Keyakinan Hindu Bali sangat beda dengan Hindu di
India. Hindu Bali merupakan perpaduan bermacam sekte dan kepercayaan pra Hindu.
Kepercayaan Pra Hindu yang masih kelihatan sampai sekarang adalah keyakinan
akan kekuatan benda-benda, tempat kramat dan pemujaan kepada leluhur yang
dikenal dengan animisme dan dinamisme. Tradisi penyembahan kepada leluhur
diwujudkan dalam berbagai bentuk pemujaan berupa sanggah atau merajan, merajan agung, dadia, panti, pedharman,
dan kawitan, Semuanya merupakan
pemujaan kepada leluhur yang telah suci, selain pemujaan kepada Hyang Widhi.
Inilah yang menjadi pembeda antara Hindu Bali dengan
Hindu di India. Kedatangan Hindu memberikan makna dan memantapkan apa yang
diyakini oleh nenek moyang jaman pra Hindu. Ada kalangan mengatakan bahwa Hindu
Bali adalah agama leluhur, maksudnya bahwa cara paling dekat/mudah menuju Tuhan
adalah melalui pemujaan leluhur yang sudah suci. Sebab dengan keterbatasannya,
manusia sulit untuk mencapai Ida Sanghyang Widhi, sehingga memerlukan proses
berjenjang, yakni menyembah leluhur, bertara-betari, dewa-dewi, terus ke
tingkat Hyang Maha Tunggal. Terdapat suatu keterkaitan antara manusia yang
masih hidup dengan leluhurnya yang telah meninggal, yang melahirkan keterikatan
dengan hukum kawitan. Baik buruknya
kehidupan pretisentana (keturunan)
tak terlepas pula dengan leluhur pada masa lalu. Ada sebuah hukum waris dimana
kesalahan para leluhur terdahlulu diyakini dapat mempengaruhi kehidupan
pretisentana di dunia ini. Sebaliknya, kebaikan, ketenangan dari para leluhur
di alam sana akan sangat dipengaruihi oleh prilaku para keturunan di mercapada. Terdapat hubungan langsung
maupun tak langsung antara manusia dengan leluhur di alam sana.
Atas dasar tersebut, krama Hindu meyakini ada hukum
karmapala yang merupakan hukum Tuhan, hukum negara yang mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara, dan hukum kawitan yang melandasi hubungan manusia
dengan leluhur yang diyakini saling mempengaruhi. Atas dasar tersebut, umat
Hindu Bali sangat berkepentingan memuliakan leluhur, agar mereka tak terkena tulah atau hukum kawitan, sesuai dengan bhisama leluhur bahwa jangan sekali-kali
melupakan leluhur, kawitan. Apabila itu dilanggar maka akan menyebabkan
kehidupan di dunia tak akan tentram.
Untuk itulah manusia Bali memelihara pura kawitan dan
mesti tahu dari soroh (golongan)
apa mereka. Hal inilah memunculkan
soroh-soroh di Bali yang bertahan sampai sekarang.
Dalam perkembangan sejarah, tak semuanya dapat
mengetahui sorohnya masing-masing, sebab tak semuanya peduli dengan hal
tersebut. Demikian juga karena situasi jaman, dimana jaman dahulu banyak
terjadi peperangan diantara raja-raja, keluarga dengan keluarga. Yang menang
berkuasa, yang kalah akan dihukum mati atau diasingkan ke tempat jauh, atau
kalau mereka tak tertangkap maka mereka akan pergi sejauh-jauhnya untuk
menghindari buruan para pemenang perang. Dengan demikian banyak sekali
masyarakat maupun prajurit lari dari tanah kelahirannya meninggalkan merajannya
untuk menyelamatkan diri, sampai akhirnya anak cucunya tak mengetahui dari
golongan apa mereka, darimana asalnya, siapa leluhurnya, dll. Di sisi lain
banyak orang nyineb wangsa (menyembunyikan
soroh) demi keselamatan pribadi. Hal itu berlangsung turun-temurun menyebabkan banyak yang
tak tahu sorohnya.
Ketika jaman penjajahan banyak
penduduk dikirim ke sana kemari untuk kepentingan penjajah, entah sebagai
prajurit, budak (tenaga kerja), dll. Banyak yang jauh dari tanah leluhur,
semakin lama semakin hilang. Termasuk
adanya pemindahan penduduk oleh pemerintah Belanda dalam bentuk kolonisasi (sekarang: transmigrasi). Hal
ini juga terjadi pada jaman pemerintahan negara Indonesia.
Sekarang pun banyak yang kehilangan jejak sorohnya.
Kemajuan jaman, kemajuan ekonomi meyebabkan transportasi dan hubungan antar
daerah sangat gampang. Orang bisa saja dalam waktu singkat mencapai tempat yang jauh dari tanah
kelahirannya. Kemudian dengan perkembangan jaman dan teknologi, banyak orang
datang ke suatu tempat yang banyak terdapat pekerjaan, menetap di sana secara
turun temurun. Atas kesibukannya, mereka jarang pulang yang menyebabkan anak
cucunya kehilangan jejak asal-usulnya.
