Dadong Rarud dan Pekak Rarud beserta cucu-cucunya
mempunyai kebiasaan memungut pongpongan
untuk kemudian dijual pada pengusaha genteng. Pongpongan itu digunakan untuk membakar genteng yang mentah. Sudah
bertahun-tahun profesi itu ditekuninya sekeluarga sebagai pekerjaan sampingan
tambahan. Selain mencari pongpongan (kelapa
yang berlubang karena isi di dalamnya telah dimakan oleh tupai), mereka juga mencari
saang (kayu bakar) dan kraras (daun pisang kering) untuk
dijadikan pembungkus tape.
Tugas rutin itu biasanya dikerjakan oleh Dadong Rarud
dan Pekak Rarud, sementara cucu-cucunya sewaktu-waktu saja ikut mencari pongpongan. Biasanya mereka “beroperasi”
di ladang-ladang yang liar (tak bertuan) yang jauh dari pemukiman penduduk.
Mereka biasanya memunggut pongpongan sekeranjang penuh, langsung dijual pada
pengusaha genteng. Bagi cucu Kak Rarud, hal ini sangat menyenangkan karena
mereka langsung mendapatkan uang, sebagai bekal sekolah di kampung.
Kegembiraan mereka bukan main karena
pada suatu hari libur yang panjang mereka bisa setiap hari pergi ke tegalan mencari pongpongan, sekaligus dapat bermain sesuka hati di tegalan. Sambil berlarian membawa keranjang,
menelusuri jalan setapak menuju lokasi tegalan
yang penuh dengan pohon kelapa. Sesekali anak-anak tersebut memanjat pohon,
bermain petak umpet, dan juga bermain kucing-kucingan. Bahkan, kadang-kadang
mereka bermain bola dengan sarana pongpongan
tersebut. Mereka tak pernah menghiraukan di mana mereka berada, yang penting
kelima keranjang sudah penuh, maka mereka akan pulang kembali ke rumah. Mereka
tak pernah bingung atau keliru mencari jalan pulang, walau mereka sudah berada
jauh di tengah tegalan. Mereka tak
pernah takut dengan binatang seperti ular, atau cerita-cerita yang sifatnya
menakut-nakuti anak kecil. Mereka dengan suka ria mencari pongpongan di setiap areal yang ditumbuhi tanaman kelapa. Pokoknya
mereka bersahabat dengan alam.
Pada suatu hari, anak-anak itu mungkin
terlalu jauh masuk ke pedalaman hutan di wilayah Negara, sehingga memasuki
wilayah yang terbilang tenget
(angker). Hari itu memang mereka sedikit mujur, sebab pongpongan banyak berserakan di sebuah areal tegalan. Mereka dengan senang hati mengambil secara berebutan,
memasukkan ke dalam keranjang sambil bercanda. Tak pernah terpikirkan oleh
anak-anak tersebut bahwa orang-orang lain tak pernah berani masuk ke daerah
tersebut karena sering mengalami gangguan niskala,
entah itu leak oleh manusia sakti
atau makhluk niskala penunggu wilayah
tersebut. Makanya banyak pongpongan yang terjatuh tetapi tidak ada yang
memunggut. Inilah yang dipunggut oleh-anak-anak tersebut.
Dalam sekejap, keranjang mereka sudah
hampir penuh, dan pongpongan juga
sudah habis dipunggut. Waktu itu tengai
tepet (siang tengah hari). Padahal untuk bisa sampai penuh keranjang berisi
pongpongan perlu waktu sampai sore.
Sambil bermain-main, bersenda-gurau riang gembira sambil tertawa-tawa dan
saling olok-olok, mereka bermain di tengah hutan atau tegalan sepi tersebut.
Bahkan, mereka bercanda sambil menarikan tari celuluk untuk menakuti temannya yang lebih kecil. Sedang asyiknya
mereka bermain, tiba-tiba terdengar ada sebuah kelapa yang jatuh dari pohonnya.
Seketika itu mereka berebut untuk mengambilnya.
Mereka bertaruh, siapa yang
mendapatkan pongpongan tersebut akan
di-gandong (digendong). Mereka
semakin bersemangat mencari, bahkan sampai ke semak-semak. Tak ada yang
menemukan pongpongan tersebut,
padahal lokasi jatuhnya tak jauh dari mereka bermain. Mereka mencoba mencari
kembali di tempat suara jatuhnya pongpongan
tersebut secara bersamaan.
