Mungkin judul tulisan ini agak bombastis
dan kesannya sangat mengada-ada. Tetapi memang demikianlah kejadiannya. Bermula dari pementasan calonarang di suatu daerah
Gianyar. Pentas ini memang dibuat seseram dan sekolosal mungkin. Situasi dibuat
sangat mencekam untuk memberikan kejutan psikologis yang dalam kepada penonton.
Menampilkan kreasi panggung yang seram, tampilan penari yang seram, ditambah
dengan bangke-bangke yang juga seram.
Seperti biasa pentas calonarang pakemnya
tak jauh berbeda dengan pakem calonarang yang dipentaskan di daerah lain. Yang
biasanya menjadi perhatian penonton adalah ketika adegan-adegan yang seram
menyerempet maut. Adegan ngundang leak, adegan bangke matah dan seterusnya. Pokoknya
situasi dan dialog dibuat seseram mungkin dengan harapan penonton menjadi takut
atau memiliki kesan horor yang amat sangat. Pastilah di sini akan tampil
mereka-mereka yang sakti atau mungkin disertai dengan mereka yang “mesebeng
sakti” seolah-olah mereka paling sakti, paling aeng tanpa tanding.
Pada pertengahan cerita, saatnya adegan
bangke matah tampil di arena pertunjukan. Bangke tersebut digotong oleh orang
banyak dari tempat yang jauh dan gelap diiringi gambelan angklung serta sarana
lain sebagaimana layaknya orang akan mengubur jenasah ke setra. Suara gambelamn angklung terdengar sayup-sayup sedih
di kejauhan, yang membuat bulu badan berdiri.
Setelah sampai di panggung, bangke matah
diletakkan di tengah panggung kemudian diadakan adegan nyiramang layon sebagaimana layaknya adegan sungguhan. Selanjutnya
bangke matah tersebut digulung, diletakkan begitu saja beserta semua alat dan
sarana yang mengiringi seperti banten, prakpak, arit, tambah, dll. Sedangkan orang yang mengikuti menyingkir
menjauh dari panggung. Dalam beberapa
saat kemudian pimpinan rombongan “mungkin yang paling sakti” memberikan permakluman
kepada semua penonton dan leak agar mintonin
(mengetes) bangke matah tersebut. Bangke matah tersebut dipersilakan untuk disantap
oleh leak-leak yang bergentayangan.
Dalam adegan ngundang-ngundang tersebut,
para penonton menjadi agak mencekam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah
ada leak yang datang untuk menyantap bangke matah tersebut. Setelah sekian lama
bangke tersebut tak ada yang mengusik, kemudian tanpa di sengaja tambah (cangkul) yang tadinya
disandarkan di tiang bambu yang letaknya dekat bangke matah tersebut, tiba-tiba
rebah. Patin tambah (tangkai cangkul)
tersebut tepat mengenai kepala bangke matah yang sedang tertidur terlentang di panggung.
Karena patin tambah tersebut cukup keras dan berat, menyebabkan kepala dari
bangke matah tersebut terasa sakit. Entah apa yang terjadi dalam pikiran “si
bangke matah” tiba-tiba bangke matah tersebut bangun dalam keadaan di gulung,
lalu membuka kainnya serta meraba kepalanya. Tak sadar bahwa ia sedang berada
di panggung sebagai bangke matah. Setelah menyadari bahwa dirinya masih di panggung
dan suasana masih aman secara niskala, maka ia kembali tertidur melakoni peran
sebagai bangke matah. Hal ini menyebabkan suasana menjadi sedikit seru. Ada
yang mengatakan bahwa itu sebagai serangan niskala, karena undangan dari
pimpinan rombongan. Namun ada sebagaian yang tertawa, karena menganggap
kejadian itu sesuatu yang lucu. Lucunya karena bangke matah seketika hidup
akibat tertimpa patin tambah. Berarti kayu yang dipakai sebagai patin tambah
(tangkai cangkul) itu kayu bertuah. Terbukti kayu tersebut mampu menghidupkan “orang
mati”. Demikian salah seorang penonton nyeletuk di belakang. Sedangkan teman yang
lainnya mengatakan dengan nada meremehkan “to mare patin tambah, konden leak
seken teka”. Itu baru tangkai cangkul, belum leak yang sebenarnya datang!!.
Mungkin mereka lari terkencing-kencing”. Makanya jangan main-main!
Cerita mengenai bangunnya bangke matah
karena tertimpa patin tambah menyeruak ke seantero desa dan kecamatan keesokan
harinya. Beritanya berjudul “patin tambah bisa menghidupkan orang mati”. Ha..
ha. ha. Ade – ade gen… (Ki Buyut Dalu/inks).
No comments:
Post a Comment