Sistem warna
yang berkembang jaman dahulu di Bali kemudian secara feodal diwariskan dan berkembang menjadi sistem kasta, telah membawa warna tersendiri
bagi kehidupan masyarakat Bali. Terserah orang mengatakan itu sebagai warna
yang tertuang dalam kitab Weda. Sedangkan penjabarannya berdasarkan peran atau
posisi di masyarakat, ataukah sebagai sebuah kasta yang merupakan kedudukan di
dalam masyarakat. Namun apapun namanya, di Bali yang namanya kasta atau warna
tersebut telah becampur dan dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat
Hindu Bali sejak jaman dahulu (semenjak Majapahit berkuasa di Bali). Masyarakat
Bali menjalankan semua itu dengan tulus iklas, masyarakat Bali menjalankannya
secara sistematis, yang memunculkan pola hubungan sosial masyarakat,
memunculkan adat-istiadat serta tataan sosial masyarakat seperti sekarang ini.
Terkait dengan
soroh, di Bali sebenarnya banyak ada soroh, yang maksudnya adalah garis
keturunan atau dinasti atau klan dalam masayarakat. Semenjak kekuasaan di Bali
dipegang oleh Majapahit, maka hal tersebut menjadi semakin jelas. Sejak
kemenangan Majapahit di Bali, maka kekuasaan dipegang oleh Majapahit dengan
menempatkan seorang Adipati di Bali yang kemudian bergelar Dalem. Demikian juga
dengan para arya sebagai panglima perang, kemudian ditempatkan tersebar di
seluruh wilayah di Bali, menjadi penguasa lokal sebagai bagian dari kekuasan
Majapahit di Bali. Mereka ini menjadi kelas masyarakat tersendiri di dalam
masyarakat Bali. Mereka-mereka ini kemudian menjadi orang-orang istana,
orang-orang berkuasa yang disebut dengan Wong Puri atau kalangan dalam istana.
Sebagai kebalikan dari di dalam istana atau di jero, maka ada orang yang berada
di luar jero. Siapakah ia? Mereka adalah para Bali (masyarakat Bali terdahulu)
yang dapat ditundukkan ketika ekspansi Majapahit ke Bali. Mereka kemudian
ditempatkan di luar istana, maka ia kemudian disebut dengan soroh jaba (jaba=luar) atau kalangan di
luar sitana, alias masyarakat biasa.
Dalam kaitannya
dengan kalangan jaba, maka tak semua
kalangan jaba tersebut adalah golongan kawula
(golongan sudra). Jaba hanyalah sebagai pembedaan mengenai tempat dan
kekuasaan. Kawula adalah mereka yang
menjadi parekan di jero atau istana atau pelayan, sedangkan sudra adalah dari
golongan kelas bawah yang sampai sekarang dalam definisinya tak begitu jelas di
Bali. Sehingga masyarakat awam mengatakan
bahwa mereka yang selain menak
(kesatrya, satrya Dalem dan Ida Bagus) dinyatakan sebagai sudra. Padahal bukan
demikian adanya.
Seperti halnya,
sesuai dengan keputusan Adipati Bali jaman
dahulu bahwa dari keturunan Pasek, Bandesa, dan lain-lainya ditempatkan sebagai
soroh jaba tapi bukan kawula atau bukan sudra. Karena mereka adalah para kesatrya Bali pada masa
pemerintahan sebelumnya, dan mereka juga adalah keturuan Brahmana pada jaman
sebelumnya.
Jadi dengan
demikian soroh jaba yang sebenarnya
adalah untuk membedakan posisi atau kedudukan dalam kekuasaan pada jaman
dahulu. Soroh jaba lebih kepada
kedudukan dan fungsinya di luar kekuasaan atau di luar istana. Sedangkan perkembangannya
di masyarakat sampai saat ini bahwa golongan / soroh jaba adalah golongan
rendah, atau pelayan atau parekan. Sebenarnya kalau menilik dari arti kata
serta posisi, maka pelayan di dalam istana pun sebenarnya adalah orang istana
atau wong puri, atau wong jero. Namun perkembangannya
sekarang bahwa yang dimasud dengan soroh
jaba tersebut adalah rakyat biasa dan bukan dari keturunan menak. (Kand).
No comments:
Post a Comment