Friday, August 14, 2015

Leak Pongpongan



Dadong Rarud dan Pekak Rarud beserta cucu-cucunya mempunyai kebiasaan memungut pongpongan untuk kemudian dijual pada pengusaha genteng. Pongpongan itu digunakan untuk membakar genteng yang mentah. Sudah bertahun-tahun profesi itu ditekuninya sekeluarga sebagai pekerjaan sampingan tambahan. Selain mencari pongpongan (kelapa yang berlubang karena isi di dalamnya telah dimakan oleh tupai), mereka juga mencari saang (kayu bakar) dan kraras (daun pisang kering) untuk dijadikan pembungkus  tape. 
Tugas rutin itu biasanya dikerjakan oleh Dadong Rarud dan Pekak Rarud, sementara cucu-cucunya sewaktu-waktu saja ikut mencari pongpongan. Biasanya mereka “beroperasi” di ladang-ladang yang liar (tak bertuan) yang jauh dari pemukiman penduduk. Mereka biasanya memunggut pongpongan sekeranjang penuh, langsung dijual pada pengusaha genteng. Bagi cucu Kak Rarud, hal ini sangat menyenangkan karena mereka langsung mendapatkan uang, sebagai bekal sekolah di kampung.
          Kegembiraan mereka bukan main karena pada suatu hari libur yang panjang mereka bisa setiap hari pergi ke tegalan mencari pongpongan, sekaligus dapat bermain sesuka hati di tegalan. Sambil berlarian membawa keranjang, menelusuri jalan setapak menuju lokasi tegalan yang penuh dengan pohon kelapa. Sesekali anak-anak tersebut memanjat pohon, bermain petak umpet, dan juga bermain kucing-kucingan. Bahkan, kadang-kadang mereka bermain bola dengan sarana pongpongan tersebut. Mereka tak pernah menghiraukan di mana mereka berada, yang penting kelima keranjang sudah penuh, maka mereka akan pulang kembali ke rumah. Mereka tak pernah bingung atau keliru mencari jalan pulang, walau mereka sudah berada jauh di tengah tegalan. Mereka tak pernah takut dengan binatang seperti ular, atau cerita-cerita yang sifatnya menakut-nakuti anak kecil. Mereka dengan suka ria mencari pongpongan di setiap areal yang ditumbuhi tanaman kelapa. Pokoknya mereka bersahabat dengan alam.
              Pada suatu hari, anak-anak itu mungkin terlalu jauh masuk ke pedalaman hutan di wilayah Negara, sehingga memasuki wilayah yang terbilang tenget (angker). Hari itu memang mereka sedikit mujur, sebab pongpongan banyak berserakan di sebuah areal tegalan. Mereka dengan senang hati mengambil secara berebutan, memasukkan ke dalam keranjang sambil bercanda. Tak pernah terpikirkan oleh anak-anak tersebut bahwa orang-orang lain tak pernah berani masuk ke daerah tersebut karena sering mengalami gangguan niskala, entah itu leak oleh manusia sakti atau makhluk niskala penunggu wilayah tersebut. Makanya banyak pongpongan yang terjatuh tetapi tidak ada yang memunggut. Inilah yang dipunggut oleh-anak-anak tersebut.
          Dalam sekejap, keranjang mereka sudah hampir penuh, dan pongpongan juga sudah habis dipunggut. Waktu itu tengai tepet (siang tengah hari). Padahal untuk bisa sampai penuh keranjang berisi pongpongan perlu waktu sampai sore. Sambil bermain-main, bersenda-gurau riang gembira sambil tertawa-tawa dan saling olok-olok, mereka bermain di tengah hutan atau tegalan sepi tersebut. Bahkan, mereka bercanda sambil menarikan tari celuluk untuk menakuti temannya yang lebih kecil. Sedang asyiknya mereka bermain, tiba-tiba terdengar ada sebuah kelapa yang jatuh dari pohonnya. Seketika itu mereka berebut untuk mengambilnya.
          Mereka bertaruh, siapa yang mendapatkan pongpongan tersebut akan di-gandong (digendong). Mereka semakin bersemangat mencari, bahkan sampai ke semak-semak. Tak ada yang menemukan pongpongan tersebut, padahal lokasi jatuhnya tak jauh dari mereka bermain. Mereka mencoba mencari kembali di tempat suara jatuhnya pongpongan tersebut secara bersamaan.
