“Jero Gede”
julukan untuk Barong Landung yang berwarna hitam (laki-laki), sedangkan “Jero
Luh” sebutan untuk Barong Landung yang putih (perempuan). Namun istilah Jero
Gede Jero Luh dalam hal ini bukanlah ditujukan untuk menyebut kedua sosok yang
disakralkan umat Hindu di Bali. Justru istilah ini digunakan oleh masyarakat
tradisional Bali sebagai sebuah sindiran bagi
mereka yang suka mengambil hak milik orang lain secara tidak sah alias korupsi.
Jero Gede Jero
Luh diartikan sebagai “Suba Gede Aluh Baan Nguluh” artinya kalau sudah besar, gampang
ditelan. Ungkapan ini digunakan oleh orang Bali
untuk menggambarkan perilaku manusia licik yang suka mengambil keuntungan dari
suatu lembaga atau kegiatan tertentu. Contoh yang paling klasik adalah di
banjar atau sebuah sekaa dengan susah payah anggota banjar atau anggota sekaa
mengumpulkan dana entah itu dari hasil pentas, iuran, atau mengumpulkan dana
dari jerih payah. Dikumpulkan dalam kurun waktu tertentu yang dikoordinir oleh
seorang kelian, dengan harapan ketika Galungan tiba, uang tersebut dibagikan sebagai
bekal hari raya.
Namun apa yang terjadi?
Seringkali anggota banjar menjadi kebakaran jenggot, gigit jari, bahkan ada
yang tersulut emosinya ketika mendengar dana yang ia simpan bersama warga yang
lainnya ternyata telah habis. Ada
yang secara polos mengakui bahwa dananya habis terpinjam oleh pengurus dan
akhirnya tak mampu mengembalikan. Ada
juga yang dananya habis, dibuatkan laporan tertulis fiktif digunakan untuk
kegiatan ini itu yang tak karuan, alias dana tersebut dikorupsi oleh pengurus.
Belum lagi seringkali catannya ada, uangnya raib tak ada cerita. Banyak istilah
kemudian muncul untuk kasus-kasus beginian di masyarakat seperti “sekaa maan ngedum
buku” artinya anggota rapat hanya dapat membagikan buku atau mendengar laporan
ketua, sedangkan uangnya sudah habis entah dipakai apa.
Dari kejadian
ini, lalu muncul ungkapan Jero Gede Jero Luh. Dengan susah payah para anggota
mengumpulkan dana dan sesudah terkumpul banyak, maka dengan gampang para
pengurus menggunakan atau menilep uang tersebut untuk keperluan pribadinya. Mental-mental
seperti ini sudah banyak terjadi dan akan menurunkan kredibilitas pengurus, dan
bahkan banyak organisasi yang bubar karena kasus Jero Gede Jero Luh, alias uang
organisasi banyak yang dikorupsi.
Ketika anggota
menuntut pertanggungjawaban, banyak diantara mereka yang menyatakan khilap
bahwa uang tersebut sudah kadung digunakan, dan tak mampu mengembalikan lagi.
Malah ada yang pasrah “silahkan mau diapakan saya silahkan”. Demikian sering
terjadi dalam masyarakat Bali terkait dengan
dana publik atau dana organisasi yang raib tanpa pengelolaan yang baik atau
karena sengaja ditilep oleh para pengurus.
Pernah juga kita
dengar lelucon di masyarakat tentang adanya pemaksan
yang ngedum basa artinya membagi
bumbu. Oleh karena dana yang semestinya digunakan untuk membeli nangka dan celeng
untuk ngelawar ternyata dihabiskan oleh kelian
pemaksan. Atau sering kita mendengar sebuah sekaa teruna yang menjadi
mandeg kegiatannya atau bahkan hampir bubar disebabkan karena laporan pertanggungjawaban
keuangan sekaa teruna tak karuan dan bahkan habis.
Kasus-kasus
tersebut di atas adalah sebagian kecil dari sekian banyak kejadian di
masyarakat Bali tentang penggerogotan atau
korupsi dana-dana masyarakat yang diistilahkan dengan “Jero Gede Jero Luh”.
Ini
artinya dunia korupsi atau praktek korupsi sebenarnya sudah terjadi sejak jaman
dahulu dengan berbagai motif. Cuman kadarnya saja yang berbeda. Kalau dulu hanya
sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup akibat tuntutan ekonomi keluarga, dan itupun
dilakukan secara tak sadar dan tak sengaja. Kadung
Demen, Celak-celek Dapetang Telah, artinya “kadung enak, diambil sedikit
demi sedikit, akhirnya habis”. (Ki Buyut Dalu/inks 2016)
Mantab penjelasanya detail dan padat
ReplyDelete