Wednesday, August 5, 2015

Pregina Topeng Mesti Paham Babad dan Tattwa Agama




Krama Bali saat ini mengalami euporia beryadnya sebagai wujud rasa bhakti kehadapan Ida Betara Sesuhunan. Kenapa Betara? Karena betara sebagai perwujudan terdekat dari Ida Sanghyang Widhi Wasa. Sebab berbicara Ida Sanghyang Widhi Wasa sungguh-sungguh suatu yang sangat jauh dan boleh dikata sesuatu yang tak terjangkau oleh pikiran manusia. Karena Hyang Widhi bersifat acintya yakni beliau tak terpikir, artinya tak bisa dijangkau oleh daya nalar dan daya pikir manusia yang terbatas, sebab beliau adalah tak terbatas. Beliau bersifat nir, yang artinya sangat gaib. Namun dalam kegaiban tersebut beliau sangat nyata. Nah inilah rahasia Ida Sanghyang Widhi yang tak tak terpikirkan oleh manusia.
Oleh karena ketidakterbatasan Ida Sanghyang Widhi Wasa, maka manusia menyederhanakan pemahaman Hyang Widhi dalam wujud Betara Sesuhunan, sehingga akan terasa lebih dekat, terasa lebih terjangkau oleh daya nalar manusia. Manusia mewujudkan Betara Sesuhunan dalam berbagai wujud sesuai dengan daya nalar manusia, serta sesuai dengan fungsi yang diharapkan. Ida Betara Sesuhunan adalah perwujudan Hyang Widhi secara praktis di mata manusia penyembahnya.
Untuk mewujudkan rasa bhaktinya kehadapan Ida Betara Seusuhunan, maka manusia melakukan berbagai macam Dewa Yadnya agar Ida Betara Sesuhunan berkenan dengan pengorbanan dan rasa bhakti manusia. Dan atas dasar yadnya tersebut manusia memohon angurah kepada Ida Betara Sesuhunan. Apakah anugrah kesejahteraan, umur panjang, rejeki, kesehatan, dll.
Dalam euporia beryadnya ini, umat mempersembahkan berbagai macam wali sebagai wujud rasa bakti kepada Ida Betara Sesuhunan beserta dengan para ancangan atau pengawal beliau, mempersembahkan wali berupa tetabuhan gambelan, nyanyian berupa kidung-kidung dan kekawin, termasuk juga tarian. Salah satunya yang kerapkali diselenggarakan adalah topeng yang dianggap sebagai tari wali.
Kenapa topeng dinyatakan sebagai tari wali, karena topeng yang dipersembahkan ketika upacara berlangsung sejatinya adalah tari Topeng Sidakarya. Namun sebelum topeng sidakarya yang merupakan wali, maka didahului dengan topeng-topeng lainnya dan menampilkan cerita tertentu. Cerita yang ditampilkan biasanya kisah dari upacara yadnya tersebut, atau mengisahkan mengenai suatu tempat dimana yadnya tersebut diselenggarakan dll. Artinya pementasan topeng wali yang diselenggarakan dalam rangka yadnya tersebut menjadi suatu hal yang nyambung atau satu kesatuan dengan yadnya yang diselenggarakan. Sehingga dengan demikian topeng yang diselenggarakan tersebut benar-benar menjadi tari wali yakni tari yang dipersembahkan kehadapan Ida Betara Sesuhunan. Atau paling tidak topeng tersebut dapat melengkapi kekuarangn dari yadnya itu.
Kerapkali antara tari topeng yang dilakoni berbeda jauh dari tujuan yadnya yang diselenggarakan. Topeng tersebut hanyalah menjadi pertunjukan saat yadnya. Karena apa yang diceritakan sama sekali tak menyentuh hakekat yadnya itu sendiri, tak menyentuh daerah dimana yadnya tersebut dilaksanakan. Menjadilah topeng itu sebagai pertunjukan yang hanya meramaikan, tanpa pernah melengkapi apalagi memberi makna lebih kepada yadnya yang diselenggarakan. Hanya terkesan sekedaar sisipan alias “ngaduk-ngaduk” (maaf) dalam yadnya. Kenapa dikatakan ngaduk-ngaduuk, karena topeng tersebut mulai ketika Ida Pedanda mulai mepuja, dan segera berakhir ketika kramaning sembah akan dimulai. Yang sejatinya diperlukan dalam hal ini hanyalah pementasan topeng Sidakraya, dengan harapan agar yadnya yang diselenggarakan sukses sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Berdasarkan apa yang terjadi di lapangan, tampaknya pregina topeng mesti banyak membaca babad yang akan menceritakan asal usul suatu tempat, asal usul suatu kelompok masyarakat, sebab musabab terjadi sesuatu, dll. Ternasuk juga para pregina topeng mesti mengerti ketattwan agama dan yadnya. Sehingga ketika topeng dipentaskan dalam suatu yadnya, maka secaras otomatis dalam improvisasinya pregina topeng akan mengulas serta memberi makna terhadap yadnya tersebut. Apalagi kemudian bisa memberikan niali-nilai moral budi perkerti terhadap yadnya tersebut. Menjadikan yadnya tersebut benar-benar bermakna.
Kerapkali penari topeng tak gemar membaca, tak banyak mengerti mengenai cerita babad, dan ketattwan agama. Padahal modal utama dari seorang penari topeng bukan terletak kepada agem, tapel, serta pakain yang ngereneb, dan kelucuannya, melainkan sejauhmana penari topeng itu memahami babad, memahami ketatwan agama dan yadnya. Seperti Topeng Tugek yang terkenal dari Carangsari yang diperankan oleh Gusti Widya. Tapel yang belaiu gunakan bukanlah tapel baru, bukan pakaian yang ngereneb. Bahkan pakaiannya terkesan lusuh. Namun penampilannya begitu memukau dalam setiap karya yadnya. Karena pesan-pesan serta kemampuannya mengulas setiap yadnya yang diselenggarakan saat mentas. Sehingga satua menjadi seken (berisi), tutur menjadi wayah (berbobot) dan memberikan sesuatu penyegaran kepada penonton. Apalagi disertai bebanyolan yang cerdas. Bukan bebanyolan seadanya apalagi jejaruhan (porno-pornoan).
Sangat jauh berbeda dengan jaman sekarang, dimana penari topeng wali sibuk mencari lelucon dengan cara contek sana contek sini, begadang di tv sampai tengah malam untuk mendapatkan inspirasi tentang lelucon, dengan harapan para penonton akan ketawa. Tanpa mereka pernah mencari tatwa agama, yadnya dan babad. Hal ini mungkin menjadi suatu kritik bagi para penari topeng yang hanya mengejar tawa penonton, tanpa diimbangi dengan pesan-pesan untuk meningkatkan srada dan bhakti kehadapan Ida Betara Sesuhunan. Kalau hanya mengundang tawa, yah itu namanya topeng hiburan dan bukan topeng wali. Penyelenggaraannya pun berbeda yakni tidak pada saat Ida Pedanda mepuja. Tempatnya pun mesti dijaba, setelah Ida Pedanda mepuja atau setelah kramaning sembah. (Ki Buyut Dalu/inks).  

No comments:

Post a Comment