Krama Bali saat ini mengalami euporia beryadnya sebagai wujud rasa bhakti kehadapan
Ida Betara Sesuhunan. Kenapa Betara? Karena betara sebagai perwujudan terdekat
dari Ida Sanghyang Widhi Wasa. Sebab berbicara Ida Sanghyang Widhi Wasa
sungguh-sungguh suatu yang sangat jauh dan boleh dikata sesuatu yang tak
terjangkau oleh pikiran manusia. Karena Hyang Widhi bersifat acintya yakni beliau tak terpikir,
artinya tak bisa dijangkau oleh daya nalar dan daya pikir manusia yang
terbatas, sebab beliau adalah tak terbatas. Beliau bersifat nir, yang artinya sangat gaib. Namun
dalam kegaiban tersebut beliau sangat nyata. Nah inilah rahasia Ida Sanghyang Widhi
yang tak tak terpikirkan oleh manusia.
Oleh
karena ketidakterbatasan Ida Sanghyang Widhi Wasa, maka manusia menyederhanakan
pemahaman Hyang Widhi dalam wujud Betara Sesuhunan, sehingga akan terasa lebih
dekat, terasa lebih terjangkau oleh daya nalar manusia. Manusia mewujudkan
Betara Sesuhunan dalam berbagai wujud sesuai dengan daya nalar manusia, serta
sesuai dengan fungsi yang diharapkan. Ida Betara Sesuhunan adalah perwujudan
Hyang Widhi secara praktis di mata manusia penyembahnya.
Untuk
mewujudkan rasa bhaktinya kehadapan Ida Betara Seusuhunan, maka manusia
melakukan berbagai macam Dewa Yadnya agar Ida Betara Sesuhunan berkenan dengan
pengorbanan dan rasa bhakti manusia. Dan atas dasar yadnya tersebut manusia memohon
angurah kepada Ida Betara Sesuhunan. Apakah anugrah kesejahteraan, umur panjang,
rejeki, kesehatan, dll.
Dalam
euporia beryadnya ini, umat mempersembahkan berbagai macam wali sebagai wujud
rasa bakti kepada Ida Betara Sesuhunan beserta dengan para ancangan atau pengawal beliau, mempersembahkan wali berupa
tetabuhan gambelan, nyanyian berupa kidung-kidung dan kekawin, termasuk juga
tarian. Salah satunya yang kerapkali diselenggarakan adalah topeng yang
dianggap sebagai tari wali.
Kenapa
topeng dinyatakan sebagai tari wali, karena topeng yang dipersembahkan ketika
upacara berlangsung sejatinya adalah tari Topeng Sidakarya. Namun sebelum
topeng sidakarya yang merupakan wali, maka didahului dengan topeng-topeng
lainnya dan menampilkan cerita tertentu. Cerita yang ditampilkan biasanya kisah
dari upacara yadnya tersebut, atau mengisahkan mengenai suatu tempat dimana
yadnya tersebut diselenggarakan dll. Artinya pementasan topeng wali yang
diselenggarakan dalam rangka yadnya tersebut menjadi suatu hal yang nyambung
atau satu kesatuan dengan yadnya yang diselenggarakan. Sehingga dengan demikian
topeng yang diselenggarakan tersebut benar-benar menjadi tari wali yakni tari
yang dipersembahkan kehadapan Ida Betara Sesuhunan. Atau paling tidak topeng
tersebut dapat melengkapi kekuarangn dari yadnya itu.
Kerapkali
antara tari topeng yang dilakoni berbeda jauh dari tujuan yadnya yang
diselenggarakan. Topeng tersebut hanyalah menjadi pertunjukan saat yadnya.
Karena apa yang diceritakan sama sekali tak menyentuh hakekat yadnya itu
sendiri, tak menyentuh daerah dimana yadnya tersebut dilaksanakan. Menjadilah topeng
itu sebagai pertunjukan yang hanya meramaikan, tanpa pernah melengkapi apalagi
memberi makna lebih kepada yadnya yang diselenggarakan. Hanya terkesan sekedaar
sisipan alias “ngaduk-ngaduk” (maaf) dalam yadnya. Kenapa dikatakan ngaduk-ngaduuk,
karena topeng tersebut mulai ketika Ida Pedanda mulai mepuja, dan segera berakhir
ketika kramaning sembah akan dimulai. Yang sejatinya diperlukan dalam hal ini
hanyalah pementasan topeng Sidakraya, dengan harapan agar yadnya yang diselenggarakan
sukses sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Berdasarkan
apa yang terjadi di lapangan, tampaknya pregina topeng mesti banyak membaca
babad yang akan menceritakan asal usul suatu tempat, asal usul suatu kelompok
masyarakat, sebab musabab terjadi sesuatu, dll. Ternasuk juga para pregina
topeng mesti mengerti ketattwan agama dan yadnya. Sehingga ketika topeng dipentaskan
dalam suatu yadnya, maka secaras otomatis dalam improvisasinya pregina topeng
akan mengulas serta memberi makna terhadap yadnya tersebut. Apalagi kemudian
bisa memberikan niali-nilai moral budi perkerti terhadap yadnya tersebut. Menjadikan
yadnya tersebut benar-benar bermakna.
Kerapkali
penari topeng tak gemar membaca, tak banyak mengerti mengenai cerita babad, dan
ketattwan agama. Padahal modal utama dari seorang penari topeng bukan terletak
kepada agem, tapel, serta pakain yang ngereneb,
dan kelucuannya, melainkan sejauhmana penari topeng itu memahami babad,
memahami ketatwan agama dan yadnya. Seperti Topeng Tugek yang terkenal dari
Carangsari yang diperankan oleh Gusti Widya. Tapel yang belaiu gunakan bukanlah
tapel baru, bukan pakaian yang ngereneb.
Bahkan pakaiannya terkesan lusuh. Namun penampilannya begitu memukau dalam setiap
karya yadnya. Karena pesan-pesan serta kemampuannya mengulas setiap yadnya yang
diselenggarakan saat mentas. Sehingga satua menjadi seken (berisi), tutur menjadi wayah
(berbobot) dan memberikan sesuatu penyegaran kepada penonton. Apalagi disertai
bebanyolan yang cerdas. Bukan bebanyolan seadanya apalagi jejaruhan (porno-pornoan).
Sangat
jauh berbeda dengan jaman sekarang, dimana penari topeng wali sibuk mencari
lelucon dengan cara contek sana contek sini, begadang di tv sampai tengah malam
untuk mendapatkan inspirasi tentang lelucon, dengan harapan para penonton akan
ketawa. Tanpa mereka pernah mencari tatwa
agama, yadnya dan babad. Hal ini mungkin menjadi suatu kritik bagi para penari
topeng yang hanya mengejar tawa penonton, tanpa diimbangi dengan pesan-pesan
untuk meningkatkan srada dan bhakti kehadapan Ida Betara Sesuhunan. Kalau hanya
mengundang tawa, yah itu namanya topeng hiburan dan bukan topeng wali. Penyelenggaraannya
pun berbeda yakni tidak pada saat Ida Pedanda mepuja. Tempatnya pun mesti
dijaba, setelah Ida Pedanda mepuja atau setelah kramaning sembah. (Ki Buyut
Dalu/inks).
No comments:
Post a Comment