Mereka kemudian melihat ada benda
bulat di semak-semak, dan mereka segera menuju ke sana. Dikiranya itulah pongpongan yang jatuh tadi. Mereka
berebut untuk mengambil pongpongan
tersebut. Namun, alangkah terkejutnya anak-anak itu, karena ketika mau diambil
bukanlah pongpongan, melainkan sebuah
kepala! Potongan kepala itu berwajah begitu seram, dengan gigi-giginya yang
menyeringai, mulutnya enggang
(terbuka)! Anak-anak itu mereka segera mengambil langkah seribu meninggalkan
tempat tersebut, bahkan ada yang sempat terjatuh. Anehnya, potongan kepala bisa
bergerak. Kepala itu mengejar mereka dengan cara bergelindingan di tanah dengan
cepat.
Dengan nafas ngos-ngosan mereka
berusaha menyelamatkan diri dari kejaran hantu kepala itu. Untunglah di
tengah hutan itu mereka bertemu dengan
kakek dan nenek mereka. Mereka menceritakan tentang pongpongan tenggek yang mengejar mereka. Dadong dan Pekak Rarud
kebetulan mengerti hal tersebut dengan segera mencoba mencari dan mendekati pongpongan tersebut. Setelah ketemu,
Pekak Rarud mengambil sejumput debu, kemudian dimantrai, dan dilempar ke arah pongpongan tenggek (kelapa berupa kepala) tersebut. Setelah terkena ajian
Pekak Rarud, leak pongpongan itu
langsung berteriak kesakitan, kemudian pergi menjauh, dan menghilang di
semak-semak di tegalan.
Pekak Rarud melihat cucu-cucunya
ketakutan kepayahan. Untuk menenangkannya, Pekak Rarud mencarikan mereka kuwud untuk diminum. Sambil menikmati kuwud, Kak Rarud bercerita, “Yang jatuh
waktu tengai tepet itu adalah bukan pongpongan,
tetapi jadi-jadian dari manusa sakti yang ngelekas
(berubah wujud) di siang hari. Di tegalan ini memang jarang orang ke sana,
karena sering mendapatkan gangguan, karena tempat tersebut sering digunakan
oleh penekun ilmu leak untuk ngelekas”
“Leak
berbentuk pongpongan atau kepala juga
sering mengganggu petani yang sedang mengairi sawahnya waktu malam hari.
Biasanya leak pongpongan tersebut
mengambang di air, kemudian menutupi saluran air menuju ke petak sawah. Untuk
mengairi sawah perlu waktu lama bahkan sampai pagi, karena disumbat terus oleh pongpongan jadi-jadian tersebut. Kalau
ketahuan oleh petani, biasanya pongpongan
itu diangkat atau dihanyutkan ke hilir, tetapi secara tak diketahui oleh
petani, pongpongan tersebut balik
menyumbat saluran air. Namun, bagi petani yang mengerti dengan ilmu kewisesan, leak pongpongan biasanya mengalami sengkala atau sial. Petani yang mengerti akan membacok pongpongan tersebut dengan tambah (cangkul) sehingga menyebabkan si
leak pongpongan terbelah menjadi dua,
terluka, kesakitan, bahkan menyebabkan kematian bagi orang yang menjadi pongpongan tersebut. Bisa dibilang bahwa
mengganggu orang mengairi sawah di malam hari adalah pekerjaan yang ila-ila dahat (berisiko fatal),”
demikian cerita Kak Rarud kepada cucu-cuucnya yang terbengong-bengong heran,
dan bangga dengan kesaktian Kak Rarud.
Agar anak tersebut tidak rugi dan
kecewa dengan pongpongan-nya yang
mereka tinggalkan di tempat kejadian tadi, maka Kak Rarud mengajak anak-anak
dan cucunya kembali ke tempat tersebut untuk mengambil keranjang yang telah
penuh dengan pongpongan. Anak-anak
tersebut dengan ragu-ragu, takut-takut berani, mengikuti langkah Kak Rarud
menuju karang tenget lokasi orang ngeleak tersebut.
Akhirya semua anak membawa keranjang
berisi penuh pongpongan, sambil
was-was, jangan-jangan semua pongpongan
yang ada di dalam keranjang mereka berubah menjadi kepala. Mereka kemudian
segera membawa pongpongan ke dagang
genteng untuk di jual. Mereka terus mengamati pongpongan tersebut, apakah masih pongpongan ataukah jadi kepala lagi.
Setelah menerima uang, mereka semua
bergegas pulang dan berharap agar pongpongan
tersebut tetap menjadi pongpongan,
tidak jadi kepala seram. “Kalau jadi kepala, agar jangan saya dicari,” demikian
anak-anak tersebut pulang dengan membawa uang hasil pongpongan.
No comments:
Post a Comment