Ada sekian banyak krama adat yang hidup rantauan
merasa cemas ketika suatu saat nanti pulang kampung untuk menyelenggarakan
upacara terutama pitra yadnya. Karena upacara pitra yadnya dilaksanakan sesuai dengan
dresta, awig awig, atau desa mawacara, serta melibatkan krama banjar atau krama
desa. Mau tak mau krama yang ada di rantauan harus ke kampung halaman karena
terkait dengan sistem pemujaan Hindu Bali yang tak lepas dari Betara Hyang
Kawitan yakni para leluhur yang telah suci dan dipuja di Merajan Ageng maupun
di Paibon dan Panti / Dadia. Inilah yang menyebabkan krama Bali Hindu terikat
dengan tanah kelahirannya.
Ketika mereka berada di rantauan, maka
sudah otomatis mereka tak dapat berinteraksi secara keseharian dengan krama di
desa dalam kegiatan adat dan agama. Kecemasan mereka muncul ketika merasakan
adat di tanah kelahirannya yang dinilai keras atau kurang fleksible terhadap
perkembangan jaman. Lebih lebih mereka sudah kadung terbiasa dengan lingkungan
yang lebih moderat di tanah rantauan. Kerapkali mereka merasa asing, merasa
risih, atau mungkin cemas ketika pulang kampung. Suatu situasi yang makin
menjauhkan mereka dari masyarakat adat di kampung halamannya. Mereka mulai
serba sulit, mulai enggan, bahkan jarang mengikuti kegiatan adat. Di pihak
lain, adat dan masyarakat adat juga mulai memberi penilaian pada mereka ini.
Maka dalam situasi seperti ini, mulailah masyarakatt adat bicara, sangsi, adat
mulai bergeming. Sangsi adat yang sifatnya administratif seperti denda sesuai
dengan ketentuan mungkin bisa diterima. Namun yang dikawatirkan adalah sangsi
adat non administratif yang ditunggangi oleh kebiasaan yang sering disebut
dengan “suryak siyu”. Sangsi adat yang sifat diprovokatif oleh kelompok tertentu,
ditunggangi oleh sentimen pribadi, atau latar belakang lainnya. Hal seperti ini
sudah banyak dialami oleh krama rantuan. Namun tidak saja krama rantauan,
sangsi adat yang kaku juga kerap menimpa krama yang sehari harinya berdiam di
desa adat itu sendiri.
Aneh memang aneh, justru awig awig
menjadi senjata makan tuan, menjadi pisau yang menyayat diri sendiri. Kenapa
tidak, karena adat dan awig awig yang dibuat justru mengenai krama sendiri, bahkan
menyulitkan anak cucu sendiri kelak di kemudian hari. Situasi ini menimbulkan
banyak kasus adat di tanah ini, yang sebagaian besar menimpa krama adatnya
sendiri dan tak pernah ada penyelesaian yang jelas. Adanya “tradisi” mesbes bangke, “tradisi” ngarap, krama kesepekan, seorang krama
terusir dari tanah kelahirannya, dll. Yang sejatinya disebabkan oleh oknum -
oknum yang sigug melahirkan awig awig
yang kaku.
Semua itu sejatinya adalah “tindakan kriminal”
yang mengatasnamakan adat, tindakan amoral yang berlindung di balik awig awig,
dan justru sebagian orang menganggap bahwa itu adalah “tradisi”. Aneh memang
perbuatan demikian disebut tradisi. Seolah menggeser serta mengkerdilkan makna
tradisi itu sendiri. Padahal tradisi adalah kebiasaan - kebiasaan yang berlangsung
secara turun - temurun dalam sekelompok orang yang dilakukan secara sadar atas
dasar daya cipta, rasa dan karsa. Sedangkan dalam kasus adat hanyalah
berdasarkan egoisme, sentimen pribaddi atau kelompok, dendam bercampur emosi.
Banyak kasus adat yang dikatakan sebagai “tradisi” sebenarnya tindakan “kejahatan”
yang dilakukan secara berulang atas nama adat dan awig awig, tanpa pernah ada
yang mengontrol. Kejahatan yang dilakukan secara rutin dikatakan sebagai
“tradisi”. Ini sesuatu yang aneh dan aneh…
Bagi masyarakat yang berpikir humanis
dan moderat sudah tentu menilai sikap “tradisi” ini semestinya dihindari, jika tidak
bisa merubah apalagi melawan. Daripada “megarang balung” tak karuan, lalu
beberapa orang dari kalangan tokoh masyarakat mencoba untuk menempuh jalan
damai, jalan tengah terhadap situasi sulit yang dihadapi manusia Bali dalam
eksistensi adat. Dimana di satu sisi ada yang ingin mempertahankan adat secara
kaku dengan alasan keajegan Bali dan Hindu. Namun di sisi lain perkembangan
jaman menuntut adat beradaptasi. Dalam kepentingan ini, di beberapa desa adat menemukan
jalan keluar, namun di banyak desa tak menemukan jalan keluar sehingga konflik
adat mengemuka. Dan yang banyak menjadi sasaran adalah ketika penyelenggaraan
upacara pitra yadnya “ngaben”.
