangat banyak, tidak seperti hari-hari biasanya. Saking asiknya menangkap belut Nang Bukit lupa waktu sudah larut malam. Ia terus menelusuri petak-petak sawah sambil memunggut belut-belut yang keluar pada malam hari. Dungki yang ia bawa juga semakin sarat dengan belut yang semakin banyak. Ia terus berjalan semakin jauh, sampai akhirnya ia berada di dekat sebuah pura. Teman-teman dan orang-orang yang tadinya banyak di sawah satu per satu sudah pulang dengan bawaan yang cukup. Sedangkan ia sendiri terus mencari belut. Ia pun tahu kalau ia sendiri di tengah sawah.
Di dekat pura tersebut ia kemudian melihat seseorang sedang berjalan mendekat membawa lampu sentir (suluh). Nang Bukit pun merasa agak lega, berarti ia tidak sendirian di tengah sawah sampai larut malam. Nang Bukit beranjak mendekati orang yang nyundih itu. Nang Bukit bertanya kepada orang itu “napi jero polih” (apa yang didapat). Orang itu menjawab “dadua”. Pertanyannya diulang terus, dan jawabannya juga tetap sama. Nang Bukit tak pernah memperhatikan siapa yang diajak bicara dan bagaimana rupanya. Soalnya saat itu suasana sangat gelap.
Dalam beberapa saat kemudian, lampu yang dibawa oleh orang tersebut tampak mengecil, meredup, dan mati. Dan tiba-tiba saja orang tersebut tak tampak, yang justru berdiri di depan Nang Bukit adalah seekor kambing. Eeeekkk….. eeeekkk…  Anehnya lagi bahwa lampu yang dibawa oleh Nang Bukit juga tiba-tiba padam. Nah saat itu barulah Nang Bukit merasa takut, bahwa yang ada di depannya itu bukan manusia biasa. Ia berpikir bahwa ia sudah berhadapan dengan ane ngelah peteng (penguasa malam/mahluk gaib) atau mungkin saja orang yang sedang menjalankan ilmu leak menjadi kambing. Dengan rasa takut yang amat sangat, Nang Bukit mencoba untuk menjauh dan lari. Namun apa daya, ketika membalikkan kaki untuk berlari, tiba-tiba kambing tersebut sudah mengembek di hadapannya. Ketika berbalik ke arah yang berlawanan, tetap saja kambing tersebut mengembek di hadapannya. Eeeekkkk…..  eeeeekkk….
Dalam ketakutannya itu, rupanya Nang Bukit masih ingat dengan Widhi (Ida Sanghyang Widhi). Dalam hatinya ia memohon nunas iwang atas kesalahan yang telah diperbuat dan nunasica agar bisa keluar dari sergapan kambing malam tersebut. Entah darimana datangnya kekuatan Nang Bukit, tiba-tiba saja ia mampu menerobos kambing tersebut dan berlari tunggang langgang di tengah sawah. Tak lagi ia melihat kanan dan kiri, pokoknya kenceng langkah seribu. Tak ingat dia dengan dungkinya yang penuh dengan belut entah jatuh dimana. Tak peduli, yang penting bisa keluar dari sergapan kambing itu. Entah kambing itu tadinya mengejar dirinya atau tidak, yang jelas kambing tersebut sudah tak tampak di hadapannya.
Dengan bayu ngangsur dan runtag (terengah-engah dan panik), akhirnya sampailah ia di jaba pura Dalem. Nang Bukit berusaha untuk menenangkan dirinya dalam ketakutan. Ia segera pulang di kegelapan malam. Ia tak membawa apa-apa. Padahal tadinya dungkinya penuh berisi lindung yang bisa dimasak di rumah bahkan sisinya bisa dijual di pasar.
Keesokan harinya ia bercerita kepada keluarganya di rumah. Salah seorang saudaranya nyeletuk, to madan loba drawaka, bang bedik nagih liyu. Itu namanya rakus, diberi sedikit selalu minta banyak. Yah akibatnya si penjaga sawah yang mengawasi lindung-lindung di sawah mengingatkan Nang Bukit agar meminta atau mencari sesuatu di sawah jangan terlalu loba.
Tapi dari cerita itu ada yang nyeletuk lain ”Nang Bukit memang belog (bodo), belut ditukar sama kambing tidak mau. Kan lebih enak daging kambing, ha ha ha …….”
Semenjak itu Nang Bukit tak pernah lagi nyundih sampai larut malam, dan tak berani jauh-jauh lagi ke tengah sawah. Termask juga ia hanya mengambil secukupnya dari belut-belut yang ada di sawah.

No comments:

Post a Comment