Untuk mengawalai tulisan ini, ada
penulis ingin menyodorkan pertanyaan ini. “Benarkah orang Jawa telah
meninggalkan Hindu?”, “Benarkah sembilan puluh prosen penduduk Jawa telah
memeluk agama non Hindu?”
Jawabannya sudah bisa dipastikan relatif,
tergantung dari siapa yang menjawab, serta dalam sudut pandang mana. Tetapi
menurut penulis, jawabannya sudah pasti “tidak benar”. Orang Jawa sejak
masuknya agama baru – menurut sejarah dan menurut serat dharma gandul – orang Jawa sejatinya tidak banyak berubah
dalam hal keyakinan dari gempuran keyakinan baru. Aura tanah Jawa tak bisa
diubah begitu saja lewat keyakinan yang tak pernah mau memelihara tatanan masyarakat
adat dan keyakinan budaya leluhur. Pengasuh tanah Jawa tak sudi kalau tatanan
adat dan budaya Jawa ditinggalkan begitu saja. Hati nurani manusia Jawa tak
sepenuhnya dapat menerima dan memahami
keyakinan yang diimport dari tanah seberang. Jawa akan menjadi Jawa selamanya.
Keyakinan tanah Jawa adalah keyakinan abadi. Nurani tanah Jawa tak akan
kemana-mana, sulit untuk digoyang. Ada kalanya ia diam tak melawan, bukan
berarti mereka semuanya mati. Namun mereka menunggu sampai saatnya tiba dengan
tepat untuk muncul ke permukaan, tanpa harus membuat kegaduhan. Namun
kemunculannya akan selalu menarik perhatian, akan selalu menggoda, selalu
menyejukkan. Karena semuanya akan muncul dalam bentuk budi pekerti luhur
warisan leluhur tanah Jawa terdahulu.
Sejak jaman dahulu sampai sekarang,
manusia Jawa sejatinya tak meninggalkan Hindu dan budaya leluhurnya. Cuman
karena klaim dan propokasi serta propaganda dari kelompok tertentu, mengesankan
bahwa manusia Jawa telah meninggalkan Hindu sebagai roh dari Budaya Leluhurnya.
Sejatinya Hindu Jawa bagaikan sebuah balon lampu yang diselimuti debu, ia
tampak seperti apa yang dipropagandakan sekelompok orang, namun sejatinya ia
adalah masih seperti yang dulu, tak berubah. Perilaku manusia Jawa saat ini tak
ubahnya dengan perilaku manusia Jawa ketika memeluk Hindu terdahulu. Itu
artinya bahwa manusia Jawa sejatinya melakoni keyakinan Hindu, walaupun dalam
administrasi kependudukan mereka masuk dalam kelompok keyakinan tertentu. Apalah
artinya sebatas label, daripada kesejatian.
Dalam hal ini, ada gejolak bhatin di
kalangan manusia Jawa mengenai kesejatian keyakinannya. Mereka selalu melakoni
hal-hal yang bersifat tradisi yang sejatinyanya laku Hindu. Di kalangan manusia
Jawa kini berpikir, aku ini orang Hindu atau non Hindu? Kalau seandainya aku
orang non Hindu kenapa keseharianku aku melakukan hal-hal yang menjadi laku
dari leluhur yang memeluk Hindu. Terus kalau aku kembali ke keyakinan leluhur,
aku mulai darimana? Sebab ketika mereka larut dalam keyakinan import dengan
segala doktrin kuatnya, manusia Jawa justru merasa kering dan merasa jauh dari
budaya, jauh dari tanah leluhur, serta jauh dari nilai-nilai ke-Jawa-annya.
Inilah pergolakan bhatin yang terjadi di
kalangan manusia Jawa saat ini. Artinya pula bahwa apa yang dicari dengan
beraslaskan keyakinan saat ini, yang menjadi tujuan hidup dan kehidupan malah semakin
jauh dicapai. Artinya manusia Jawa dalam hal keyakinan saat ini ada di
persimpangan jalan. Atau ada suatu perasaan gengsi atau perasaan eman-eman jika
beralih ke agama leluhur. Atau bisa jadi akan mendapatkan tekanan-tekanan
mental maupun fisik bila ada keinginan-keinginan untuk kembali ke agama
leluhur. Walaupun sebagian kecil dari manusia Jawa yang ada di pelosok pedesaan
atau pegunungan, mungkin beberapa bagian diperkotaan sudah berani secara
terbuka mengatakan diri Hindu, walau dengan berbagai macam resiko sosial yang
mungkin mereka terima. Dan fenomena itu semakin menjadi-jadi dan semakin
menarik kalau kita amati semakin tahun.
