Kerapkali kreativitas seni yang berlebihan menyebabkan semakin
mengaburnya makna dari suatu hal. Seperti fenomena penjor dalam kurun waktu delapan tahun belakangan ini. Kalau
sebelumnya umat Hindu membuat penjor secara sederhana namun mengandung perlengkapan
sesuai dengan apa yang digariskan dalam ajaran agama, sehingga memiliki makna
relegi yang tinggi.
Jaman dahulu
para tetua kita tidak setiap Galungan membuat penjor. Orang membuat penjor
ketika “Galungan Nadi” yakni Galungan yang disertai dengan purnama. Namun
sekarang seiring dengan perayaan dan pelaksanaan ajaran agama Hindu yang
semakin semarak, maka setiap Galungan datang, umat dengan senang hati membuat
penjor. Bahkan saat ini pembuatan penjor dikemas dengan seni dan kreasi tinggi.
Penjor adalah
sebuah sarana yadnya yang merupakan ungkapan rasa terima kasih kehadapan Sang
Hyang Ibu Pertiwi, kehadapan Ida Sanghhyang Widhi Wasa dalam prabawa belaiu
sebagai Sanghyang Ibu Pertiwi yang disimbulkan dengan Gunung. Dimana dalam
penjor diisi berbagai macam hasil bumi yang dalam bahasa Bali
disebut dengan pala bungkah (umbi) pala gantung (buah) pala wija (biji-bijian) yang kesemuanya itu adalah merupakan
anugrah dari Ida Sanghyang Widhi Wasa melalui kesuburan tanah yang digarap
sehingga hasil panen petani menjadi melimpah.
Penjor sejatinya
adalah banten, dimana sebuah penjor dilengkapi dengan sampian penjor, raka-raka
(buah-buahan), tebu, pisang, tape, bantal, jaja-jaja. Dan sebagai pelengkapnya
disertai dengan reringgitan busung, serta don kayu (plawa) dan bunga. Jadilah
penjor sebagai sebuah tandingan banten, sebagai ungkapan rasa syukur.
Sesaji berupa
penjor dipersembahkan kehadapan Ida Betara yang melinggih (berstana) di Gunung.
Kalau di Bali, dipersembahkan kehadapan Ida Betara di Gunung Agung, karena Gunung
Agung adalah gunung tertinggi di Bali. Gunung Agung telah melimpahkan berbagai
macam material vulkanik yang menyebabkan tanah Bali
subur. Demikian pula bahwa Gunung sebagai sumber resapan air yang memberikan
air bagi tanah pertanian sepanjang tahun melalui berbagai anak sungai yang
bersumber dari pegunungan. Nah itulah kepercayaan dari manusia Bali yang
mengungkapkan rasa terimakasih kehadapan Ibu Pertiwi atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa
melalui penjor.
Sebagai penguasa
Gunung Agung beliau berwujud naga yang dikenal dengan Ida Betara Naga Besuki,
sebagai simbol penganugrah kemakmuran. Inilah kemudian yang menginspirasi dari
para tetua terdahulu untuk mewujud sesajinya berbentuk penjor. Yakni sesaji
berbentuk tinggi dan panjang. Bambu tinggi sebagai simbol gunung. Sedangkan
panjang dan melengkung sebagai perwujudan penunggu Gunung Agung yakni Naga
Besuki.
Dalam perkembangan
saat ini, penjor telah mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan penjor
menjadi salah satu bagian dari industri kreatif di Bali. Bentuk dan bahan utamanya
masih menggunakan bambu. Namun di sisi
lain ada bagian yang makin menonjol dan satu sisi ada bagian yang menyusut.
Sebagai contoh, penjor saat ini lebih menonjolkan seni hiasannya. Lebih banyak
menggunakan ental dan telah berkembang dengan berbagai ragam hias, reringgitan
yang rumit. Justru belakangan penjor menjadi media penumpahan ekpresi seni.
Lihat saja penjor saat ini dibuat begitu megah dengan reinggitan, bahkan
dilengkapi dengan ogoh-ogoh, dilengkapi dengan lampu hias, tedung, dan
pernak-pernik lainnya. Melebihi dari kepangusan
(keharmonisan), sehingga terkesan berlebihan, lebay, bahkan jor-joran. Banyak penjor yang dibuat dengan biaya
jutaan rupiah. Namun sayang, kemegahan penjor tersebut kering makna. Karena penjor
tersebut hanyalah lebih sebagai hiasan semata, jauh dari maknanya sebagai
sesaji persembahan yakni berupa banten seperti yang digariskan dalam filosofi
penjor. Penjor-penjor ini hanyalah sebagai ekspresi seni, cerminan semangat
berhari raya, sedikit emosi, ambisius, bahkan mungkin cerminan egoisme.
Dapat dibanddingkan
dengan saudara Hindu di Tanah Jawa. Mereka membuat penjor penuh dengan hiasan
hasil bumi (pala bungkah, pala wija, pala
gantung). Bahkan pisang untuk penjor diisi satu tandan. Diisi janur sedikit
sebagai reringgitan sebagai sampian, dilengkapi dengan don kayu dan sedikit
bunga, sebagai simbol ketulusan dan kesucian hati. Sederhana, tulus, namun
sarat makna.
Dalam kondisi
seperti ini kembali perlu direnungkan bahwa dalam hal beragama mesti perlu
adanya keselarasan antara makna filosofis serta seni. Penjor akan menjadi
semakin menarik dan meriah apabila mengikuti pemaknaan, demikain juga seni akan
menjadi semakin bermakna apabila mengikuti tatwa agama yang melahirkannya.
Sehingga keduanya akan berjalan secara seimbang.
Atas dasar makna
dari penjor tersebut, apakah dilarang untuk membuat penjor yang meriah dan
mahal? Sudah tentu dalam agama Hindu tak ada kata larangan atau kata “tak
boleh”. Semuanya berangkat dari rasa
dalam meyakini dan mengamalkan ajaran Hindu. Namun semuanya akan lebih bermakna
apabila dilakukan sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan rasa bhakti, serta
tidak atas dasar gengsi, jor-joran, apa lagi ikut-ikut tak menentu. Penjor
meriah, megah, dan seni akan lebih bermakna apabila diimbangi dengan
kelengkapan tetandingan, serta
pemaknaan dari penjor itu sendiri sebagai simbol ketulusan, kesucian,
kerendahan hati, seperti ujung penjor yang cenderung merunduk / merendah.
Apa mau dikata,
itulah Bali…..! Bali berarti sakti. Bali berarti Banten, sesaji, sesembahan.
Artinya, semuanya dilakukan secara tulus dalam rangka dipersembahkan kehadapan
Hyang Maha Sakti. (Ki Buyut Dalu / inks)
No comments:
Post a Comment