Sudah sekian banyak orang menganalisis
dan membicarakan mengenai simbol menjangan
saluang di dalam agama Hindu Bali. Namun dari banyak analisis itu justru memunculkan
banyak pendapat dari sudut pandang masing-masing yang makin membingungkan
masyarakat Hindu Bali. Ada yang mengatakan bahwa menjangan seluang itu berasal dari kata menjangan sakaluang yang konon artinya menjangan yang digunakan
sebagai tiang penyangga (saka) dari
bangunan pelinggih dimana kepala menjangan itu ditempatkan. Ada yang mengatakan
menjangan seluang sebagai simbol
pemujaan ke Majapahit. Ada pula yang mengatakan bahwa menjangan seluang adalah sebagai pemujaan kehadapan sang Panca Pandita
(Sang Panca Resi) yakni Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya, Mpu Bradah, dan
Mpu Gana. Ada pula yang menganalisa bahwa menjangan seluang sebagai simbol pemujaan
kehadapan Danghyang Dwijendra. Ada pula yang secara spesifik mengatakan
menjangan seluang adalah simbol untuk memuja secara khusus kehadapan Mpu
Kuturan yang telah banyak berjasa dalam menata kehidupan sosial keagamaan di
tanah Bali, serta konon kedatangan beliau ke Bali menunggangi hewan menjangan (rusa).
Dari sekian banyak versi tersebut kalau
diamati, ternyata semuanya mengarahkan simbol itu ke tanah Jawa, tertuju kepada
Sang Panca Pandita yang berasal dari Jawa. Demikian juga diarahkan kahadapan
Danghyang Dwijendra yang hijrah dari Jawa ke Bali. Majapahit sebagai simbol
dari kebesaran tanah jawa dan nusantara, Mpu Kuturan yang juga tadinya bermukim
di jawa. Dengan demikian ada suatu kesamaan bahwa simbolisasi dari menjangan seluang adalah simbol pemujaan kepada para leluhur yang ada di
tanah Jawa. Dimana eksistensi dari manusia Bali saat ini adalah keturunan dari
para Mpu, para Ksatria dan Wesia dari tanah Jawa.
Lalu bagaimana dengan simbol dari
menjangan (rusa) itu sendiri? Kenapa menjangan yang dipakai? Adakah mitologi
atau sejarah yang menyebutkan hal ini?. Rupanya sampai sekarang belum ada
jawabannya. Namun banyak yang mereka-reka bahwa simbolisasi menjangan tersebut
karena menjangan adalah sebagai binatang primadona di tanah Jawa kala itu.
Mungkin juga menjangan sebagai simbol kemuliaan pada masa itu. Para penganut Kuturanisme
meyakini bahwa menjangan adalah sebagai hewan kesayangan dan dimuliakan oleh Mpu
Kuturan.
Karena misteriusnya simbol menjangan tersebut dalam kaitannya
dengan keyakinan agama Hindu Bali, maka kata menjangan seluang itu pula menjadi suatu perdebatan yang sampai
sekarang masih memunculkan banyak versi. Namun dalam hal ini, penulis akan
mencoba untuk mengungkapkan sebuah penemuan secara tak sengaja mengenai kata MENJANGAN
SALUANG. Ceritanya begini:
Pada suatu hari penulis menonton acara
televisi yang mengungkap mengenai kebudayaan di Sumatera Selatan yang dahulu adalah
wilayah kekuasaan Majapahit. Dimana para ksatrya tanah Jawa menjadi penguasa di
tanah Sumatera. Dan sampai sekarang para bangsawawan Tanah Melayu ini sebaian
besar masih mewarisi Bahasa Jawa sebagai bahasa dalam keluarga mereka. Dalam
acara televisi tersebut membahas masalah tutup kepala yang sering digunakan
oleh kaum Muslim dalam bersembahyang (kalau dijawa disebut peci/songkok). Ada
suatu hal mengejutkan penulis bahwa tutup kepala oleh orang Sumatera disebut
dengan Saluak. Entah apa yang terjadi dengan pikiran penulis, ketika mendengar
kata saluak, pikiran penulis langsung
tertuju pada kata saluang yang di
Bali terdapat istilah “menjangan saluang” yang berwujud kepala menjangan.
Ada kedekatan dan bahkan kesamaan makna
antara kata saluak di Sumatera yang
berarti “kepala” dengan kata saluang dalam menjangan
saluang di Bali yang berwujud kepala rusa. Dengan
demikaian, tanpa berpikir panjang kita bisa menyatakan bahwa menjangan saluang berarti “kepala
menjangan” (kepala rusa). Sesuai dengan realitasnya yang disebut menjangan
saluang di Bali adalah kepala menjangan. Artinya bahwa misteri dari kata
menjangan saluang dalam hati penulis sudah terjawab.
Kini muncul pertanyaan lagi, dimana simbol
itu diletakkan?. Menurut pengamatan penulis bahwa simbol menjangan saluang diletakkan di Merajan Gede / Sanggah Gede.
Sedangkan merajan yang tingkatannya Kemulan Taksu tak dilengkapi menjangan
saluang. Kepala menjangan tersebut diletakkan pada pelinggih yang disebut Saren
Gede atau Saren Kaja (karena letaknya di utara). Saren Gede ini berfungsi
sebagai tempat menstanakan dan memuja para dewa-dewi (selain dewa-dewi yang sudah
dibuatkan pelinggih khusus di sanggah itu). Kalau dalam dunia manusia, Saren Gede
diibaratkan sebagai wisma besar yang diperuntukkan bagi semua hadirin atau para
tamu terhormat atau yang mulia darimana saja.
Ada juga yang menempatkan menjangan saluang
di Tajuk Pepelik. Dimana tajuk adalah sebagai sebuah wisma tempat menstanakan serta memuja
para dewa pada saat odalan. Kalau di beberapa daerah di Bali, tajuk juga disebut dengan Bale Pengaruman. Kalau dalam dunia manusia Tajuk diibaratkan sebagai ruangan
tamu atau pendopo untuk menerima dan menghormati serta untuk jamuan para
hadirin serta yang mulia. Tajuk di sanggah juga untuk memuliakan dewa-dewa dan
leluhur. Dalam kaitannya dengan penempatan menjangan saluang, berarti tajuk
tersebut juga difungsikan sebagai pengayatan kepada para leluhur di tanah Jawa.
Ada juga yang secara khusus membuat pelinggih menjangan saluang berupa gedong
yang dilengkapi dengan kepala menjangan sebagai pengayatan khusus kepada
dewa-dewa, kepada Sang Panca Pandita, dan para leluhur dia tanah Jawa.
Jadi dengan demikian, pemahaman mengenai
menjangan seluang sebenarnya sangat sederhana yakni “kepala menjangan”, sesuai
dengan tampilannya di setiap merajan di Bali. Menjangan Saluang adalah simbol
pengayatan kehadapan para Betara-Betari, Dewa-Dewi, dan para Mpu / Pandita
serta leluhur yang berasal dari Tanah Jawa. Jadi dengan demikian Menjangan Seluang
adalah simbol keterikatan rohani antara Tanah Bali dengan Tanah Jawa. (Ki Buyut
/ Kanduk).