Kasuen-suen (lama kelamaan) banyak orang Bali mengalami suatu
hal di luar akal. Banyak mengalami masalah seperti sakit tak sembuh-sembuh,
cekcok dalam rumah tangga, kemiskinan, kemelaratan, dll. Berbagai macam upaya dilakukan namun tak kunjung
teratasi. Sampai akhirnya nunasin
(bertanya kepada orang pintar). Anehnya kebanyakan dari mereka mengatakan kesisipan karena kawitan (hukuman kawitan). Kemudian banyak orang mencari kawitan, agar tak kesisipan kawitan,
sampai akhirnya gejala ini ngetren
dalam beberapa dasa warsa belakangan ini. Ada sebagian orang
tak mengalami apa-apa, namun melihat banyak orang mencari kawitan, mereka seolah-olah disadarkan untuk ikut mencari siapa
sebenarnya dirinya, darimana dirinya, dan siapa leluhurnya. Trend mencari kulit/soroh (klan), mencari jati diri,
mencari identitas keluarga, agar tak salah dalam menerapkan sesana (kewajiban) keluarga seperti apa
yang telah disuratkan dalam bhisama.
Mereka yang kehilangan kawitan mencarinya dengan menelusuri dimana mereka melakukan
persembahyangan seperti merajan, paibon, panti, dadya, dll. Jika hal itu tak
terlacak, maka menelusurinya melalui nunasang
kepada orang pintar sampai akhirnya didapat sorohnya. Ada pula yang menelusuri
lewat sastra seperti babad, prasasti, pamancangah, dll. Atau menelusuri sorohnya dengan menanyakan ke
grya siwa-nya. Sebab di grya banyak
tersimpan lontar mengenai sastra agama, babad, prasasti soroh tertentu, dll. Konon
ketika Ida Danghyang Nirartha yang waskita
mengetahui bahwa beliau sudah waktunya kembali ke sunyaloka, beliau kemudian men-diksa
putra-putra beliau untuk menjadi pendeta. Beliau bersabda agar semua soroh masyarakat di Bali berguru (mesiwa) kepada putra-putra beliau yang
telah di-diksa untuk belajar agama,
dll. Mulai saat itu kemudian hubungan antara siwa (sang sulinggih) putra dari Ida Danghyang Nirartha dengan
berbagai soroh seperti I Pasek, dll menjadi sisya
di grya. Dalam kelanjutan hubungan tersebut dari pihak grya kemudian mendata
para sisya beliau. Siapa sisyanya,
soroh apa, dimana kawitannya dll. Banyak dari para sisya dibuatkan prasasti kawitan (lelintihan) di grya sebagai catatan mengenai leluhur mereka. Ada yang
prasastinya dibawa pulang untuk disungsung secara pribadi di rumah I Pasek atau
soroh lain. Banyak pula yang dibiarkan di grya, sebagai dokumentasi dan catatan
dari Ida Bagus mengenai sorohnya. Sehingga sampai sekarang banyak prasasti
soroh tertentu yang tersimpan atau dilinggihkan di grya.
Karena ada angga
grya yang tuna rungu atau mungkin terlalu tenget, menyebabkan prasasti atau
lontar yang memuat lelintihan
sekelompok sisyanya sejak dulu tak pernah dibaca atau dibuka. Banyak yang tak
tahu kalau dalam sekumpulan cakepan
di grya tersebut terselip beberapa prasasti lelintihan dari soroh tertentu,
tanpa diketahui oleh pemiliknya.
Dokumen-dokumen yang tersimpan di grya pada umumnya
selamat saat jaman penjajahan. Sebab grya dianggap bukan sebagai ancaman Belanda,
karena dianggap tempat belajar dan tempat para pendeta. Yang dianggap ancaman
adalah puri, sehingga banyak puri yang dihancurkan, dijarah oleh penjajah.
Banyak pusaka yang dibawa ke luar negeri, banyak sastra di puri dibawa sebagai
rampasan perang. Mungkin banyak prasasti-prasasti para parekan dan soroh-soroh di suatu kerajaan dibawa ke Belanda.
Mungkin saja suatu saat I Pasek yang tak menemukan soroh karena prasastinya tak
ada, malah menemukan prasasti leluhrunya di Belanda. Bisa jadi. Sedangkan untuk
prasasti di grya relatif aman.
Belakangan ini banyak keluarga I Pasek menemukan
prasastinya, menemukan soroh dan kawitannya di grya siwa-nya. Hal ini bisa terjadi karena I Pasek sampai saat ini masih
menjaga hubungan antara siwa dan sisya. Ini adalah salah satu jalan untuk
menemukan soroh. Dengan diketahui sorohnya, I Pasek menjadi galang apadang. Sepertinya I Pasek
mendapatkan mataharinya yang hilang. Seolah-olah jalan hidupnya diterangi oleh
sinar suci para lelehur.
Itulah I Pasek yang kelimpungan mencari kawitannya,
dan menemukannya di griya siwa-nya.
Walaupaun demikian, masih banyak pula sampai sekarang tak ketemu dimana
kawitannya. Mereka sudah menyusuri berbagai macam jalan namun belum ketemu
juga. Mungkin mereka harus masih bersabar untuk mencari ke banyak tempat lagi.
Sehingga merasakan dirinya berada dalam kegelapan, mereka merasakan rumah dan
keluarga mereka masih muram.
Mengetahui kawitan, berbhakti kepada leluhur, agar
hidup ini diterangi oleh sinar suci para leluhur dan mendapatkan sinar suci
dari para betara, dewa-dewi dan Hyang Tunggal. (buyut/kanduk).
Pada zaman belanda ,ada gerakan .rngumpulkan prasasti.
ReplyDeleteDisita, dihancurkan,atas perintah belanda, tapi tidak semua dihancurkan, banyak yang diselamatkan dan mungkin masih di simpan di gria dan puri. Cuma yang mana milik siapa sulit diketahui lagi