Atas dasar tersebut, lalu ada ide untuk
membuat krematorium yang sifatnya universal sebagai solusi kepada masyarakat
yang tertimpa konflik adat, dengan harapan mereka tetap dapat menjalankan
ritual agama tanpa harus berseteru dengan masyarakat adat di kampungnya. Sebagai
sebuah solusi, sudah tentu kehadiran krematorium bersifat terbatas dan
selektif. Hanya orang - orang yang memiliki masalah adat dan tak menemui jalan
keluar dalam waktu tertentu, barulah bisa dilakukan di krematorium. Termasuk
juga jalan keluar bagi masyarakat yang terkena sengker dewasa (batas
waktu hari baik) yakni ketika di suatu desa adat sedang menyelenggarakan dewa
yadnya di salah satu kayangan tiga, sehingga dalam jangka waktu beberapa bulan
tak boleh melakukan upacara pitra yadnya. Apabila kebetulan salah satu krama
ada yang meninggal dalam kurun waktu sengker dewasa tersebut, maka atas seijin
dari bendesa adat atau prejuru adat, dapat melakukan pacara pitra yadnya di
krematorium dalam batas upacara tertentu misalnya mekingsan di geni, dengan harapan keluarganya tak terlalu lama ngeraksa watangan (jasadnya lama tak diupacarai).
Hal ini juga sebuah jalan keluar walaupun bukan karena konflik adat. Artinya bahwa
semua dilakukan secara selektif, serta ada ijin dari bendesa atau prejuru adat
dimana yang bersangkutan terdaftar sebagai krama adat, sehingga pihak
krematorium tak disalahkan oleh adat tertentu.
Setelah sekian waktu berlangsung, justru
banyak orang berpaling ke krematorium. Orang yang tak ada masalah dengan desa
adat pun banyak yang melakukan upacara di krematorium, karena dirasa praktis
dan mungkin murah. Salah satu yang pertama adalah Krematorium Santayana di
Jalan Cekomaria, Peguyangan Kangin, Denpasar Utara. Rame - ramelah orang
melirik krematorium sebagai pilihan ketika melakukan upacara pitra yadnya. Di
pekuburan Cina juga sering dilakukan kremasi oleh krama adat tertentu. Bahkan ada
yayasan menyelenggarakan jasa pitra yadnya di pekuburan Katolik, dimana dekat
krematorium didirikan sebuah Pura Prajapati sebagai pengayatan terhadap
penguasa kuburan atau penguasa kematian menurut Hindu Bali.
Adanya perkembangan model krematorium
ini adalah sebagai produk dari perkembangan jaman, sehingga tak mungkin untuk
dicegah, bahkan diperkirakan akan semakin menjadi trend di masyarakat. Adanya
krematorium ini bagaikan hembusan angin segar bagi mereka yang ada di rantauan.
Mereka tak lagi dihantui perasaan was - was ketika nanti menyelenggarakan upacara
pitra yadnya seandainya masyarakat di kampungnya tak berkenan. Karena menjadi
trend, maka bisa jadi penyelenggara jasa ini tak selektif lagi, sehingga orang
berbondong bondong ke krematorium dengan mengabaikan peran desa adat atau
banjar adat ke depan. Eksistensi desa adat dalam mengkoordinasikan masalah
pitra yadnya menjadi kehilangan daya, sehingga terjadi kerancuan dalam
penyelenggaraan pitra yadnya.
Untuk hal tersebut, agar desa adat tak
kehilangan taring, maka perlu desa adat membuat awig - awig terhadap masyarakat
adatnya untuk melakukan kremasi di krematorium. Mesti ada aturan yang jelas,
mesti ada rambu - rambu dari pihak yang berkompenten, agar fenomena ini tak
kebablasan yang justru menyebabkan adat menjadi kehilangan kontrol terhadap
krama adatnya. Sebab keberadaan desa adat sampai saat ini sangat penting dan
menjadi tumpuan utama bagi Agama Hindu Bali. Diakui atau tidak, disadari atau
tidak bahwa Agama Hindu Bali sampai saat ini masih bertengger pada eksistensi
adat dan desa adat. Jika desa adat
menjadi lemah, maka Hindu Bali lambat laun akan mengalami kegamangan. Maka
sangat dipandang perlu kontrol oleh pihak yang berkopenten dalam hal ini apakah
Parisada atau Majelis Desa Pakraman.
Artinya pula bahwa penyelenggaraan
kremasi oleh jasa kremasi mesti diatur oleh adat dan pihak yang berwenang.
Pihak penyelenggara krematorium mesti diberi rambu - rambu dan diawasi sehingga
tak sembarangan menerima prosesi kremasi. Terutama bagi mereka - mereka yang
masih tercatat sebagai masyarakat adat di suatu desa adat tertentu. Ketika
sudah ada ijin atau rekomendasi dari
prejuru desa adat atau banjar adat, barulah penyelenggara jasa kremasi dapat
melakukannya.
Fenomena melakukan pitra yadnya di
krematorium ini adalah produk sejarah perkembangan jaman, serta sebagai ekses
dari “kekakuan” dan “keangkuhan” dari adat itu sendiri. Artinya, dengan adanya
alternatif krematorium ini, diharapkan adat yang masih kaku dapat lebih
fleksibel dalam mengadaptasi perkembangan jaman, sehingga tak terbelenggu
dengan situasi dan kondisi yang mungkin terkesan primitif yang justru menjadi bumerang
bagi adat dan krama adat, menjadi bom waktu bagi generasi berikutnya, serta menjadi
buah simalakama bagi Agama Hindu itu sendiri.
Sebagai akhir dari pembahasan ini adalah
“Adat memang harus dipertahankan sebagai pijakan dari Agama Hindu Bali, namun perkembangan
jaman mesti juga diadaptasi sebagai produk waktu sehingga tak akan menjadi bom
waktu bagi generasi Hindu ke depan”.
(Buyut/Kanduk
Supatra).
No comments:
Post a Comment