Seolah-olah kembangkitan dari Hindu Jawa
semakin kelihatan dalam satu dekade belakangan ini. Walaupun pada awalnya
mereka dimotivasi dan difasilitasi oleh rekan-rekan dari Bali. Mereka tergerak
hatinya untuk bangkit, dan terdorong untuk muncul ke permukaan kembali ke
keyakinaan leluhur tanah Jawa.
Dalam tidurnya yang panjang, Hindu Jawa
sudah lama terdiam terpendam. Dan ketika terbangun, banyak hal yang sudah
terlupakan, dan banyak hal yang terlewatkan. Mereka banyak kehilangan kitab,
mereka banyak kehilangan ritual serta mereka banyak kelewatan momen, informasi
dan filosofi. Sebenarnya semua itu tak hilang, namun tercerai berai karena
tidur yang terlalu panjang. Sedangkan di tanah Bali, Hindu berkembang dengan
subur dalam kurun waktu seribu tahun, dengan gayanya yang sangat megah dan
eksentrik.
Akibat banyak kehilangan tersebut, maka banyak
hal yang kemudian diisi dari filosofi, ritual, serta tradisi Hindu Bali. Namun setelah
sekian lama digembleng dengan tradisi Hindu Bali, para rohanian Hindu Jawa
mulai menemukan suatu hal beda dengan Hindu Bali. Hindu Jawa mulai mengkaji
diri, berpikir ulang, apakah akan terus dicekoki dari Bali dengan segala gemerlap
upacaranya, ataukah menjalankan tradisi Hindu serta filosofi Hindu Jawa.
Pemikiran ini mulai berkembang di kalangan para tokoh Hindu Jawa.
Bagi kalangan Hindu Bali, hal tersebut
sebenarnya tak masalah dan malahan hal itu bagus. Artinya pada awalnya Hindu Bali
telah mendampingi dan menuntun Hindu Jawa untuk bisa duduk berdiri tegak di tanahnya
sendiri, walaupun melalui asupan energi filosofi Bali. Kini ketika telah terbangun
dan tersadarkan, lalu bisa berdiri sendiri, maka akan lebih mapan untuk menatap
jati diri dari Hindu Jawa itu sendiri.
Manusia Hindu Bali sejatinya tak ada
maksud untuk mem-balinisasi-kan Hindu Jawa. Yang ada adalah mengisi sementara
dalam proses pembangkitan, dalam proses pengaktifan dari tradisi Hindu Jawa
yang telah tertidur sekian lama. Bahkan akan lebih baik Hindu Jawa tumbuh
dengan sendiri dengan tradisinya, dengan ritualnya sendiri. Yang tak boleh beda
adalah dasar dari Hindu sendiri yakni Panca Srada yakni lima dasar keyakinan
manusia Hindu yang tak dimiliki oleh keyakinan lain selian Buda dan Konghucu.
Artinya, biarkan Hindu Jawa tumbuh berkembang
dengan sendirinya. Hindu Bali saat ini mesti mengambil peran memotivasi,
mendorong, mendampingi dan mengawal perkembangan Hindu Jawa yang sudah mulai tumbuh
rasa percaya dirinya setelah sekian lama dalam tekanan dan trauma kejiwaaan. Biarkan
tokoh Hindu Jawa membentuk Parisada Hindu Jawa tampil dengan gayanya sendiri, seperti
Hindu yang ada di India, Malaysia, Bali, Amerika, Afrika, dll. Biarkan Hindu
mencari bentuknya sendiri dalam wadah ruang lingkup yang dimasuki. Hindu adalah
agama tirta, Hindu adalah agama air,
artinya sesuai dengan sifat air, bahwa Hindu akan mengalir terus tanpa henti,
serta mengambil bentuk sesuai dengan dimana
mereka berada. Air berada dalam gelas akan berbentuk gelas, air dalam botol
akan berbetuk botol, air dalam ember akan berbentuk ember. Namun pada hakekatnya
semuanya adalah Hindu.
Mari
kita dorong kebangkitan Hindu Jawa. Mari kita kawal Hindu Jawa untuk mencari
jati dirinya. Mari kita damping Hindu Jawa dalam rekonstruksi kembali
kejayaannya. Jaya Jaya Jaya … rahayu… rahayu… rahayu.. (Kand).
No comments:
Post a Comment