BERKESENIAN
DALAM RANGKA PEMUJAAN
Setiap Tahun di Bali kita
disuguhkan dengan suatu perhelatan akbar berupa pesta kesenian Bali. Dan tak asing lagi bahwa di dalamnya akan ada suatu
simbul dari pesta kesenian Bali yakni Siwa
Nataraja, selalu terpampang di atas candi bentar raksasa di Arda Candra, Taman Budaya
Denpasar. Rupanya banyak diantara kita belum mengetahui apa itu Siwa Nataraja
yang menjadi simbul tersebut.
Siwanataraja dalam fisolofi India dikatakan
sebagai perwujudan dari Dewa Siwa sebagai penari kosmis. Tarian tersebut
mengandung banyak makna, simbolisasi, filosofi, dan kreatifitas berkesenian,
khususnya kesenian di Bali. Kesenian dalam
perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak
dapat dipisahkan dari religius masyarakat Hindu Bali. Upacara yadnya yang
diselenggarakan di pura-pura juga tidak lepas dari kesenian seperti seni suara,
tari, karawitan, seni lukis, seni rupa, dan sastra. Candi-candi, pura-pura dan
dan lain-lainnya dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika,
etika, dan sikap religius dari para umat penganut Hindu di Bali.
Pregina atau penari dalam semangat
ngayah mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti kehadapan Hyang
Siwa yang pada hakekatnya adalah Ida Sanghyang Widhi Wasa. Di dalamnya ada rasa
bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni
itu sendiri yakni Dewa Siwa. Para seniman
ingin sekali menjadi satu dengan seni itu karena sesungguhnya tiap-tiap insan
di dunia ini adalah percikan seni. Dalam artian adalah Siwa Nata Raja
bersemayam dalam setiap insan di dunia ini.
Dalam mitologinya,
tarian-tarian diciptakan oleh Dewa Brahma, dan sebagai dewa tarian adalah Dewa
Siwa dikenal dengan sebutan Siwa Nata Raja. Beliau memutar dunia ini dengan
suatu gerakan-gerakan mistis yang disebut dengan mudra, yang memiliki kekuatan
gaib. Dimana setiap gerakan tangan dan
gerakan tubuhnya memiliki kekuatan, sehingga tarian ini tidak semata-mata mementingkan
keindahan rupa. Namun didasari atas gerakan mudra tersebut, sehingga tarian
tersebut memiliki kekuatan sekala niskala. Namun hanya beberapa saja dari
gerakan mudra itu yang dapat dijumpai dalam tarian Bali.
Namun demikian ciri khas tarian Bali dan nilai
artistic magisnya yang bersifat sekala niskala tetap kita jumpai, walaupun
tidak sepenuhnya dalam bentuk mudra.
Seniman Bali lebih banyak seniman
karya, dan sedikit yang menjadi seniman filsafat. Sebagai seniman
karya, seniman Bali mampu menghasilkan sebuah
karya seni yang bagus, dan bahkan monumental. Namun tidak banyak yang dapat
mengapresiasikan karyanya. Lain halnya dengan seniman filsafat, dimana seorang
seniman lebih berorientasi pada pengartian dari karyanya. Walaupun seringkali
karya tersebut kurang diminati oleh penikmatnya.
Tetapi demikianlah seniman Bali sebagai seniman karya. Mereka akan merasa bangga
apabila hasil karyanya dapat menghibur hati orang lain. Mereka tidak banyak
mengejar filosofi dari karya seninya tersebut. Mungkin pula karena
ketidakmengertian para pencipta tari Bali akan
jenis dan arti dari gerakan mudra yang berasal dari tarian kosmis Dewa Siwa
tersebut. Di samping itu yang namanya mudra di Bali
sangatlah sakral, hanya boleh digunakan oleh para sulinggih.
Bagi masyarakat Hindu Bali,
konsep dan filosofi Siwa Nataraja tidak saja perlu diketahui dan dipahami,
tetapi juga dipakai sebagai landasan filsafat di dalam berkesenian. Hindu Bali
yang Siwaistis, menempatkan Siwa sebagai Dewa tertinggi, Maha Kuasa, pencipta
seni, dan sekaligus sebagai tujuan dari kreatifitas seni. Visualisasi popular
dari Siwa adalah Lingga-Yoni. Bentuk antromorfik dari Siwa dapat
digambarkan menjadi dua yakni Ugra atau Ghora yakni menyeramkan. Aspek
saumya atau santa atau damai. Lingga-Yoni melahirkan aspek Siwa
dan Sakti.
Dari Siwa, segala bentuk
seni di dunia ini berkembang. Oleh karena itu Siwa dipuja oleh para seniman.
Dewa Siwa yang pertamakali melahirkan seni tersebut. Sebagai pencipta tarian,
Siwa berwujud Nrtyamurti. Siwa juga mengajarkan kesenian kepada
Dewa-Dewa dan umat manusia. Siwa juga disebut Adi Guru atau guru pertama
kesenian. Siwa juga sebagai guru yoga, musik, dan jnana (ilmu pengetahuan).
