Ada fenomena menarik dalam sepuluh tahun
belakangan ini, dimana soroh merupakan suatu hal yang sangat dianggap penting
bagi kalangan Hindu Bali. Kenapa demikian, karena soroh sebagai sebuah lembaga
untuk mewujudkan bhakti kepada leluhur, dimana mansuai Bali mengenal tiga hukum
yakni hukum Negara, hukum karmapala, dan hukum kawitan. Hukum kawitan inilah
yang melandsasi manusia Bali tak boleh melupakan sejarah leluhur serta tak
melupakan asal usul keberadaannya. Sebab sesuai dengan amanat leluhur bahwa
apabila melupakan leluhur, maka seseorang akan menjadi gelap hidupnya, menjadi “paling”
(bingung) karena tak dilindungi oleh leluhur, tak mendapatkan tuntunan leluhur.
Sehingga banyak orang kemudian mengalami masalah dalam hiodup karena kesisipan (disalahkan)
oleh leluhur.
Kenapa bisa dermikian? Karena leluhur
jaman dahulu memberi pesan kepada pretisentananya agar tak lupa kepada leluhur
melalui bhisama. Melalui bhisama itu pula para leluhur menyertakan akibat
(kutukan) apabila melanggar. Kutukan inilah yang sampai saat ini banyak menimpa
pretisentana yang ada. Kutukan ini tidak
saja akan menimpa mereka yang masih beragama Hindu, tetapi juga bagi sentana
yang sudah beralih agama atau keyakinan. Artinya kutukan ini tak memandang
bulu. Lebih-lebih mereka yang melupakan adat dan keyakinan leluhur.
Dengan perkembangan jaman dan perjalanan
sejarah, memang banyak orang yang kehilangan jejak soroh akibat situasi politik
jaman dahulu, banyak orang yang pisah atau jauh dari asal usul kawitannya.
Selain itu demi keselamatan, ada pula yang nyineb wangsa (menyembunyikan
identitas). Sehingga samapai sekarang banyak yang kehilangan jejak soroh.
Sehingga banyak yang menjadi “soroh paling” yakni kelompok orang yang bingung
mencari identitas kawitannya.
Ada suatu cerita menarik terkait mereka
yang tadinya kebingungan mencari sorohnya, kemudian entah bagaimana, akhirnya
ia menemukan sorohnya. Ternyata mereka tergolong soroh yang dulu sebagai
penguasa. Mereka sangat bangga dengan hal tersebut, merubah namanya menjadi
imbuhan tertentu, menyatakan diri sebagai “soroh paling” yakni merasa paling
agung, paling tinggi, paling berkuasa, dll. Hal ini banyak terjadi di masyarakat
Bali saat ini. Banyak yang membawa-bawa nama besar leluhur hanya untuk mengagungkan
diri kepada kelompok lainnya, tanpa dibarengi dengan sesana atau keluhuran prilaku. Padahal kebesaran dan kemuliaan leluhur
jaman dahulu didapat dengan keluhuran budi, keberanian, kekuasaan, keperkasaan.
Kemuliaan itu bukan sebagai gelar yang didapat dalam mimpi semalam dengan aksesoris
kebesaran. Sehingga menjadilah dia “soroh paling ya”, “paling aeng”, “paling serem”,
“paling ajum”, paling… paling dan paling… alias bingung sendiri. Padahal maksud
dari pencarian soroh adalah untuk lebih meningkatkan keyakinan dan bhakti dalam
rangka memohon tuntunan kepada para leluhur. Hanya sebatas itu saja, agar para
leluhur memberikan pencerahan dan tuntunan hidup.
Ketika berbicara mengenai soroh, ada
suatu kejadian yang menggelitik di masyarakat. Ada sekelompok masyarakat yang sudah
turun temurun bersembahyang di pura ibu, panti, dadia dan pedarman soroh
tersebut. Namun beberapa tahun belakangan ini, ketika orang mulai ramai
membicarakan soroh, ada seseorang yang menggiring kelompok tersebut untuk bergabung
ke soroh tertentu yang menurutnya sebagai soroh yang lebih terhormat dan lebih
tinggi. Atas iming-iming kasta yang “lebih tinggi” maka kelompok masyarakat
tersebut sebagian berbondong-bondong mengikuti apa kata orang ini. Maka bergantilah
soroh mereka yang konon lebih tinggi.
Setelah berjalan beberapa tahun, entah
terjadi suatu musibah di dalam keluarganya secara beruntun dan tak masuk akal,
maka kelompok masyarakat ini menanyakan keadaan keluarganya kepada orang pintar
alias balian. Apa yang terjadi? Ternyata mereka ini mendapat peringatan, bahwa
jalan yang ditempuh saat ini salah alias keliru. Konon karena mereka bukan dari
golongan itu. Kenapa pula harus berpaling dari yang sudah benar diwarisi sejak
turun temurun. Semenjak itu pula, si kelompok yang tadinya sudah berpindah soroh,
kini kembali ke sorohnya semula dengan menghaturkan guru piduka ke pura Ibu,
Panti, Dadia, dan Pedarman. Kasus seperti itu banyak terjadi, akibat seseorang
yang goyah iman diimingi masuk ke soroh yang lebih tinggi yang berlum tentu lebih
mulia.
Ada lagi kejadian bahwa sekelompok
keluarga tergabung dalam soroh kasta tinggi. Padahal sejatinya yang
bersangkutan itu adalah masyarakat biasa. Hal ini bisa terjadi bermula dari
yang bersangkutan sebagai parekan tatadan,
maka si parekan tersebut selalu ikut muspa dimana gustinya muspa. Setiap
odalan ia tangkil ke pura atau merajan gustinya untuk menunjukkan rasa hormat
serta bhaktinya kepada gusti dan leluhur gustinya. Hal ini berlangsung terus
secara turun temurun. Sampai akhirnya pada sekian generasi, keturunan si
parekan sayang tadi tak tak tahu dengan asal usulnya yang sejati, karena ia
selalu membuntuti gustinya. Demikian juga dengan keturunan gustinya tak
mengetahui persis asal usul dirinya dan parekan tadi. Tetapi karena mereka
sama-sama ngaturang bhakti di pura dan merajan yang sama, maka mereka
menganggap dirinya satu darah atau satu kawitan, alias satu soroh. Padahal
awalnya adalah hubungan dekat antara parekan
dan gusti. Demikian banyak yang
terjadi di lapangan. (Kanduk/buyut).
No comments:
Post a Comment