          Mereka kemudian melihat ada benda bulat di semak-semak, dan mereka segera menuju ke sana. Dikiranya itulah pongpongan yang jatuh tadi. Mereka berebut untuk mengambil pongpongan tersebut. Namun, alangkah terkejutnya anak-anak itu, karena ketika mau diambil bukanlah pongpongan, melainkan sebuah kepala! Potongan kepala itu berwajah begitu seram, dengan gigi-giginya yang menyeringai, mulutnya enggang (terbuka)! Anak-anak itu mereka segera mengambil langkah seribu meninggalkan tempat tersebut, bahkan ada yang sempat terjatuh. Anehnya, potongan kepala bisa bergerak. Kepala itu mengejar mereka dengan cara bergelindingan di tanah dengan cepat.
          Dengan nafas ngos-ngosan mereka berusaha menyelamatkan diri dari kejaran hantu kepala itu. Untunglah di tengah  hutan itu mereka bertemu dengan kakek dan nenek mereka. Mereka menceritakan tentang pongpongan tenggek yang mengejar mereka. Dadong dan Pekak Rarud kebetulan mengerti hal tersebut dengan segera mencoba mencari dan mendekati pongpongan tersebut. Setelah ketemu, Pekak Rarud mengambil sejumput debu, kemudian dimantrai, dan dilempar ke arah pongpongan tenggek (kelapa berupa kepala) tersebut. Setelah terkena ajian Pekak Rarud, leak pongpongan itu langsung berteriak kesakitan, kemudian pergi menjauh, dan menghilang di semak-semak di tegalan.
          Pekak Rarud melihat cucu-cucunya ketakutan kepayahan. Untuk menenangkannya, Pekak Rarud mencarikan mereka kuwud untuk diminum. Sambil menikmati kuwud, Kak Rarud bercerita, “Yang jatuh waktu tengai tepet itu adalah bukan pongpongan, tetapi jadi-jadian dari manusa sakti yang ngelekas (berubah wujud) di siang hari. Di tegalan ini memang jarang orang ke sana, karena sering mendapatkan gangguan, karena tempat tersebut sering digunakan oleh penekun ilmu leak untuk ngelekas
          Leak berbentuk pongpongan atau kepala juga sering mengganggu petani yang sedang mengairi sawahnya waktu malam hari. Biasanya leak pongpongan tersebut mengambang di air, kemudian menutupi saluran air menuju ke petak sawah. Untuk mengairi sawah perlu waktu lama bahkan sampai pagi, karena disumbat terus oleh pongpongan jadi-jadian tersebut. Kalau ketahuan oleh petani, biasanya pongpongan itu diangkat atau dihanyutkan ke hilir, tetapi secara tak diketahui oleh petani, pongpongan tersebut balik menyumbat saluran air. Namun, bagi petani yang mengerti dengan ilmu kewisesan, leak pongpongan biasanya mengalami sengkala atau sial. Petani yang mengerti akan membacok pongpongan tersebut dengan tambah (cangkul) sehingga menyebabkan si leak pongpongan terbelah menjadi dua, terluka, kesakitan, bahkan menyebabkan kematian bagi orang yang menjadi pongpongan tersebut. Bisa dibilang bahwa mengganggu orang mengairi sawah di malam hari adalah pekerjaan yang ila-ila dahat (berisiko fatal),” demikian cerita Kak Rarud kepada cucu-cuucnya yang terbengong-bengong heran, dan bangga dengan kesaktian Kak Rarud.
          Agar anak tersebut tidak rugi dan kecewa dengan pongpongan-nya yang mereka tinggalkan di tempat kejadian tadi, maka Kak Rarud mengajak anak-anak dan cucunya kembali ke tempat tersebut untuk mengambil keranjang yang telah penuh dengan pongpongan. Anak-anak tersebut dengan ragu-ragu, takut-takut berani, mengikuti langkah Kak Rarud menuju karang tenget lokasi orang ngeleak tersebut.
          Akhirya semua anak membawa keranjang berisi penuh pongpongan, sambil was-was, jangan-jangan semua pongpongan yang ada di dalam keranjang mereka berubah menjadi kepala. Mereka kemudian segera membawa pongpongan ke dagang genteng untuk di jual. Mereka terus mengamati pongpongan tersebut, apakah masih pongpongan ataukah jadi kepala lagi.
          Setelah menerima uang, mereka semua bergegas pulang dan berharap agar pongpongan tersebut tetap menjadi pongpongan, tidak jadi kepala seram. “Kalau jadi kepala, agar jangan saya dicari,” demikian anak-anak tersebut pulang dengan membawa uang hasil pongpongan.

No comments:

Post a Comment