Friday, August 7, 2015

Penjor Jor Joran




Kerapkali kreativitas seni yang berlebihan menyebabkan semakin mengaburnya makna dari suatu hal. Seperti fenomena penjor dalam kurun waktu delapan tahun belakangan ini. Kalau sebelumnya umat Hindu membuat penjor secara sederhana namun mengandung perlengkapan sesuai dengan apa yang digariskan dalam ajaran agama, sehingga memiliki makna relegi yang tinggi.
Jaman dahulu para tetua kita tidak setiap Galungan membuat penjor. Orang membuat penjor ketika “Galungan Nadi” yakni Galungan yang disertai dengan purnama. Namun sekarang seiring dengan perayaan dan pelaksanaan ajaran agama Hindu yang semakin semarak, maka setiap Galungan datang, umat dengan senang hati membuat penjor. Bahkan saat ini pembuatan penjor dikemas dengan seni dan kreasi tinggi.
Penjor adalah sebuah sarana yadnya yang merupakan ungkapan rasa terima kasih kehadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi, kehadapan Ida Sanghhyang Widhi Wasa dalam prabawa belaiu sebagai Sanghyang Ibu Pertiwi yang disimbulkan dengan Gunung. Dimana dalam penjor diisi berbagai macam hasil bumi yang dalam bahasa Bali disebut dengan pala bungkah (umbi) pala gantung (buah) pala wija (biji-bijian) yang kesemuanya itu adalah merupakan anugrah dari Ida Sanghyang Widhi Wasa melalui kesuburan tanah yang digarap sehingga hasil panen petani menjadi melimpah.
Penjor sejatinya adalah banten, dimana sebuah penjor dilengkapi dengan sampian penjor, raka-raka (buah-buahan), tebu, pisang, tape, bantal, jaja-jaja. Dan sebagai pelengkapnya disertai dengan reringgitan busung, serta don kayu (plawa) dan bunga. Jadilah penjor sebagai sebuah tandingan banten, sebagai ungkapan rasa syukur.
Sesaji berupa penjor dipersembahkan kehadapan Ida Betara yang melinggih (berstana) di Gunung. Kalau di Bali, dipersembahkan kehadapan Ida Betara di Gunung Agung, karena Gunung Agung adalah gunung tertinggi di Bali. Gunung Agung telah melimpahkan berbagai macam material vulkanik yang menyebabkan tanah Bali subur. Demikian pula bahwa Gunung sebagai sumber resapan air yang memberikan air bagi tanah pertanian sepanjang tahun melalui berbagai anak sungai yang bersumber dari pegunungan. Nah itulah kepercayaan dari manusia Bali yang mengungkapkan rasa terimakasih kehadapan Ibu Pertiwi atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui penjor.
Sebagai penguasa Gunung Agung beliau berwujud naga yang dikenal dengan Ida Betara Naga Besuki, sebagai simbol penganugrah kemakmuran. Inilah kemudian yang menginspirasi dari para tetua terdahulu untuk mewujud sesajinya berbentuk penjor. Yakni sesaji berbentuk tinggi dan panjang. Bambu tinggi sebagai simbol gunung. Sedangkan panjang dan melengkung sebagai perwujudan penunggu Gunung Agung yakni Naga Besuki.
Dalam perkembangan saat ini, penjor telah mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan penjor menjadi salah satu bagian dari industri kreatif di Bali. Bentuk dan bahan utamanya masih menggunakan bambu.  Namun di sisi lain ada bagian yang makin menonjol dan satu sisi ada bagian yang menyusut. Sebagai contoh, penjor saat ini lebih menonjolkan seni hiasannya. Lebih banyak menggunakan ental dan telah berkembang dengan berbagai ragam hias, reringgitan yang rumit. Justru belakangan penjor menjadi media penumpahan ekpresi seni. Lihat saja penjor saat ini dibuat begitu megah dengan reinggitan, bahkan dilengkapi dengan ogoh-ogoh, dilengkapi dengan lampu hias, tedung, dan pernak-pernik lainnya. Melebihi dari kepangusan (keharmonisan), sehingga terkesan berlebihan, lebay, bahkan jor-joran. Banyak penjor yang dibuat dengan biaya jutaan rupiah. Namun sayang, kemegahan penjor tersebut kering makna. Karena penjor tersebut hanyalah lebih sebagai hiasan semata, jauh dari maknanya sebagai sesaji persembahan yakni berupa banten seperti yang digariskan dalam filosofi penjor. Penjor-penjor ini hanyalah sebagai ekspresi seni, cerminan semangat berhari raya, sedikit emosi, ambisius, bahkan mungkin cerminan egoisme.
Dapat dibanddingkan dengan saudara Hindu di Tanah Jawa. Mereka membuat penjor penuh dengan hiasan hasil bumi (pala bungkah, pala wija, pala gantung). Bahkan pisang untuk penjor diisi satu tandan. Diisi janur sedikit sebagai reringgitan sebagai sampian, dilengkapi dengan don kayu dan sedikit bunga, sebagai simbol ketulusan dan kesucian hati. Sederhana, tulus, namun sarat makna.
Dalam kondisi seperti ini kembali perlu direnungkan bahwa dalam hal beragama mesti perlu adanya keselarasan antara makna filosofis serta seni. Penjor akan menjadi semakin menarik dan meriah apabila mengikuti pemaknaan, demikain juga seni akan menjadi semakin bermakna apabila mengikuti tatwa agama yang melahirkannya. Sehingga keduanya akan berjalan secara seimbang.
Atas dasar makna dari penjor tersebut, apakah dilarang untuk membuat penjor yang meriah dan mahal? Sudah tentu dalam agama Hindu tak ada kata larangan atau kata “tak boleh”. Semuanya berangkat dari rasa dalam meyakini dan mengamalkan ajaran Hindu. Namun semuanya akan lebih bermakna apabila dilakukan sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan rasa bhakti, serta tidak atas dasar gengsi, jor-joran, apa lagi ikut-ikut tak menentu. Penjor meriah, megah, dan seni akan lebih bermakna apabila diimbangi dengan kelengkapan tetandingan, serta pemaknaan dari penjor itu sendiri sebagai simbol ketulusan, kesucian, kerendahan hati, seperti ujung penjor yang cenderung merunduk / merendah.
Apa mau dikata, itulah Bali…..! Bali berarti sakti. Bali berarti Banten, sesaji, sesembahan. Artinya, semuanya dilakukan secara tulus dalam rangka dipersembahkan kehadapan Hyang Maha Sakti. (Ki Buyut Dalu / inks)

No comments:

Post a Comment