Kembali cerita datang dari tanah Nusa Penida.
Kisah ini dialami oleh Tut Badeng Senged yang sehari-harinya sebagai seorang
petani rumput laut di desanya. Pada suatu hari terik matahari menyengat menyianri
tanah Nusa Penida. Saat itu adalah saat yang baik untuk turun ke laut menanam
rumput laut. Tut Badeng Sengged ngeblok permukaan bibir pantai sekitar lima
puluh are ditanami rumput laut bersama istrinya Ni Luh Made Pemulu Nyandat
Gading. Tut Badeng S bersama dengan istri sejak pagi sudah berada di laut,
sampai siang dan bahkan sampai malam. Ia pun membawa bekal makanan ke pantai.
Begitulah pekerjaannya setiap hari. Pulang pada malam hari. Ketika sampai di
rumah anaknya sudah tidur, dan ketika mereka berangkat kerja, anaknya masih tidur
Jadi jarang mereka bercengkrama dengan anaknya.
Suatu hari I Ketut Badeng Senged berada
di laut besama istrinya sampai malam hari, karena bulan purnama. Setelah
selesai bekerja dan merasa lelah, ia bergegas untuk pulang sambil membawa
beberapa rumput laut. Sebelumnya ia mengambil sepeda motornya yang ditaruhnya
sekitar dua ratus meter dari tempat ia bekerja di bibir pantai. Saat itu memang
ia sendiri yang masih di laut, yang lainnya sudah mendahului pulang.
Sepeda motor Yamaha Yupiter berwarna biru
kesayangannya diparkir di bawah pohon waru. Motor distarter …. dan hidup..
greng..greng…greng. Gas ditarik, lalu berjalan. Namun setelah beberapa meter
roda berputar di atas tanah yan berpasir, Ketut merasakan motornya agak seret
jalannya, dan terasa berat. Ia mencoba untuk ngeget motornya. Jalannyapun masih
lebih kencang, namun ia punya perasaan kok lari kendaraan masih berat. Ada apa.
Ia pun terus saja mengendarai motornya di jalan yang agak remang-remang. Dan
setelah beberapa saat itu kekawatirannya itu terjadi. Tak disangka ada sesuatu yang
melingkar memegang pingangnya. Seperti ada yang memeluk dirinya. Ia melihat ke
bagian pinggangnya, tak ada apa-apa. Namun seperinya ia sedang membonceng
seseorang. Perasaannya mengatakan bahwa istrinya masih di pantai dan sekarang akan
ke sana untuk menjemput. Ada apa ini? Demikian perasaannya.
Sambil pelan-pelan ia mencoba untuk menoleh
ke belakang yang sepi, tak ada apa-apa. Ia kembali mengendarai sepeda motornya.
Mungkin ini hanya perasaan saya saja, demikian kata hatinya. Setelah sekitar
dua puluh meter dari tempat semula ia kembali merasakan hal serupa, Kendaraannya
berat dan seret. Pinggannya kembali seperi ada yang memeluk. Sampai akhirnya ia
mencoba untuk melihat ke pingangnya, terlihat olehnya jari-jari manis putih memeluk
pinggangnya. Ia terkejut, kok ada waita cantik yang boncengan. Ia ingin tahu
wajahnya dengan wasa-was. Ia menoleh ke belakang. Tak dinyana dan tak diduga,
Ketut Badeng terkejut setengah mati, melihat sosok cantik putih berambut
panjang. Namun kepalanya botak setengah dengan mulut lebar nyonyok lambih. Rupanya ia sedari tadi diganggu oleh celuluk tersebut.
Tut Badeng jatuh tersungkur bersama dengan celuluk yang diboncengnya, bahkan
celuluk itu menindih badan Ketut Bdeng dalam posisi berciuman.
Cepat-cepat kemudian Tut Badeng
melepaskan diri dari cengkrama celuluk yang menikmati ciuman tersebut. Walaupun
bau badan celuluk itu miik alias harum, namun bon kah alias bau mulutnya sangat busuk. Hampir-hampir I Ketut
Badeng muntah dibuatnya. Ia merasakan bahwa ini ciuman yang paling tidak indah
yang pernah ia rasakan. Berciuman dengan celuluk mulut busuk.
Melihat Si Ketut sudah kalap, celuluk
tersebut kemudian tesenyum manis sambil berkelebat menghilang di balik pohon
kelapa. Ketut berusaha untuk menemukan celukuk kurang ajar tersebut, namun tak
ketemu. Ia menghujat celuluk tersebut dengan kata-kata “celuluk bangkan-bangkan
totonan….”
Iapun kemudian segera mengamil motornya
yang tersungkur di semak-semak berpasir, lalu menghidukannya. Sesampai di
pinggir pantai ia disapa oleh istrinya yang sudah lama menunggu. Tut Badengan
hanya bisa mengatakan bahwa tadi motornya mogok. Tut Badeng yang hatinya kesal
lalu membonceng istri cantiknya ke rumah, sambil membayangkan kejadian tadi.
Tak berselang lama, sampailah mereka di
rumah. Lalu beristirahat tidur. Keesokan harinya, mereka kembali ke pantai
untuk menanam rumput laut. Ketika istrinya sedang di tengah pantai menanam rum
put laut, I Ketut Badeng sedang menyiapkan bibit rumput laut di pinggir pantai.
Sedang asiknya ia bekerja, tiba-tiba datang seorang perempuan menghampirinya
dan tersenyum manis pada I Ketut Badeng. Perempuan manis itu berkata “kenken bli, nyak luwung sirepe ibi sanja.
Tiang ngipi megelut tur mediman ajak bbli ibi sanja. Sangkanang tiang sing
nyidang sirep kanti semeng. To awanan tiang mai, apang maan ketemu ajak beli”
Artinya: Bagaimana Bli, nyenyak tidurnya tadi malam? Saya mimpi beperlukan dan
berciuman dengan beli. Itu sebabnya saya tak bisa tidur sampai pagi. Itu pula
sebabnya saya menghampiri beli ke sini”.
Lagi-lagi perempuan bertubuh blentek (pendek gemuk) tersebut berkata
“saya senang sekali dengan mimpi saya yang atadi malam itu. Bagaimana dengan
beli, apa yang beli rasakan”. Mendengar semua itu, I Ketut menjadi kaget dan berpikir,
bisa jadi orang ini yang menjadi celuluk kemarin malam yang mengganggu dirinya.
Ketut berkata “eh lesung (panggilan untuk orang yang pendek gemuk)… rupanya kamu yang
kemarin malam menjadi celuluk dan menggangu aku. Tak tahu malu, masih saja engkau
mengejar aku sejak dulu. Awas sekali lagi kamu menggangguku akan aku ikat
engkau semalaman di pohon pandan”.
Mendengar omongan Ketut yan mulai kesal,
Ni Wayan Ani Yudayani alias Lesung segera pergi sambil tesenyum genit
cengengesan. I Ketut Badeng Senged pun tak bisa bebuat apa, sebab Ni Wayan Ani
Yudanyani dulu pernah menjadi kekasihnya. (*)
No comments:
Post a Comment