Siwa dalam wujud Siwa Nataraja adalah Siwa dalam
postur menari. Gerakannya sangat indah, ritmis dan eksotis mistik yang
menggetarkan siapa saja yang menyaksikannya. Gerakannya yang ritmis tersebut
sangat harmonis dan melahirkan keindahan. Gerakan dalam Siwa Nataraja adalah
juga merupakan simbolisasi dari Panca Aksara. Panca Aksara membentuk
tubuh Siwa. Tangan yang memegang api adalah Na, kaki yang menindih
raksasa adalah Ma, tangan yang memegang kendang adalah Si, tangan
kanan dan kiri yang bergerak adalah Wa, tangan yang memperlihatkan abhaya
mudra adalah Ya. Panca Aksara adalah kekuatan yang dapat menghapus
noda dan dosa. Si Wa Ya Na Ma, adalah mantra. Si mencerminkan Tuhan, Wa
adalah anugrah, Ya adalah jiwa, Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan, Ma
adalah egoisme yang membelenggu jiwa.
Tarian siwa melambangkan
pergerakan dunia spirit. Dalam tarian tersebut, semua kekuatan jahat dan
kegelapan menjadi sirna. Tujuan Siwa
menari adalah untuk kesejahteraan dan kerahayuan alam semesta, membebaskan roh
dari belenggu (mala), membebaskan
dari tiga ikatan yakni anawa, karma, dan maya. Siwa bukanlah sebagai penghancur, tetapi
sebagai regenarator (proses regenerasi). Siwa adalah sebagai manggala data atau
pemberi kesucian, dan ananda data yakni sebagai pemberi kebahagiaan.
Siwa menciptakan alam semesta dengan cara menari.
Secara konseptual Siwa
Nataraja sebagai wujud nyata diterapkan dalam aktifitas keagamaan di Bali yang selanjutkan mengalir menjadi bentuk-bentuk
kesenian. Gerakan tangan (mudra) tersebut kemudian berkembang menjadi
gerakan-gerakan anggota badan. Pada upacara yadnya terdengar weda mantra sang sulinggih, suara
genta, kidung, kekawin, gamelan, tarian, banten yang ditata indah adalah pada
dasarnya perwujudan rasa seni yang dipersembahkan kepada Tuhan.
Wayang sapuh leger
misalnya, adalah suatu paduan yang harmonis antara seni pertunjukkan dengan
filsafat ketuhanan. Dalam hal ini adalah permohonan perlindungan keselamatan
kehadapan Dewa Siwa. Ketika itu Sang Dalang memohon tirtha sapuh leger dengan
mencelupkan wayang Acintya, Sanghyang Tunggal, Sanghyang Licin
ke dalam sangku, selanjutnya tirtha tersebut digunakan untuk menghilangkan mala
secara niskala. Acintya dengan suku tunggal tersebut pada dasarnya adalah Siwa
Nataraja itu sendiri dalam tradisi Bali.
Seperti pula misalnya dengan
tarian telek, dimana Dewa Siwa menguji kesetiaan Dewi Giri Putri. Siwa
kemudian berpura-pura sakit dan hanya dapat disembuhkan dengan empehan lembu
(air susu lembu). Yangmana dari cerita tersebut kemudian muncul berbagai
macam kesenian tari dengan wujud masing-masing seperti baris, barong, rangda,
rarung, dan lain-lain.
Siwa Nataraja adalah upaya
pencarian kebenaran, kesucian, keharmonisan, melalui berkesenian (satyam,
siwam, sundaram). Berkesenian di dalam kaitannya dengan Hindu di Bali adalah
sebuah langkah pemujaan untuk menyatu dengan pencipta seni itu sendiri yakni
Dewa Siwa. Berkesenian adalah sebuah upaya mencari kepuasan bhatin, mencari
kesenangan, mencari keseimbangan, mencari pembebasan dalam penyatuan dengan
sang pencipta, yakni sumber dari seni itu sendiri yakni Sang Hyang Siwa.
Dengan memahami konsep Siwanata Raja dalam
berkesenian, sudah sepantasnya para seniman Bali
yang didasari atas ajaran Hindu, menggali lebih banyak mengenai tarian kosmis
Dewa Siwa. Karena dalam mitologi Siwa Nataraja, ada sekitar seratus delapan
gerakan yang memiliki makna yang sangat mendasar. Namun dalam prakteknya di Bali, tidak semua dikenal. Hanya beberapa hal yang
merupakan dasar-dasar tari Bali seperti tandang,
tangkep, seledet, tanjek, agem, piles dan lain-lain. Nantinya seniman Bali selain sebagai seniman karya, juga diimbangi dengan
kemampuan sebagai seniman filsafat.
No comments:
Post a Comment