I Runtag memang
seorang petani yang ulet dan polos. Tak ada pekerjaan lain yang dilakukannya
selain bergelut dengan lumpur. Ngedas lemah (subuh) ia sudah berangkat
ke sawah, siang masih di sawah sampai sore. Malam pun sudah biasa di sawah.
Itulah I Runtag seorang petani tardisional Bali dengan segala keluguannya. Dia
tidak sendirian, tetapi pada umumnya petani yang lain juga begitu keadaannya.
Sehingga di sawah tersebut tidak pernah sepi.
Diceritakan suatu hari I Runtag sudah menanam padi,
dan di pupuk. Ia tinggal menjaga keadaan air agar tanaman padinya tidak
kekeringan. Nah, kebetulan pada suatu hari air kali agak seret, dan ia kebagian
air paling belakang, karena sawahnya berada di tebenan atau hilir dari
barisan petak sawah. Maka ia mengairi sawahnya sampai malam. Krama petani yang
lainnya ketika itu sudah mendapatkan air. Tinggal sawah I Runtag yang belum
terairi.
Menjelang malam I Runtag datang ke sawah. Para petani
yang lainnnya sudah pulang tinggal ia sendiri di sawah. Malam itu juga sawahnya harus dapat air agar tidak
kekeringan besoknya. Maka berangkatlah ia ke sawah sendirian. Hujan gerimis
mengiringi langklahnya di kegelapan malam yang sunyi senyap. Tanpa pernah merasa takut sedikit pun karena
sudah biasa di sawah pada malam hari. Tetapi ketika itu ia sedikit makesieng
karena merasa sendirian. Tapi kemudian ia berusaha melawan rasa khawatir
tersebut agar tidak ketakutan.
Ia pun kemudian sampai di sawah. Pengalapan
(lubang saluran air) pun di buka agar air bisa mengalir ke petak sawah. Kondisi
air tidak begitu lancar ketika itu, sehingga ia selalu mondar mandir mengontrol
di petak sawah dan penajnag sungai. Siapa tahu ada sampah atau pepohonan yang
menghambat jalannya air. Ia mengontrol, sampai di hulu sungai, dan akhirnya
sampailah I Runtag di empelan atau grembengan atau bendungan
kecil di kali.
Dengan rasa percaya diri I Runtag melangkah pasti di
keremangan malam yang hanya di temani kunang-kunang, suara godogan,
dan suara pindekan (baling-baling). Ia lalu melihat sesosok
orang di dekat grembengan (bendungan
air kali) tersebut. I Runtag pun dengan ramah menyapa orang yang belum jelas
tersebut. Seperti biasa salam dari jauh mereka “weee… nyen to, ngudiang to ?
( eh, siapa itu, sedang apa di sana). Begitulah kata I Runtag dari jauh. Tapi
orang tersebut sama sekali tidak menyahut setelah dipanggil beberapa kali.
Selangkah kemudian I Runtag menuju ke grembengan
mendekati orang yang dikiranya sama dengan dirinya sedang mencari air di sawah.
Semakin dekat, sedikit jelas kelihatan sosok orang tersebut. Di lihatnya orang
tersebut memakai kamben duur entud, memakai baju batik, tetapi mukanya
belum kelihatan, dan tampaknya orang tersebut menyembunyikan mukannya dengan
kain putih. I Runtag dengan tanpa curiga macam-macam, ia menyapa orang
tersebut.
Mungkin tak tahan dengan keramahan I Runtag, akhirnya
ia mencoba bersikap ramah pula kepada I Runtag. Ia pun menyahut sambil
memperlihatkan wajahnya. Wehehehhhh…. Cang I Nyonyo Lambih, wehehehhhhh….
Demikian sahutnya, yang membikin I Runtag terkejut setengah mati. Karena
dilihatnya wajah orang tersebut berubah seperti umah tabuan (bagaikan
rumah tawon). Mukanya seperti celuluk dalam cerita calonarang. I Runtag pun
lari tunggang-langgang, meloncati kali dan ngengsut (nyangkut) di pohon galing-galing
dan glagah yang ada di pinggir kali tersebut. Karena saking takutnya, ia
tak merasakan sakit. Lari secepat mungkin biar sampai di rumah.
Akhirnya sampailah ia di rumah, yang membuat istri dan
keluarganya kaget tengah malam. Ia kemudian menceritakan kejadian tersebut
kepada keluarganya di rumah. Karena saking takut dan kagetnya ketika malam itu,
I Runtag kemudian menjadi tidak enak selama seminggu di rumah. Untuk sementara
urusan sawahnya diurus oleh anaknya yang paling sulung.
Berita tentang pengalaman I Runtag pun kemudian
menyebar dikalangan petani di sawah dan di banjarnya. Banyak yang datang
menengok dan bertanya kepada I Runtag di rumahnya ketika ia masih sakit.
Datanglah suatu hari I Dayuh, teman akrabnya. Mereka bercerita seadanya. I
Runtag pun ketika malam itu tidak tahu kalau malam tersebut adalah pemagpag
kajeng kliwon, menjelang tilem. Ditambah dengan suasana hujan gerimis, maka
itulah hari yang memang disukai oleh orang-orang untuk ngelekas. Karena
suasananya sepi dan mencekam, jadi tidak banyak orang keluar rumah, sehingga
tidak banyak gangguan. Nah apalagi kemudian pada malam itu lewat grembengan,
karena orang begitu suka di tempat itu, karena grembengan tempat yang angker
dan bagus untuk ngeleak. Belum lagi nanti kalau ada bangkai-bangkai binatang
yang nyangkut, kalau sudah menjadi leak, maka akan terasa nikmat baunya.
Padahal sejatinya baunya adalah sangat busuk.
Demikian I Dayuh mengingatkan I Runtag, kalau
bepergian malam, perlu juga melihat atau mengingat hari atau rerahinan. (Ki Buyut
/ Kand).
No comments:
Post a Comment